"Clara Aretta?"
"Ya?"
"Gue Re-"
"Bundaaa!"
Rengekan itu menginterupsi ucapan Regan. Mau tidak mau dia harus mengalah pada balita yang kini merengek minta di gendong lagi oleh Clara. Ya Clara. Clara Aretta. Mana mungkin dia lupa dengan wanita ini -walau tadi sempat lupa sebentar- karena Clara adalah mantan pertamanya. Bisakah ia sebut cinta pertama? Kalau begitu mari kita ingat-ingat dulu bagaimana perasaannya pada Clara dulu ketika masa putih abu-abu
Memiliki wajah tampan cukup mengganggu bagi Regan. Bagaimana tidak? Dia yang notabenenya murid baru alias junior disini ditembak oleh kakak kelasnya. Catat ya, dia ditembak. Padahal dia seorang pria dan yang menembaknya tentu saja perempuan. Hanya saja dia tidak suka perempuan agresif. Seharusnya dia yang menembak perempuan bukan sebaliknya. Bisa hancur harga dirinya.
Dari sekian banyak mahluk berjenis kelamin perempuan di sekolahnya dulu, ada satu sosok yang cukup menyita perhatiannya saat itu. Clara Aretta. Gadis yang suka mengikat rambutnya, tidak suka berdandan tetapi cantik. Pendiam? Tidak juga. Clara malah tergolong cewek cerewet, hanya saja pada tempatnya saja. Menonjol? Tidak, Clara hanya gadis biasa. Tidak di kelas unggulan ataupun masuk geng bar-bar sekolah. Gadis yang lebih suka menghabiskan waktu bersama kedua temannya di kelas atau dikantin. Suka makan tetapi tubuhnya tetap ideal.
Awal pertemuan mereka tidak menye-menye sebenarnya, tapi cukup membuat Regan malu jika mengingat. Saat itu Regan tengah membeli minuman di kantin sendirian, teman-temannya masih ada dilapangan karena latihan basket, bodohnya dia lupa membawa uang. Awalnya dia nego-nego pada Ibu penjual, tapi tiba-tiba ada sosok yang nyodorin duit disebelahnya. Bisa ditebak bukan siapa gadis itu?
"Gausah dibalikin, gue ikhlas. Lagian cuma segitu." itulah yang diucapkan oleh Clara saat itu.
Untuk informasi saja, Clara itu bisa dikatakan anak Sultan. Golongan atas. Uang yang diberikan untuk membayar minum Regan saat itu limapuluh ribu tapi dibilang 'cuma segitu'. Saat itu Regan memang membeli untuk teman-temannya juga, makanya habis banyak. Tak disangka malah dia lupa membawa dompet. Sudah bergaya sok beli banyak, eh lupa bawa uang.
Yang membuat Regan tertarik pada Clara itu bukan karena gadis itu anak orang kaya atau hanya sekedar cantik. Walau dia tidak bisa menyangkal jika wajah Clara memiliki daya tarik sendiri. Tapi yang membuatnya suka pada Clara adalah cara perempuan itu tertawa. Ketika tertawa bersama teman-temannya terlihat begitu natural seolah tidak memiliki beban hidup. Begitu lepas. Juga senyum manis gadis itu.
Awalnya dia pikir hanya rasa suka atau kagum biasa, ternyata perasaan itu lebih. Dia tidak bodoh untuk mengartikan perasaannya sendiri. Setelah tahu jika dia memang cinta pada Clara, barulah dia beraksi mendekati gadis itu. Tidak semudah yang orang pikirkan, karena butuh waktu tiga bulan ia bisa memacari Clara. Tapi hampir satu tahun hubungan mereka ia membuat kesalahan. Yang membuat hubungan yang membuat banyak orang iri kandas begitu saja.
Lupakan hal itu, yang perlu dia ingat adalah perasaannya pada Clara saat itu. Jantungnya berdegup kencang ketika bertatapan dengan gadis itu, bahkan dia gugup ketika Clara menatapnya intens. Sangat bukan dirinya bukan? Bukankah itu cinta?
"Kenapa gue sia-siain lo dulu ya Ra?" gumamnya dalam hati. Jika mengingat masa-masa dia merasakan cinta pertama maka dia akan merasa menjadi manusia terbodoh di dunia. "Nyatanya dari tiga orang yang buat gue jatuh cinta, cuma lo yang paling susah gue lupain,"
"Mauuu!"
Seruan dari suara khas anak kecil menarik paksa Regan dari pikirannya sendiri. Dilihatnya sosok Clara yang tengah menggendong balita tadi. Entah apa saja yang orang-orang itu bicarakan, dia tidak tahu. Telinganya seakan berhenti berfungsi tadi. Ketika kepala Clara menoleh padanya, tiba-tiba saja tubuhnya kaku. Apalagi saat tatapan mereka beradu. Belum lagi dengan senyum tipis wanita itu. Ah, dia bahkan bisa mendengar degup jantungnya sekarang. Begitu keras dan cepat. Efek macam apa ini? Kenapa dia seperti ini hanya karena menatap Clara?
Tidak ada yang keluar dari bibir Clara. Wanita itu hanya mengangguk kecil kemudian pergi dari sana bersama pria tadi. Kembalilah dia pada realita. Clara sudah menikah? Tapi kenapa dia tidak tahu? Memang mereka tidak berhubungan lagi sejak lulus SMA, tapi setidaknya dia akan mendapat kabar dari grup sekolah bukan?
Melihat punggung wanita itu yang mulai menjauh, ia hanya bisa menatap miris. Clara sudah bahagia. Memiliki anak yang manis. Dipanggil Bunda seperti impiannya sejak dulu.
"Lucu kayaknya deh kalau dipanggil Bunda, imut-imut gitu." ucapan Clara saat berada ditaman masih teringat jelas oleh Regan. Saat itu mereka tengah berkencan di taman lalu melihat keluarga yang tengah bermain juga. Dan gadis kecil begigi kelinci itu memanggil Bunda pada ibunya. Saat itulah keinginan Clara muncul. Padahal mereka masih SMA pada saat itu.
"Kok sakit ya Ra?" tanyanya entah pada siapa. Telapak tangan kanannya sudah bertengger di dada. Merasakan detak jantungnya sendiri. Juga remasan kasat mata disana.
"Jadi gue belum move-on?" lagi ia bergumam sendiri. Sedetik kemudian dia menggelengkan kepalanya. Tawa sumbang terdengar. "Yakali gue belum move-on. Udah lama juga." lanjutnya. Dalam hati dia menekan kalimat jika dia sudah move-on. Clara itu masalalu. Sudah seharusnya dilupakan.
Tapi....
Kok ada yang sakit ya? Sakit lihat dia udah berkeluarga. "Argh!" tanpa sadar dia berteriak kesal. Tidak mengingat dimana dia sekarang. Butuh lima detik baginya untuk kembali ke realita. Ditatapnya sekeliling yang kini menatapnya bingung. Bahkan ada anak kecil yang menangis karena terkejut tadi. Bagus Regan! Kamu mempermalukan diri sendiri.
Sepertinya pergi kesini bukan keputusan yang bagus. Tubuhnya berbalik, lebih baik ia mencari tempat yang bisa mengurangi rasa aneh dalam dirinya. Campuran dari pusing juga sakit. Tapi sakitnya di hati. Ada yang tahu obatnya?
Masih ingat rumah yang Rian -Papah Regan- beli untuk tinggal sementara. Rumah tersebut ditinggali oleh Gibran. Posisinya yang dekat dengan kantor Gibran membuat pria itu memilih pindah. Hanya sesekali saja dia pulang kerumah utama. Jika tidak terlalu sibuk bisa seminggu sekali. Tapi jika banyak pekerjaan bisa sampai sebulan sekali.
Dan disitulah Regan berada. Rumah besar walau tak sebesar rumah utama baginya cukup nyaman. Sama seperti rumah utama, pelayan lah yang menyambut. Tidak ada banyak pelayan disini. Untuk pelayan tetap ada tiga, yang lain hanya paruh waktu. Toh hanya mengurus rumah ini dan Tuan mereka cuma satu. Jadi tidak repot.
"Bangkrut lo? Masa kulkas muat buat gajah tapi kaga ada isinya?" cibir Regan setelah menginjakan kaki di ruang kerja milik saudara sepupunya. Jika tengah mendapat proyek, biasanya Gibran akan mengerjakannya di rumah saja. Katanya butuh konsentrasi penuh, tidak mau diganggu. Itu juga alasan kenapa Gibran pindah kesini. Tadinya Regan juga ingin ikut, tapi dia tidak tega pada sang Bunda.
"Isi gajah aja biar penuh." jawab Gibran asal. Pandangannya tidak lepas dari laptopnya.
"Bibi kemana emang?" Regan duduk di sofa kemudian melepas dasi yang mencekiknya sedari tadi. Tak lupa ia melepas tiga kancing teratas kemejanya. "Panas amat disini." lanjutnya yang merasa gerah.
"Lagi belanja. Kebanyakan dosa lo!"
"Apa karena liat mantan dah nikah jadinya panas ya?" gumamnya sendiri namun masih terdengar oleh Gibran. Bagaimana tidak dengar, Regan saja mengatakannya dengan suara cukup keras.
Regan itu tipe orang yang suka curhat. Jika masalah kantor ia lebih suka berbagi dengan Reza. Karena dia pasti akan mendapat solusi saat memiliki masalah. Tapi jika masalah asmara biasanya ia akan curhat ke Gibran. Kenapa tidak pada Galih? Alasannya karena Kakaknya yang satu itu cukup banyak bicara. Tidak seperti Reza dan Gibran. Ketika dia bicara seolah tidak di dengarkan tapi nyatanya didengarkan. Diakhir cerita biasanya diberi solusi. Jadi intinya enak, ia curhat lalu saat selesai baru ditanggapi.
"Gue tadi ketemu mantan." ujar Regan sedikit dramatis. "Dia udah kawin Gib!" lanjutnya dengan nada lemas. Tubuhnya meluruh, bersandar pada kepala sofa. "Padahal gue belum."
"Terus?"
"Gue deg-degan masa nyet!" lanjut Regan sedikit heboh.
"Kagak deg-degan mati goblok!" sembur Gibran kesal.
Benar juga. Sepertinya dia salah dalam memilih kata. "Maksudnya deg-degan yang nggak biasa. Kayak orang jatuh cinta."
"Bulan lalu lo ngomong gitu."
"Beda cerita woy!"
"Kalimat lo sama."
"Sumpah lo nyebelin Gib!"
"Lo ganggu Gan!"
Ingin sekali Regan mengumpat tapi masih bisa dia tahan. Dan ini adalah reaksi Gibran ketika dia curhat tapi cowok itu tengah sibuk. Bukan masalah, toh dia sudah biasa.
"Apa gue gagal move-on ya?"
"Bisa aja."
"Pengin gue ajak balikan, tapi doi udah kawin."
"Gan?" panggilan itu membuat Regan menatap Gibran. Ternyata sepupunya itu juga tengah menatapnya dari balik kacamata. "Mampus!" lanjut Gibran kemudian kembali fokus pada laptopnya.
Tahu saudara laknat? Ya ini salah satu contohnya. Keputusannya untuk curhat pada Gibran adalah kesalahan besar. Mungkin lebih baik dia curhat pada Galih saja tadi. Tak apa ia harus mendengar ceramah panjang. Tapi mau bagaimana lagi? Beras sudah menjadi nasi dan nasi sudah menjadi bubur.
•To be continue•
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments