Tanti duduk di kursi ruang tamu sembari mengoleskan cat kuku di jemari lentiknya. Sesekali ia nampak meniup kuku-kukunya berharap cat kuku yang ia pakai bisa segera mengering. Bibirnya tiada henti menyunggingkan senyum sumringah. Sejak sang anak tiri menerima pinangan dari juragan Karta, hari-harinya selalu ia lewati dengan penuh kebahagiaan. Setiap saat bayang-bayang lahan jati seluas tiga hektar selalu saja menari-nari di otaknya. Hal itulah yang membuatnya semakin tidak sabar untuk bertemu dengan juragan Karta untuk meminta semua yang telah dijanjikan oleh orang paling kaya di desanya ini.
"Ibu!"
Kehadiran Puspa yang merupakan putri kandungnya, seketika membuat bayang-bayang lahan jati seluas tiga hektar yang ada di kepalanya menguap begitu saja. Ia melirik ke arah sang anak yang sudah terlihat rapi di jam delapan pagi seperti ini.
"Mau kemana kamu, Pus? Ibu lihat akhir-akhir ini kamu selalu pergi pagi dan pulang larut? Kemana kamu sebenarnya?"
Melihat kegiatan sang anak yang terlihat berubah akhir-akhir ini, membuat Tanti selalu diliputi oleh rasa cemas. Wanita itu sepertinya takut jika putrinya akan salah pergaulan.
"Puspa bekerja Bu, pekerjaan Puspa mengharuskan Puspa untuk pulang larut."
"Kamu masih bekerja di salon kan?" Tanti bertanya kepada sang anak dengan penuh selidik.
Puspa menganggukkan kepalanya masih sambil fokus dengan ponsel di tangannya. "Masih Bu. Namun ketika sore hari hingga malam, aku bekerja sebagai pelayan di sebuah kedai kopi. Hal itulah yang sering membuatku pulang larut."
Tanti hanya berdecak. "Mengapa kamu tidak ikut bekerja di pabrik pembuatan tempe seperti Mara saja? Ibu lihat pekerjaan Mara tidak begitu berat, dan dia juga banyak memiliki waktu luang."
Bibir Puspa mencebik. Ucapan sang ibu seakan begitu menggelitik telinganya. "Jangan samakan Puspa dengan anak itu, Bu. Aku dan Mara jelas berbeda. Dia pantas bekerja di tempat itu. Sedangkan aku, aku sangat tidak pantas bekerja di sana. Lagipula apa yang bisa diharapkan dengan menjadi buruh di pabrik pembuatan tempe? Bertahun-tahun bekerja di sana tidak akan pernah bisa membuatku kaya, Bu."
Tanti berdecih lirih. "Tapi sebentar lagi Mara akan menjadi orang kaya, Pus. Juragan Karta akan menikahinya."
Puspa tersenyum sinis. "Puspa sama sekali tidak perduli Bu. Juragan Karta terkenal kejam dalam memperlakukan istri-istrinya, dan aku rasa kehidupan Mara akan terasa semakin seperti berada di dalam kerak neraka."
"Hemmmm... Ibu bahkan tidak mau tahu bagaimana kehidupan anak itu setelah menikah dengan juragan Karta. Karena yang pasti, sebentar lagi Ibu akan menjadi orang kaya raya."
Dahi Puspa mengerut tatkala mendengar penuturan sang ibu. "Apakah aku melewatkan sesuatu? Apa maksud ucapan Ibu itu?"
"Ya, setidaknya dengan Juragan Karta menikahi Mara, kita akan terseret menjadi orang kaya pula, Pus." Tanti menatap lekat wajah sang anak dengan tatapan penuh arti. "Lahan jati seluas tiga hektar akan menjadi milik kita."
Mata Puspa seketika terbelalak. "Apa? Lahan jati seluas tiga hektar? Ibu sedang tidak bercanda bukan?"
"Jelas tidak. Ibu benar-benar tidak sabar untuk segera menikmati kekayaan itu."
Tanti dan Puspa terbahak hingga tawa keduanya menggema di seluruh penjuru ruangan ini. Tanpa mereka sadar jika sedari tadi ada sosok laki-laki yang mencuri dengar semua pembicaraan ibu dan anak itu.
Baskara yang tidak lain adalah ayah dari Mara, sedari tadi mendengarkan dengan seksama apa yang menjadi pembicaraan Tanti dan Puspa. Letak ruang tamu dengan kamar yang ditempati oleh Baskara yang begitu dekat, membuat lelaki itu dapat dengan mudah mendengar apa yang dibicarakan oleh kedua wanita itu. Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Baskara, selain hanya meneteskan bulir-bulir bening dari kedua sudut matanya.
Ya Tuhan... Ternyata rencana Tanti begitu licik. Ia akan menjual anakku kepada juragan Karta. Tuhan, beri aku jalan untuk mengeluarkan anakku dari belenggu derita ini tentunya untuk menebus semua dosa-dosa yang pernah aku lakukan terhadap anakku.
Tangis yang tertahan di bibir Baskara terdengar menyayat hati. Saat ini tiada lagi yang tersisa dalam dirinya, selain hanya penyesalan yang kian mendera. Ia sadar jika banyak hal yang telah ia lewatkan, terlebih kebahagiaan sang putri yang selama ini luput dari perhatiannya.
Lelaki itu semakin merutuki dirinya sendiri di saat ia tidak dapat melakukan apapun untuk menjadi perisai sang anak dalam menghadapi semua keburukan yang menimpa sang putri. Bahkan putrinya selalu berupaya berdiri tegak dengan kekuatannya sendiri untuk menghadapi semua hal yang seharusnya tidak dialami oleh anak seusianya. Seharusnya saat ini sang putri melewati masa-masa menginjak dewasa dengan penuh tawa dan kebahagiaan. Namun, yang dilewati oleh Mara justru sebaliknya. Hanya duka dan tetes-tetes air mata yang menjadi teman setianya untuk melewati hari-harinya.
***
Mara memapah tubuh sang ayah untuk ia dudukkan di atas kursi roda. Sepulang dari pabrik, ia melihat sprei ranjang sang ayah sudah basah kuyup. Sepertinya sang ayah tidak dapat menahan rasa ingin buang air kecilnya hingga membuat lelaki itu buang air kecil di atas tempat tidur.
"Ayah tunggu di sini sebentar, biar Mara mencuci sprei dan baju milik Ayah."
Setelah membersihkan tubuh sang ayah dan mengganti pakaiannya, Mara bermaksud untuk mencuci, namun sebelum ia melangkahkan kaki menuju kamar mandi, buru-buru lengan tangannya di tarik oleh sang ayah.
Mara sedikit terkesiap dan menatap wajah lelaki paruh baya di hadapannya ini dengan dahi sedikit mengerut. "Ada apa Yah? Apakah Ayah memerlukan sesuatu?"
Baskara menggeleng pelan. "M-Maaf..."
Suara Baskara terdengar lirih bahkan terdengar seperti seseorang yang kesusahan berbicara. Namun, gadis itu dapat dengan jelas menangkap apa yang diucapkan oleh sang ayah. Mara yang sebelumnya dalam posisi berdiri, kini ia berjongkok di hadapan sang ayah. Ia menggenggam jemari sang ayah dengan erat.
"Ayah meminta maaf untuk apa? Ayah tidak bersalah sama sekali kepada Mara."
Baskara menarik nafas dalam-dalam. Semenjak terkena stroke, ia memang kesusahan dalam berbicara namun kali ini ia harus berusaha keras untuk dapat berbicara dengan sang anak. Karena mungkin saja esok hari, ia tidak lagi dapat berkata apapun kepada putri semata wayangnya ini.
"Maaf, Ayah sudah menjerumuskanmu ke dalam jurang kehancuran seperti ini, Mara... Ayah sangat berdosa kepadamu."
Mara tersenyum simpul. Batinnya seolah teriris perih melihat kondisi sang ayah yang semakin hari semakin melemah. Namun ia harus dapat menyembunyikan semua itu di balik topeng dengan selalu menampakkan raut bahagia di wajahnya.
"Ayah tidak perlu meminta maaf. Ini semua merupakan jalan hidup yang sudah digariskan untuk Mara, dan Mara akan menghadapinya."
"P-Pernikahanmu dengan juragan Karta... K-kamu bisa menghindarinya, Mara. Pergilah dari tempat ini, agar kamu dapat terlepas dari belenggu derita ini."
Setetes kristal bening lolos dari telaga bening milik Mara. Ia sepemikiran dengan sang ayah bahwa ia ingin lari dari ini semua. Namun jika sampai ia melakukan hal itu, keselamatan sang ayah lah yang akan dipertaruhkan.
"Tidak Ayah. Mara tidak akan pernah pergi dari tempat ini. Mara akan menghadapi ini semua Yah."
Kedua netra milik Baskara ikut memanas melihat sang anak yang sudah meloloskan bulir beningnya. "K-Kamu tidak perlu memikirkan keselamatan Ayah, Mara. Pergilah dari tempat ini. Temukan apa yang akan menjadi kebahagiaanmu. Jika sampai terjadi sesuatu kepada Ayah, biarkan itu semua yang akan menjadi penebus atas kesalahan yang pernah Ayah lakukan kepadamu dan juga kepada ibumu."
Mara menggelengkan kepalanya. "Tidak Ayah. Bagaimana mungkin Mara bisa berbahagia sedangkan keselamatan Ayah dipertaruhkan. Mara tidak sampai hati melakukan itu Ayah, Mara tidak bisa."
"T-tapi Mara..."
Gegas, Mara memeluk tubuh lelaki yang ada di hadapannya ini. Meskipun lelaki ini adalah seseorang yang telah menjerumuskannya ke dalam jurang kehancuran, namun lelaki inilah yang dulu selalu mendekapnya erat dengan penuh cinta dan kasih sayang. Seburuk apapun perilaku sang ayah, semua itu tidak akan mungkin dapat menghapus kenyataan bahwa sosok ayah akan selalu menjadi cinta pertama untuk seorang anak perempuan.
Dengan lembut, Mara mengusap punggung Baskara. Nafas lelaki itu juga terasa tersengal-sengal seakan menahan sebuah penyesalan yang meledak hebat di dalam dadanya. Membuat mulutnya terbungkam, sama sekali tidak dapat berucap apapun dan hanya dapat ia wujudkan dalam derai air mata yang mengalir deras dari pelupuk matanya.
"Ayah tidak perlu memikirkan apapun. Mara sanggup melewati ini semua Yah, Mara sanggup."
Dan air mata yang semakin deras mengalir dari pelupuk mata Baskara semakin menegaskan bahwa saat ini penyesalan yang tengah dirasakan oleh lelaki itu benar-benar menggerus hati.
.
.
. bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
Maliqa Effendy
telat ngomongnya Bagaskara..kemarenan mulutnya terkunci
2022-10-16
0
Noer Anisa Noerma
hadeuuuuhh tegang sekaliii
2022-05-14
0
IdaDaliaMutiara
kayaknya puspa kerja jd wanita malam,,,.nanti tau tau hamil
2022-02-18
0