Malam telah benar-benar larut, jam di dinding bahkan telah hampir meninggalkan setengah dua dini hari. Di luar sana hujan turun cukup deras.
Nanda masih belum juga bisa tertidur. Matanya yang sebetulnya sudah mengantuk seolah menolak untuk terpejam.
Pikirannya berlari ke sana kemari. Melompat-lompat tak tentu arah. Ada banyak ingatan tentang kejadian yang baru ia alami, pun juga yang telah lama berlalu.
Nanda menatap langit-langit kamarnya yang suram. Samar dalam balutan cahaya tipis dari lampu di teras kontrakan yang masuk melalui kaca jendela.
Ia ingat Nenek di kampung. Ia ingat Bibi dengan semua kata-katanya yang selalu menyakitkan. Ia ingat Selli...
Yah, Selli... saudaranya yang selalu dibanggakan Ibunya. Yang seolah hidupnya sempurna dalam semua kebaikan dan keberuntungan.
Nanda menghela nafasnya yang terasa berat. Andai Bibi tahu apa yang sebenarnya, apakah ia akan masih bisa pongah seperti itu? Batin Nanda gundah.
"Oo jadi kamu karyawan magang di kantor Ibu Dewi?"
Niko tampak terkejut, sepertinya ia memang benar-benar tidak menyadari sosok Nanda siapa, dan begitupun juga dengan Nanda.
"Berarti satu kantor dengan Rio kan?"
Tanya Niko pula, Nanda mengangguk.
"Sori, aku bener-bener ngga tau."
"Ngga apa, aku baru magang dua bulan disana, dan jarang keluar, ngga pernah disuruh ke Bank sebelah juga."
Nanda nyengir.
"Semua kerjaan harus dimulai dari bawah, biar kerasa prosesnya."
Niko menepuk-nepuk bahu Nanda.
"Di Jakarta tinggal dimana?"
Tanya Niko lagi.
"Aku tadi mau pulang, kontrakan aku disana."
"Ooh..."
Niko mengangguk.
"Rumah Bibiku ada dikawasan itu juga, Bu Sundari, kenal?"
Nanda menggeleng.
"Aku baru pindah beberapa hari, belum kenal banyak orang disana."
"Hmm gitu, hari ini aku berencana tidur di rumah Bibi, besok harus ngantor pagi soalnya. Ah kita pulang bareng aja, nanti aku antar nyampe rumah."
"Aku... aku bisa naik angkutan kok."
"Hei, udah malam non, ini Jakarta, lebih aman sama aku, percaya deh. Tapi kita mampir makan dulu, laper nih, tuh resto deket sini enak... ayo."
Niko memberikan helm kepada Nanda.
"Ntar keburu malam." Katanya lagi.
Nanda akhirnya menurut, dipakainya helm pemberian Niko dan naik ke boncengan. Niko membawa motornya menuju resto yang tak jauh dari klinik hewan di mana keduanya membawa anak kucing yang baru mereka selamatkan.
"Adikku suka banget kalo aku ajak makan disini, aku rasa kamu juga akan suka."
Niko semangat promosi begitu akhirnya motornya terparkir di area depan resto yang luas. Mereka berdua turun dari motor, lalu berjalan beriringan menuju resto, sampai kemudian Nanda tak sengaja melihat ke salah satu sudut dan mendapati Selli disana.
Yah Selli, ia duduk bersama seseorang, menikmati makan malam dengan santai. sesekali ia terlihat tertawa seolah bahagia adalah sudah menjadi takdirnya.
"Ngg... kita ke tempat lain saja yah."
Tiba-tiba tangan Niko meraih Nanda yang tertegun di tempatnya. Meskipun Nanda tidak tahu alasan Niko yang tiba-tiba begitu, tapi Nanda tetap mensyukurinya.
Nanda tidak tahu apa yang akan terjadi jika harus makan di tempat yang sama dengan Selli disana. Ia bingung apakah harus pura-pura tidak kenal? Kalau begitu bagaimana nanti Selli akan bicara pada Ibunya? Tapi kalau Nanda menyapanya, Nanda juga takut akan membuat Selli tidak nyaman.
Nanda menghela nafasnya. Entah sampai kapan ia akan lebih memilih diam demi kebaikan semuanya. Meski setiap kali ingat kata-kata Bibi yang menyakitkan dan merendahkan, Nanda ingin sekali mengungkapkan kebenaran.
**------------**
Pagi menjelang, Nanda yang baru bisa tertidur saat jam dua dini hari akhirnya sukses bangun kesiangan. Tidak ada waktu untuk sarapan, bahkan mandi juga ia harus buru-buru.
Nanda tergesa keluar dari kontrakannya. Mengunci pintu lalu berlari kecil menuju jalan besar. Ia berharap metromini datang tak akan terlalu lama.
Jalanan sudah cukup padat saat Nanda akhirnya sampai di jalan besar. Nafasnya terengah-engah karena dipaksa berlari.
"Aku mohon... metromini datanglah... datanglah." Gumam Nanda tak jelas, seperti dukun yang merapal mantra.
Lima menit berlalu, Nanda mulai gelisah, ia celingukan mencari ojek atau apapun yang bisa ia jadikan pilihan lain. Nihil.
Nanda mengambil hp nya dari dalam tas. Membuka aplikasi ojek online. Ia tak bisa membuang waktu lagi, ia harus bisa sampai kantor sebelum dua puluh menit.
Nanda baru akan melakukan pesanan saat tiba-tiba sebuah motor berhenti di dekatnya.
"Hai..."
Tampak Niko ada diatas motornya, membuka kaca helmnya dan tersenyum manis.
"Mau berangkat? Yuk bareng sekalian."
Kata Niko tanpa banyak basa basi.
"Udah siang, nanti telat." Tambah cowok itu pula karena melihat Nanda seolah ragu.
Nanda akhirnya menutup aplikasi di hp nya, lalu memasukkan hp nya lagi ke dalam tas. Niko mengulurkan helm ke arah Nanda.
"Kamu selalu bawa helm dua?" Tanya Nanda menerima helm dari Niko lalu memakainya.
Niko tersenyum.
"Yah buat jaga-jaga saja, kalo ada teman yang mau nebeng, atau ada nenek-nenek yang butuh diantar pulang."
"Aku diantara keduanya..." Kata Nanda lalu naik ke boncengan.
Niko tertawa lalu melajukan motornya.
Jalanan ibu kota sudah benar-benar padat merayap. Niko gesit membawa motornya meliuk melewati banyak kendaraan lain. Menyelip, kadang harus masuk gang untuk menghindari jalanan yang macet.
Tak banyak yang bisa Nanda bicarakan dengan Niko selama perjalanan itu karena Nanda terlalu ngeri melihat bagaimana Niko membawa motornya. Ia bahkan sibuk memegang erat ujung jaket Niko karena takut kehilangan keseimbangan dan jatuh terpental.
Lima belas menit saat akhirnya motor Niko memasuki area parkir kawasan perkantoran di mana Bank tempat Niko bekerja dan kantor Nanda magang berada.
"Ngga telat kan?"
Tanya Niko sambil membuka helmnya, Nanda mengelus dadanya berulang kali, lalu turun dari boncengan, kakinya benar-benar lemas.
Nanda membuka helm dan mengembalikan pada Niko.
"Terimakasih tumpangannya."
Niko tersenyum. Manis seperti biasa. Entahlah, Nanda bahkan tidak mengerti kenapa Niko suka sekali tersenyum seperti itu. Apa dia pikir dia seperti matahari yang tidak boleh redup meski hanya sesaat?
"Selama belum nemu kos, aku masih pulang ke rumah Bibi, kita bisa pulang bareng lagi kalau kamu mau." Kata Niko begitu Nanda sudah berjalan menuju kantornya.
"Oke" Niko mengacungkan ibu jarinya, lalu menenteng ranselnya menuju kantor ia bekerja.
"Oke apanya" Gumam Nanda tak jelas sambil melanjutkan langkahnya kearah pintu masuk kantor.
**--------**
Nanda memasuki ruangan kantor. Tak seperti hari biasanya di mana Nanda selalu datang lebih awal dari yang lain, kali ini tampaknya Nanda justru yang paling telat.
Bang Radit sudah sibuk di depan mesin fotokopi. Mona sudah sibuk ngeprint dan Bela sudah ada didepan monitor. Hanya Rio yang sepertinya juga terlambat datang.
"Pagi."
Sapa Nanda.
Mona, Bela dan Bang Radit kompak memandang ke arah Nanda, membuat Nanda sedikit salah tingkah.
"Ngg... maaf telat." Ujar Nanda canggung.
"Kamu pacaran sama Niko yah?" Bela akhirnya bersuara, memaksa Nanda menghentikan langkahnya menuju meja kerjanya.
"Kamu berangkat bonceng dia, kalian pacaran?" Nada suara Mona seperti sedikit cemburu, Nanda cepat menggeleng dan berusaha menyanggah.
"Bukan, bukan begitu, tadi kita cuma ketemu ngga sengaja dijalan kok."
"Pacaran juga ngga apa Nan, sama sama singel ini." Ujar Bang Radit menyela.
"Ikh..." Mona dan Bela kompak menatap sewot ke arah Bang Radit yang baru selesai memfotokopi berkas lalu berjalan kembali ke mejanya.
"Oh, tadi Rio mampir nyariin kamu Nan, dia ijin berangkat siang, katanya dia telfon ngga diangkat." Kata Bang Radit pula memberitahu
"Ya iyalah ngga sempet angkat, lagi asik." Sindir Bela yang kemudian kembali menatap monitornya.
Nanda berusaha acuh dengan sikap Mona dan Bela pagi ini, Nanda mengambil hp dari dalam tasnya, dan benar ada banyak pesan masuk serta panggilan tak terjawab dari Rio.
Nanda membuka beberapa pesan Rio.
"Nan, bener Bu Ratna pernah jadi tetangga Niko."
"Kemarin sore aku udah konfirm dan Niko bilang iya dia kenal."
"Niko nanya ngapain aku nyari Bu Ratna, tapi aku belum jelasin, mending nanti langsung ketemu kamunya aja."
"Nan... angkat ngapa!"
"Angkat whoiii..."
"Nan, kamu dimana sih?"
Setelah membaca rentetan pesan masuk Rio, Nanda pun keluar dari kantor sebentar, ia langsung menghubungi Rio.
"Eh, gila kamu Nan, kemana aja? Ngga ada apa-apa kan?"
Terdengar Rio seperti khawatir.
"Ngga apa, aku tadi lagi di jalan jadi ngga denger ada telfon."
"Syukurlah. Aku ijin berangkat siang, cewekku masuk Rumah Sakit semalam, ni aku masih diminta jagain, gantian sama Mamanya."
"Ooh Iyah, semoga cepet sembuh yah."
"Ok, thanks Nan. Tadinya dari semalam mau ngabarin, tapi repot di Rumah Sakit. Nanti siang kita ketemu di warung Bu Yuni aja, aku juga nanti minta Niko gabung, biar kamu bisa langsung ngomong."
"Ketemu Niko langsung... tapi."
"Udah, jangan tapi tapi... makin cepet ketemu makin cepet lega kamunya. Eh udah dulu, cewekku manggil nih."
Tut... sambungan telfon ditutup.
**------------**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Diana P.
ini karyamu yg ke 5 yg aku baca Thor...aku pada mu lah ..
2022-06-30
1
Nacita
mgkn s seli mantn niko kli🤔
2022-02-07
2
Lisa Aulia
kurasa selli...kerja nggak bener kali....tp lanjut aja dulu....
2021-11-20
1