Rambut panjang yang dia ikat kuda tak lupa dengan jepit emas dengan hiasan mutiara putih yang sudah dia sematkan di poni kanannya, serta make up natural yang semakin mempercantik dirinya.
Dengan tas ransel berwarna hitam, yang sudah ada di pundak kanannya. Menatap ke arah kaca.
Sempurna
Senyum manis terbit di wajah gadis itu, Aruna namanya. Lebih tepatnya Aruna Priyanka Zoey. Gadis yang tahun ini menginjak usia 16 tahun, anak kedua dari Bima Zoey dan Ayuna Pramita.
Mempunyai kakak laki-laki bernama Arfan Pratama Zoey. Umur keduanya bertaut 3 tahun. Arfan mengambil salah satu jurusan di Universitas Jakarta Selatan.
Runa, nama panggilan gadis itu. Dirinya cukup beruntung dengan keluarganya ini. Mempunyai Ayah yang tegas serta Bunda selembut dan sebaik hati ini.
Yang membuat Runa merasa aman, apalagi dengan bang Arfan. Yang selalu menjadikannya seorang princess.
Walaupun Runa benci dengan kata itu, baginya princess adalah gadis kecil yang cantik dan lucu. Sedangkan dirinya, gadis yang mengalami masa pertumbuhan.
Mengambil handphone serta charger, Runa turun ke bawah untuk membantu Bunda dan sarapan bersama-sama.
Bertepatan dengan Arfan yang keluar dari kamarnya, dengan pakaian santai sambil menenteng tas. Kamar Arfan tepat berada di samping kanan kamar Runa.
Dengan senyum manis yang terbit pada bibirnya, Runa menyapa abangnya ini. "Selamat pagi abang," sapa nya.
"Morning too, princess," merangkul pundak Runa dan mengajaknya turun ke bawah.
Runa mendengus kesal, menepis pelan lengan Arfan. "Aku tuh udah gede ya bang, bukan anak kecil lagi!" kesalnya, ketika Arfan memanggilnya princess.
"Kan emang lo anak kecil," dengan santainya Arfan berkata.
Runa mendelik tak terima. "Runa udah umur 16 tahun, bukan anak kecil lagi." ucapnya.
"Yakin lo 16 tahun? Kok rasanya mustahil, bukanya kemarin lo baru 3 tahun kok sekarang 16 tahun." ucapan Arfan seakan ejekan bagi Runa.
Runa memutar bola matanya malas. Meninggalkan Arfan, pagi-pagi dirinya harus ribut dengan abangnya ini. Mending bantu Bunda buat bikin sarapan.
Arfan menatap Runa dari atas hingga bawah, keningnya berkerut. "Bentar," cegat Arfan. "Tumben banget udah rapi lo, biasanya juga masih kucel. Wah kayaknya gue harus kasih lo penghargaan deh."
"Tulisannya apaan ya?" Arfan mengelus dagunya seakan berfikir, setelah itu menjentikkan jarinya. "Aruna menjadi gadis rajin, gimana cocok gak?" tanya Arfan.
Runa mendengus kesal. Memukul pelan lengan Arfan. "Ih ngeselin!"
Arfan meringis. "Kan bener dek? Lagian lo belum pernah kan dapat penghargaan? Karena gue baik hati dan tidak sombong, makanya gue buatin buat lo," ucap Arfan.
"Gue buatin yang besar banget gimana?" lanjut Arfan.
Menatap malas Arfan. "Bodo amat!" setelah itu Runa pergi meninggalkan Arfan.
Arfan berjalan mengikuti Runa dari belakang. Hampir saja dirinya menabrak punggung Runa, akibat adiknya menghentikan langkahnya mendadak.
Runa menoleh ke belakang. "Abang ngapain ikutin Runa?" tanyanya.
"Sarapan," balasnya singkat.
"Terus? Ngapain disini, katanya mau sarapan?"
Arfan menatap adiknya gemas. "Meja nya ada di belakang lo bambang!"
"Kan jalanan lebar?" melebarkan kedua tangannya untuk mengukur jalan.
"Udah gak usah dijawab, mending aku bantu Bunda masak daripada ribut sama abang." setelah itu Runa pergi meninggalkan Arfan.
"Pagi Bunda!" Tak lupa mengecup singkat pipi Yuna. "Bunda mau masak apa hari ini? Aku bantu ya?" tawarnya.
"Pagi sayang, wah putri Bunda udah rapi aja, ini Bunda lagi masak bubur ayam, kamu bawa nih ayam sama toping yang lain ke atas meja ya," suruh Bunda yang lagi sibuk mengaduk bubur.
Runa mengacungkan jempolnya. Mengangkat piring berisi toping ke atas meja. "Pagi Ayah," sapa Runa pada Ayah yang baru saja keluar kamar.
Ayah mengecup singkat kening Runa seraya menarik kursi. "Pagi sayang, tumben banget udah rapi gini?"
"Biasa pencitraan," cetus Arfan.
Runa mendelik tak terima, gadis itu melemparkan beberapa kacang dan kembali ke dapur sebelum amukan massal meneriaki telinganya.
"RUNA!" Tuh kan bener.
"Ada apa pagi-pagi berantem, udah ayo sarapan." Ajak Bunda menuangkan bubur ke dalam mangkok.
"Bunda, Runa, Arfan. Ayah pamit kerja ya, ada rapat pagi yang harus Ayah datangi, dek berangkat sama abang ya. Gak papa kan sayang?" tanya Ayah Bima dengan lembut.
Runa tersenyum masam, di awal sekolah lagi-lagi tak bisa diantarkan Ayah padahal gadis itu ingin sekali diantar, baru dua hari kumpul sekarang harus pisah kembali.
Namun Runa tak boleh egois, ini semua juga demi dirinya, untuk memenuhi kebutuhannya.
Ayah Bima bekerja di sebuah pabrik, kadang di dalam kota kadang diluar kota. Bahkan sang ayah tak pulang selama beberapa hari ke depan.
Setiap ayah pergi Arfan lah yang menjadi pengganti. Untuk melindungi Runa dan Bunda.
Bunda Yuna bekerja sebagai tukang kue, memiliki ruko yang lumayan jauh dari rumah. Mungkin sekitar 20 menit untuk jalan kaki.
Rukonya tak luas, tapi setelah di renovasi kemarin cukup lah buat jualan.
Ayah bangkit dari kursi dan berjalan keluar, di ikuti oleh bunda dan yang lain. Ketiganya pamit untuk melaksanakan aktivitas masing-masing.
"Bunda, Ayah. Arfan sama Runa pamit ya." tak lupa Arfan menyalami tangan kedua orang yanga dan mengecup pipi.
"Yah, Bun. Runa pamit ya. Assalamu'alaikum." pamit Runa, tak lupa menyalami tangan keduanya.
"Waalaikumsalam, ati-ati ya! jangan ngebut-ngebut." Ingat ayah Bima.
"Siap yah!" teriak Arfan yang sudah berada di atas motor.
Perlahan motor itu meninggalkan pekarangan rumah. Menembus padatnya kota Jakarta.
"Bang Arfan." panggil Runa sedikit teriak, akibat ramainya jalan.
"Kenapa dek?"
"Runa kasihan sama ayah." Runa menyandarkan dagunya di atas pundak Arfan.
Arfan mengangguk setuju. "Gue juga, mau bantu juga lo tau sendiri ayah gimana." Runa juga setuju. Ayah bakal marah jika abang bekerja. Karena baginya Ayah Bima lah yang bertanggung jawab atas keluarga kecil nya ini.
Bima ingin kedua anaknya untuk belajar saja, bukan bekerja. Dengan mendapatkan nilai yang bagus serta mendapatkan beasiswa membuat Bima menjadi senang.
Bang Arfan, mengambil jurusan tentang perusahaan. Katanya bang Arfan ingin membangun perusahaan. Runa bangga dengan abangnya yang satu ini. Udah gitu abang bisa dapat beasiswa dari kampus, tanpa harus bayar.
"Bang," panggil runa sekali lagi.
"Apa?"
"Gimana kalau kita bikin jualan. Sekalian bantuin jualin rotinya bunda." saran Runa.
"Apa yang bakal lo jual?" tanya Arfan, sesekali melirik Runa dari kaca spion.
"Ada banyak, aku kan bisa buat kerajinan. Pasti ada yang beli." Kata Runa.
"Lo lupa, kejadian dua tahun lalu?" tanya Arfan, yang fokus menatap jalanan.
Kejadian di mana keuangan keluarga Runa sedang ada masalah. Arfan dan Runa yang harus berjualan diam-diam, untuk membantu keuangan mereka.
Sampai akhirnya ayah tau kalau mereka berdua berjualan diam-diam. Untung saja ayah tak marah, hanya memberikan nasehat pada Arfan dan Runa.
"Kenapa gak kita coba dulu, kita bisa bilang ayah nanti. Pasti ayah tau-"
Seketika motor berhenti mendadak, Runa yang ingin melanjutkan ucapannya terhenti akibat kepalanya ketatap punggung tegap milik Arfan.
"Aduh sakit, kalau mau rem dadak itu bilang-bilang. Bukannya ngerem dadak kayak gini." ringis Runa, mengusap kening nya menatap punggung Arfan.
"Bentar turun dulu, motornya mati." suruh Arfan.
Runa menatap Arfan bertanya-tanya. "Kok bisa?"
"Mana gue tau, buruan turun bentar," ujar Arfan sekali lagi.
Runa menghela napasnya kasar, dan turun dari motor. "Motornya kenapa?" Runa melipat kedua tangannya di depan dada, menatap abangnya yang sibuk mengecek motor.
"Ban nya kempes, mau gak mau kita harus dorong. Kayaknya di pertigaan sana ada tukang tambal ban, dorong!"
Runa mendengus kesal. Membantu mendorong motor. Tak henti-hentinya dia mengumpat dalam hati. Baru hari pertama masuk sekolah, banyak banget kendalanya.
"Bang masih lama kah?" kaki Runa begitu capek, sudah sejauh ini tapi masih saja belum menemukan tukang tambal ban. Menatap jam yang sudah menunjukan pukul 7 kurang.
"Bentar lagi tuh depan. Yok bisa yok Dorong!"
Hingga akhirnya setelah sekian lama, keduanya menemukan tukang tambal ban, keduanya duduk menatap motor yang sedang di perbaiki.
"Masih lama kah?" Tanya Runa, entah berapa kali dia menanyakan hal tersebut, sekarang jam sudah setengah delapan. Yang artinya Runa telat.
"Bentar lagi, sabar."
"Dari tadi sabar mulu, udah jam segini juga. Runa bisa telat kalau gini, mana lagi Runa masih baru, masa iya Runa harus telat sih." Ocehan Runa.
"Sabar kali, tuh abangnya lagi benerin. Lagian ya guru lo juga paham kali. Lo itu anak baru, gak bakal kena hukum." Ucap Arfan memberikan pengertian.
"Ih tapi kan Runa baru abang, masa iya murid baru datangnya telat." Kekeuh Runa.
"Gak bakal Runa, adik gue tersayang. Gak bakal lo dihukum, kalau lo dihukum bilang sama gue," gemas Arfan pada adiknya yang satu ini.
"Bang masih lama?" tanya Arfan pada tukangnya.
"Ini bang udah." Arfan bangkit menghampiri motornya dan menyalakannya. Memberikan helm pada Runa.
"Naik," mengulurkan tangan, membantu Runa naik ke atas motor. Menjalankan kembali motor itu ke sekolah Runa. Hingga keduanya sampai di depan sekolah.
"Makasih abang, udah buat Runa telat." Runa mengecup singkat tangan Arfan.
Arfan menatap jam sekilas. "Ya elah, jam segini juga. Gak papa kali,"
"Mana ada, udah Runa masuk. Bye abang, ati-ati jangan ngebut-ngebut." Runa masuk melambaikan tangannya kepada Arfan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 172 Episodes
Comments
Asriaprr_
lanjut nih thorr 💜💜
2021-12-23
0
no name
like 👍
2021-09-21
0
nine june
maaf baru mampir Thor,
sdh di fav nih biar nggak ketinggalan lg💖
feedback Yach
✨Bukan Salah Mereka ✨
2021-09-12
0