Tetes-tetes air yang turun dari langit mengiringi langkah kaki Mara menyusuri jalan setapak yang ada di hadapannya. Ia berlari menembus hujan dengan derai air mata yang sudah berjatuhan dari telaga beningnya. Nafasnya tersengal-sengal mencoba menahan segala rasa sesak yang begitu menghujam. Yang membuatnya ingin sekali menyerah namun ada satu hal yang harus ia perjuangkan yakni kebahagiaannya sendiri.
Suara burung malam yang mungkin menggigil kedinginan sama sekali tidak terdengar, teredam oleh deras air langit yang kian lama kian melebat. Dan suasana malam ini terlihat begitu muram. Orang-orang pun memilih untuk berdiam diri di rumah untuk mulai menarik selimut dan membenamkan tubuh mereka di bawah selimut itu. Mencoba meredam rasa dingin yang terasa semakin menusuk tulang.
Mara masih begitu bersemangat menyusuri jalan setapak ini. Tak selang lama, ia sampai di sebuah tempat yang ia harapkan dapat menjadi pelarian untuk kembali mendapatkan ketenangan tatkala hatinya terasa porak poranda.
"Ibu... Mara datang...."
Suara wanita itu terdengar lirih di bawah guyuran air hujan. Di depannya terlihat sebuah gundukkan tanah dengan batu nisan bertuliskan Paramitha Andadari.
"Ibu... Jika kehidupan Mara akan seperti ini, dulu di saat Ibu pergi, mengapa Ibu tidak mengajak Mara?"
Mara merebahkan tubuhnya di atas tanah makam milik sang ibu yang sudah sejak lima tahun yang lalu pergi meninggalkannya. Rumah sang ibu inilah yang selalu menjadi tempat pelarian Mara untuk menghindar dari segala sesuatu yang membuat batinnya terguncang. Menangis di atas gundukan tanah ini sembari mencurahkan apa yang menjadi beban di dalam hatinya.
"Ibu... Mara ingin ikut Ibu saja... Mara ingin merasakan kedamaian berada di sisi Ibu. Dunia ini terlalu kejam untuk Mara, Ibu. Bahkan Mara tidak dapat menentukan jalan hidup Mara sendiri. Itu semua karena istri baru ayah selalu memaksakan kehendaknya kepada Mara. Dan terus menerus memaksa Mara untuk menuruti semua kemauannya."
Angin yang sebelumnya berhembus pelan, tiba-tiba terasa sedikit lebih kencang. Mara yang tengah merebahkan tubuhnya di samping makam sang ibu dengan memeluk gundukkan tanah itu sedikit terkesiap, tatkala hembusan angin itu seakan hanya berpusat di dekat tubuhnya.
Kepalanya mendongak. Ia melihat sesosok bayangan sang ibu duduk di hadapannya. Mara mengucek-ucek mata mencoba melihat bayangan itu agar nampak lebih jelas. "I-Ibu....?"
Sesosok bayangan itu hanya mengulas senyumnya dan mengangguk.
"Ibu datang ingin menjemput Mara, bukan? Bawa Mara pergi dari tempat ini Ibu... Bawa Mara pergi dari tempat ini!"
Mara menangis tergugu menumpahkan seluruh beban dalam dadanya. Bayangan itu mengulurkan tangannya dan mulai membelai kepala Mara. Meskipun belaian tangan bayangan itu tidak terasa namun seketika membuat tubuh Mara yang sudah menggigil merasakan sedikit kehangatan.
"Ibu tidak akan pernah mengajakmu untuk pergi dari tempat ini Mara... Karena tempat Ibu berbeda dengan tempat Mara saat ini."
Mara menggelengkan kepalanya. "Mara mohon Bu, bawa Mara pergi dari tempat ini. Mara lelah Ibu... Mara lelah. Mara tidak lagi sanggup untuk berpura-pura tangguh, karena Mara benar-benar merasakan kerapuhan dalam diri Mara sendiri. Mara ingin ikut Ibu..."
"Mara... Bertahanlah sebentar lagi. Setelah ini akan ada kebahagiaan yang menghampirimu. Yang akan menghapus segala luka yang kamu rasakan."
Mara menggelengkan kepalanya. "Mara bahkan tidak lagi percaya bahwa ada kebahagiaan untuk Mara, Ibu... Kebahagiaan seakan tidak pernah berteman baik dengan Mara. Dia selalu menjauh dari kehidupan Mara."
"Percayalah kepada Ibu, Mara... Bertahanlah sebentar lagi. Kelak, kamu akan bertemu dengan kebahagiaanmu, yang akan membuat hari-harimu terasa jauh lebih berwarna daripada hari ini."
"T-Tapi ...."
"Pulanglah Sayang... Ingat ucapan Ibu, bertahanlah sebentar lagi. Sebentar lagi, kamu akan bertemu dengan kebahagiaanmu."
Angin kembali bertiup kencang. Seiring dengan menghilangnya bayangan sosok wanita yang bernama Paramitha Andadari yang tidak lain adalah ibu dari Mara. Mara hanya dapat terperangah dengan bibir yang sedikit menganga, tatkala bayangan sang ibu tidak lagi dapat ia lihat.
Mara menautkan pandangannya ke arah batu nisan milik sang ibu. Ia mendekatkan wajahnya ke arah batu nisan itu kemudian mengecupnya dengan lekat.
"Mara percaya pada Ibu... Mara akan bertahan sebentar lagi. Semoga memang benar bahwa kebahagiaan itu akan segera menghampiri Mara."
***
Semburat warna oranye sudah nampak di ufuk timur pertanda sang matahari akan bersegera naik ke singgasananya. Diiringi oleh kokok suara ayam jantan dan cicit burung pipit yang terdengar di balik dedaunan seperti menjadi nada alam yang terdengar begitu selaras dengan hembusan sang bayu yang mengalun lirih. Harum aroma tanah basah sisa hujan semalam masih begitu menyeruak di dalam indera penciuman yang justru membuat siapapun merasakan kesegaran dalam tubuh mereka.
Mara mendorong kursi roda milik sang ayah ke luar rumah, menuju halaman depan. Setelah memandikan sang ayah dan mengganti pakaiannya, seperti biasa ia akan membawa sang ayah untuk berjemur di bawah sinar matahari sembari menyuapinya.
"Ayah harus makan yang banyak, agar bisa segera pulih."
Dengan telaten, Mara mulai menyuapi sang ayah dengan semangkuk bubur. Hatinya berdenyut nyeri melihat tubuh lelaki yang dulu kekar kini hanya tinggal tulang yang berselimutkan kulit. Tiga bulan terakhir kualitas makan sang ayah memang menurun. Ia hanya mau makan sehari sekali. Itupun hanya di waktu pagi. Setelah itu ia tidak mau makan apapun.
"Mara minta maaf Yah, karena Mara belum bisa membawa Ayah untuk berobat. Gaji Mara di pabrik sebagian untuk membayar hutang-hutang Ayah dan sebagian lagi habis untuk biaya keseharian kita."
Lelaki yang tengah duduk di atas kursi roda itu hanya bisa menatap wajah putrinya dengan tatapan nanar. Batinnya terasa perih mendengar sang anak meminta maaf akan sebuah keadaan yang sama sekali bukan merupakan tanggung jawabnya. Matanya memanas dan dadanya terasa begitu sesak seakan dihimpit oleh dua batu besar.
Ayah yang seharusnya minta maaf kepadamu Ra. Ayah lah yang sudah membawa kehidupanmu di tepi jurang kehancuran seperti ini. Seandainya saja dulu Ayah tidak gila berjudi dan tidak menikah lagi dengan Tanti, hidup kita pasti tidak akan seperti ini. Dan mungkin saja ibumu masih tetap hidup sampai saat ini.
Mara bangkit dari posisi jongkoknya. Setelah satu mangkuk bubur untuk sang ayah telah tandas tanpa bekas, kini saatnya ia untuk berangkat ke pabrik pembuatan tempe yang letaknya di desa sebelah.
"Ayah kembali masuk ke kamar ya. Mara akan segera berangkat."
Lelaki itu hanya mengangguk pelan. Semenjak lumpuh karena stroke, lelaki itu tidak banyak berbicara. Lebih cenderung menggunakan kepalanya untuk memberikan sebuah isyarat. Mara kembali mendorong kursi roda milik sang ayah untuk masuk ke kamar. Perlahan, ia papah tubuh lelaki paruh baya itu untuk ia baringkan di atas ranjang.
"Mara berangkat ke pabrik dulu Yah. Ayah beristirahat saja di atas tempat tidur. Tengah hari, Mara akan kembali melihat kondisi Ayah."
Mara mulai mulai melangkahkan kaki untuk keluar dari kamar sang ayah. Lelaki itu hanya bisa menatap kepergian sang anak dengan tatapan yang sukar diartikan. Namun, setetes bulir bening yang lolos dari pelupuk matanya seakan menjadi sebuah isyarat jika di sisa akhir hidupnya saat ini, ia berada di dalam sebuah penyesalan yang begitu dalam.
Maafkan Ayah, Mara. Maafkan Ayah....
***
"Jadi apa jawaban yang akan kamu berikan kepadaku tentang negosiasi kita semalam?"
Suara wanita paruh baya yang tiba-tiba terdengar di balik punggung Mara, membuat gadis itu yang baru saja akan mengeluarkan sepeda dari dalam rumah menghentikan aktivitasnya. Ia berbalik badan. Terlihat sang ibu tiri sudah berdiri di sana.
"Sejak kapan sebuah ancaman bisa disebut dengan negosiasi? Semua yang Anda ucapkan semalam, bukanlah sebuah negosiasi namun sebuah ancaman. Dan hanya wanita jahat lah yang sanggup melakukan itu semua."
Dengan tatapan membidik, Mara masih mencoba untuk memperlihatkan power nya sebagai seorang wanita yang tidak bisa ditindas begitu saja. Gadis itu berusaha mati-matian untuk mempertahankan hak yang ia miliki untuk hidup sesuai dengan apa yang ia mau, dan tidak ingin orang lain mengatur kehidupannya, terlebih hanya seorang ibu tiri yang sejak dulu tidak pernah memberikan kasih sayang untuknya.
Tanti tersenyum sinis. "Aku tidak mau mendengar apapun dari mulutmu, Ra. Waktuku tidak banyak, aku hanya ingin mendengar apa keputusanmu? Apakah kamu siap untuk hidup sempurna bersama juragan Karta? Atau kamu siap untuk melihat ayahmu itu hanya tinggal seonggok raga tiada bernyawa, dan hanya tinggal sekedar nama?"
Mara, gadis yang belum genap berusia dua puluh tahun itu semakin tersudut. Ia dibenturkan pada keadaan yang sama sekali tidak menguntungkan untuknya. Namun, ia masih memikirkan keselamatan sang ayah. Dan ia tidak ingin jika ketenangan sang ayah sedikit pun terusik.
Mara kembali membalikkan badan dan mulai mengeluarkan sepeda dari dalam rumah. "Lakukan saja apa yang menjadi kemauan Anda. Aku akan menuruti semua kemauan Anda."
Tanti terbahak. "Hahahaha bagus, ini yang aku mau. Kamu menjadi anak penurut akan menyelamatkan semuanya. Kamu bersiaplah. Besok, juragan Karta akan bertandang kemari untuk membicarakan pernikahannya denganmu."
Mara mengabaikan ucapan sang ibu tiri. Gegas, ia keluar rumah dan mulai mengayuh sepedanya. Bersamaan dengan air mata yang mulai tumpah ruah dari pelupuk matanya.
Aku bahkan tidak punya kesempatan untuk memilih jalan hidupku. Aku hanya bisa berharap di detik-detik terakhir aku akan menikah dengan juragan Karta, akan ada sebuah keajaiban yang dapat mengeluarkan aku dari belenggu ini.
Sedangkan Tanti, ia terlihat tersenyum menang. Di dalam pikirannya sudah terbayang sebuah lahan jati seluas tiga hektar yang begitu membuatnya bahagia.
Tahan sebentar lagi Tanti! Sebentar lagi kamu akan menjadi orang kaya, yang kekayaanmu tidak akan pernah habis tujuh turunan. Haahhaa hahaahaa.
.
.
. bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 178 Episodes
Comments
💗vanilla💗🎶
sedihhh.. 😥
2024-03-02
0
Elisanoor
satu bab panjang pisan,capek baca nya tapi penasaran 🤣
2023-02-01
0
Erna Riyanto
Oh...ini cerita Dewa sm Mara......q lebih dulu baca cerita kakaknya Wisnu
2022-07-07
1