She thought she was alone

Pukul 02:37 dini hari – Apartemen Polly

Polly terbangun.

Bukan karena suara. Tapi justru karena ketiadaan suara.

Biasanya, apartemennya selalu berisik: AC tua berdengung seperti dengung lebah obesitas, tetangga ribut seperti telenovela tanpa skrip, keran bocor menetes seperti detak jantung rumah yang hampir ambruk.

Tapi malam itu...

Sunyi.

Ia duduk perlahan. Menahan napas.

Sesuatu terasa salah. Terlalu salah.

Dia melangkah ke ruang tengah, menyalakan lampu—

Dan membeku.

Seseorang duduk di kursinya.

Tenang. Menyatu dengan kegelapan.

Punggung tegap. Kaki disilangkan. Tangan terlipat di pangkuan.

Seperti sedang menunggu teh disajikan.

"Kau..." suara Polly pecah.

Pria itu menoleh. Tatapan dingin. Familiar.

Lelaki dari balkon. Dari dapur. Dari berita.

"Kau harusnya membiarkanku menyelesaikan tugasku, Polly Aldridge."

Polly tersenyum tipis.

Dan semuanya—popcorn, pistol, rasa bangga—tiba-tiba terasa sangat... kekanak-kanakan.

Ia baru sadar:

Ia tidak menang.

Ia bukan pahlawan.

Ia baru saja masuk ke permainan yang sebenarnya.

Dan Pria kemarin sore itu.

Yang menyerahkan pistol seperti menyerahkan remote TV di ruang tamu.

Yang seharusnya tidak tahu alamat Polly.

Tapi tentu saja dia tahu.

Polly membeku di ambang ruang tengah, napasnya tercekat.

Duduk santai di kursinya—kursi Polly, kursi empuk satu-satunya yang dia beli pakai gaji jadi maskot badut ayam—adalah pria yang lebih mirip tokoh film "John Wick" dengan turtleneck hitam yang tidak tampak seperti manusia biasa. Lebih seperti glitch di dunia nyata. Tenang, kaku, dan sangat tidak selaras dengan tirai bunga-bunga milik Polly.

"Nice tote bag," (Tas tote yang bagus) katanya santai, menunjuk ke tas Polly yang tergeletak di sofa. "Bee Kind, huh?"

Suara itu persis seperti terakhir kali ia dengar: datar, jelas, dan tidak memberi ruang untuk salah dengar.

Polly menatapnya. Mulutnya terbuka, dan dengan langkah gesit seribu kaki, ia mengambil dan membuka tas totenya yang tergeletak di meja. Benda itu tidak ada.

"Kau... mengambil pistolnya?"

Pria itu menaikkan satu alis. Perlahan. Hampir seperti animasi dengan frame lambat.

"Of course. That is mine. Dan itu bahaya untukmu" (Tentu saja. Itu milikku)

Polly menghela napas pelan.

"Kau masuk diam-diam. Aku tidak dengar apapun," jelas Polly terbata, separuh panik, separuh... kagum pada dirinya sendiri karena masih bisa bicara. "Bagaimana bisa?"

Tiga detik hening terjadi. Terasa seperti babak final dalam game reality show yang Polly tidak pernah daftar.

Lalu pria itu berdiri.

Tinggi. Tegap. Bayangan tubuhnya menutupi sebagian cahaya dari lampu gantung. Pakaian serba hitamnya membuatnya tampak seperti tokoh antagonis dari film noir tahun 2030. Ekspresinya datar, dengan semburat tebal rambut di sepanjang dagunya. Menutupi garis ketegangan yang nyaris tak terlihat di rahangnya. Seperti orang yang bisa melakukan kekerasan... dan tetap bersih dari noda.

"Aku di sini hanya untuk satu hal," katanya pelan.

Polly menelan ludah. "Kau... ingin popcorn?"

"Tidak. Kau mengacaukan rencana."

Polly berkedip. "Yang mana? Maksudku—aku memang mengacaukan banyak hal dalam seminggu ini. Bisa lebih spesifik?"

Tatapannya menusuk. Satu langkah maju, Polly langsung mundur ke belakang. Refleks survival bawaan gadis-gadis pekerja serabutan.

"Glenmore Street. Kau seharusnya tidak ada di sana."

"Oh, ya?" Polly mendongak, meskipun suara dan tekaknya sedikit gemetar. "Dan wanita itu seharusnya tidak dibunuh di dapurnya sendiri, tapi hey... lihat siapa yang berkunjung sore itu."

Ada jeda. Singkat. Tapi cukup lama untuk membuat udara jadi berat.

"Aku Dorian Quinn," katanya akhirnya.

Polly memutar matanya. "Itu... terlalu keren untuk seorang pembunuh. Kedengarannya seperti nama karakter film yang menjual jiwanya kepada iblis."

"Aku bukan pembunuh."

"Really? (Benarkah?) Karena pistolmu bilang sebaliknya."

Dorian tidak tersenyum, tapi matanya... menegang sedikit. Atau melunak. Entahlah. Matanya seperti bug di sistem; tak bisa dibaca dengan logika biasa.

"Apa kau selalu seceroboh ini?" tanyanya dingin.

"Statistik bilang: ya."

Dia menarik kursi, duduk kembali seperti tak terjadi apa-apa. Polly mengernyit, masih berdiri seperti kucing liar yang tidak yakin apakah harus kabur atau melemparnya dengan remote.

"Kau dengar telepon itu secara tidak sengaja?"

"Yup. Sumpah demi diskon seumur hidup di toko roti. Kurasa aku masuk apartemen yang salah karena alamatnya buram. Dan pintunya tidak dikunci! Itu enam puluh persen salahmu."

Dorian menatapnya lelah. "Dan kau pikir... menegur orang asing—yang memegang pistol— dengan tote bag motivasi adalah ide bagus?"

Polly menyilangkan tangan. "Kau menyerahkan pistolmu, kan? Jadi... aku berhasil?"

Dorian menarik napas dalam-dalam. "Wanita itu... seharusnya tidak mati."

"EXACTLY! (Tepat sekali!) Tapi dia mati juga! Itu semua karena—"

"Karena kau."

Polly terdiam dengan wajah kebingungan.

"Karena setelah kau masuk, dia panik. Lalu kabur. Dan pihak yang benar-benar ingin dia mati datang kembali. Kali ini, bukan karena aku." Lanjut Dorian.

Polly menyipitkan mata. "Aku lihat kau. Kau—kau mengacungkan pistol padanya."

Dorian menatapnya. Lama. Lalu ia bicara pelan, datar.

"Aku sedang menginterogasinya."

Polly tampak bingung. Lagi.

"Aku sedang mencoba mendapatkan informasi darinya. Karena dia menyimpan sesuatu. Bukan cuma untuk dirinya sendiri, tapi untuk kelompok yang mempekerjakanku."

"Kau menodongkan pistol ke... klienmu?"

"Dia bukan klien. Aku bukan pengawal pribadi. Aku dikontrak untuk mengawasi informasi tertentu tetap aman. Tapi wanita itu... terlalu pintar. Dia tahu sesuatu, menyembunyikan sesuatu. Dan sebelum aku bisa dapatkan itu darinya—"

Dia tak menyelesaikan kalimat itu.

"Tapi kenapa kau kelihatan seperti... penjahatnya?" tanya Polly, nyaris berbisik.

"Karena aku memang terlihat seperti itu. Supaya orang seperti dia bicara."

Hening sejenak. Polly masih belum sepenuhnya percaya. Tapi Dorian terlalu meyakinkan, terlalu metodis, dan terlalu—anehnya—jujur dalam kebohongannya.

"Jadi, kau tidak membunuhnya?"

"Tidak. Tapi begitu dia pergi dariku—begitu dia kabur—orang yang benar-benar menginginkan dia mati dapat akses. Mereka menunggu celah. Dan kau, Polly... tanpa sadar, menciptakan celah itu."

Kebohongan. Dingin. Rapi. Tapi perlu.

Dia hanya harus membuat Polly percaya—untuk sekarang.

...

Hot

Comments

AkiraMay_

AkiraMay_

The vivid descriptions made me feel like I was right there with them.

2025-08-23

0

See all

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play