Tak semudah itu membuang kenangan yang sudah berakar direlung hati.
Cinta pertama itu kini tak memihak, sungguh Lubi kini memikirkan perkenalan dengan dokter muda yang tampan, dari Shiren beberapa bulan yang lalu.
Tak perlu bersedih, dengan telinganya sendiri. Lubi mendengarkan penolakan itu sekalipun menyakitkan.
Thubi telah menolak perjodohan dengan dirinya.
Awalnya Lubi menolak perjodohan tersebut, namun begitu bahagianya Lubi setelah ia melihat foto lelaki yang akan dijodohkannya adalah cinta pertamanya saat dibangku sekolah dulu.
Serasa terbang ke awan perlahan, ternyata ia salah sangka, cinta pertamanya belum menikah. Sangat percaya diri, Lubi terus mengait-ngaitkan tiap kejadian, mimpi bertemu dengan laki-laki cinta pertamanya.
Namun kepedihan itu makin membenam, ia patah hati atas penolakan dari mulut Thubi langsung.
Seharusnya ia tak perlu berharap, pada laki-laki yang diagungkan.
Pada akhirnya Lubi lebih berdosa jika terus menanam perasaan yang luar biasa itu.
Benar perkataan sahabatnya, mencintailah sewajarnya karna kita tidak tahu suatu saat akan membencinya, dan bencilah sewajarnya karna mungkin suatu saat akan jatuh cinta padanya.
Lubi memilih kabur ke rumah Shiren yang sibuk menyusui bayi kembarnya.
Shiren sudah tahu Lubi dengan perasaannya. Shiren mendengarkan semua keluhan Lubi, matanya sudah berkaca-kaca mulai tumpah.
"Bodoh, ngapain masih mau di ajak ketemu sama orang yang udah nolak mentah-mentah." cerca Shiren kesel ngeliat sahabatnya digituin.
Wajah Lubi memerah menahan sesak.
"Kalau sampai masih mau juga tetep dibodohin sama cowok yang udah nolak, sama aja kayak nyebur kelubang sama, belum apa-apa udah buat nangis, aku bilang juga apa, cowok kayak gitu dikasih pelajaran dulu."
Shiren gregetan banget denger cerita Lubi.
"Dikasih pelajaran maksudnya?"
Lubi menoleh ke arah Shiren
"Ya bolehlah, kalo emang dia mau minta maaf dengan narik ucapannya gitu, toh itukan Mamahnya yang merasa bersalah atas kelakuan anaknya. Bukan dari anaknya langsung, ngapain juga mau diajak ketemuan, biarin aja..."
"Mamahnya langsung ke kamar minta maaf, sambil ngomong...."
"GAK, jangan pernah kasih kesempatan, kecuali anaknya datang langsung memohon berlutut minta maaf, dan jangan pernah mau ngangkat telpon dari si cowok itu, atau di ajak ketemuan."
"Terus, kalo dia nelpon trus..."
"Ya biarin aja, biar dia juga ngerasain, jangan pernah mudah mau dibujuk, jangan keliatan banget kalo ngebet banget, jual mahal dikit. Biar dia juga tahu rasanya enak gak menunggu gak ada kabar."
Lubi terdiam, sejenak ia menatap ponselnya dari semalam udah hampir lima puluh kali panggilan tak terjawab, belum whats up nya dengan emoticon permintaan maaf ditambah bunga yang terkirim di depan rumah dan ucapan maaf.
"Awas kalo gampangan kasian nerima permintaan maafnya." ancam Shiren menoleh ke Lubi yang rebahan di sofa.
Lubi manyun menatap layar ponselnya.
Sebenarnya kenapa jadi seribet itu, setelah sekian lama gak pernah ketemu.
Malah endingnya kayak gini.
Satu sisi Lubi udah kasian, tapi egonya mulai sakit jika ingat sikap cowok itu kemarin dari pura-pura gak kenal dan
Malah ngomong gak setuju dengan perjodohan itu.
Dan dengan tiba-tiba mau minta maaf, emang baginya mudah asal narik omongan aja, apa dia kira, gak punya perasaan apa? Mana rame di hadapan temen arisan Ibu.
Lubi menutup wajahnya dengan bantal sofa, berharap semua ini hanya mimpi.
"Kenapa gak coba kenalan dulu sama si dokter? siapa tahu cocok? gak ada salahnya kan?"
Shiren menawarkan sepupunya itu sang dokter muda yang ganteng.
Emang sempet ketemu beberapa kali sama Lubi.
Lubi menggeleng pelan.
"Aku gak mau hanya karna pelampiasan aja, gak mudah. Emang dikira warung. Bisa buka tutup aja sesuka hati."
"Kan gak salah dicoba dulu, meski sampai kapan menutup hati, sementara diluar sana banyak cowong yang ngantri buat ngelamar. Makannya gak nikah-nikah, inget umur, inget ya, bulan depan Vio nikah, nah kamu masih sibuk dengan masa lalu yang gak jelas sama sekali."
Lubi seakan diserang peluru batinnya bertubi-tubi, memang sakit. Namun masa lalu itu begitu kuat menahannya terkurung.
Tak lama poselnya bergetar, nomor dari semalam muncul kembali di layar ponselnya.
Lubi hanya terpaku menatapnya.
Apa sebaiknya diberi kesempatan? mungkin Thubi khilaf ngomong itu, atau dia gak sadar kalo aku wanita yang dijodohkan untuknya.
Jemarinya seakan ada keberanian untuk menerima panggilan tersebut, namun Shiren lebih dahulu melotot.
Lubi manyun, menutup bantal ponselnya.
"Sebaiknya pikirin baik-baik, renungi akibatnya, dan harus siap nerima konsekuensi setiap keputusan yang diambil." Shiren menepuk bahu Lubi sambil menggendong bayi kembar satunya yang sudah tertidur, dan satunya udah terbaring ditempat tidur.
........
"Non, ada tamu di bawah."
Asisten rumah tangga mengetuk pintu kamar.
"Iya, mbak sebentar ya."
"Shiren langsung mengambil jilbabnya.
"Bentar ya Bi...please jagain anakku yang satunya ya..."
Lubi mengangguk. Mendekati baby twins satunya yang udah nyenyak bobok.
Shiren menuruni anak tangga, dengan pelan berjalan.
Namun tak ada siapapun dibawah.
Pintu setengah terbuka.
Ada buket mawar putih dan secarik kertas.
Shiren membacanya.
"Jadi dia tahu Lubi disini?"
Shiren membawa buket mawar itu kelantai atas.
"Kayaknya ada mata-matain deh, ini buat kamu, baca aja pesan dikertas itu."
Lubi pelan-pelan beranjak bangun dari tempat tidurnya, takut si baby bangun.
"Kok buat Aku?"
Lubi kebingungan mengambil buket mawar putih itu.
"Baca aja!"
Harusnya bisa berikan maafmu sejenak.
By: Thubi
Lubi mendekati jendela kamar.
Nampak di sana parkir mobil putih membuka jendela kaca mobil, dengan melambaikan tangannya kearah Lubi sambil tersenyum tak lama kedua tangannya Thubi seolah memohon maaf sambil dengan wajah penyesalan.
Lubi langsung menutup hordeng kamarnya.
"Awas kalo berani turun nemui cowok itu." ancam Shiren.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Siti Asmaulhusna
😈😈
2020-05-24
1
Miss Mellow
semgt thot
2020-05-12
1
Fina firo
hahahaha lucu
2020-05-05
2