Sejenak Polly tidak bergerak seperti manekin.
Saat merasa situasi benar-benar aman, ia keluar. Dengan sangat perlahan, Polly membuka pintu lemari. Ruangan itu sudah kosong.
Ia menyambar tas, semprotan cuka, dan pergi nyaris berlari keluar ruangan. Tas tote dan ember kecilnya terayun liar, jantungnya masih berdetak kacau.
Polly tidak menyadari dibalik belokan ujung lorong lainnya, sepasang mata melihatnya keluar dari unit apartemen itu.
Ketika Polly masuk lift, tangannya gemetar menekan tombol di dalamnya. Meski udara sejuk, punggungnya basah oleh keringat.
Ia tidak tahu siapa pria itu atau maksud kalimat abu-abu yang ia dengar. Tapi satu hal yang pasti: ada yang tidak beres. Pria itu membawa senjata, dan Polly merasa seharusnya tidak mendengar percakapan itu.
Di halte bus, napas masih ngos-ngosan, baru satu hal yang terlintas:
Dia bahkan belum dibayar.*
_______
Apartemen Polly, pukul 22:10.
Malam tiba.
Gedung tua itu berdiri seperti kotak korek api bekas: rapuh, kusam, dan mudah dilupakan.
Catnya mengelupas, suara keran menetes dari lorong, dan lampu tangganya berkedip seperti sedang sekarat.
Di seberangnya, sebuah mobil hitam terparkir diam. Mesin mati. Lampu padam. Dengan kaca gelap yang menyerap semua bayangan tanpa memantulkan kembali.
Di dalamnya, sosok pria duduk dengan laptop terbuka di pangkuannya.
Wajah Polly terpampang di layar, bersama satu catatan kecil yang menarik perhatiannya:
'Juvenile Detention, Age 15. Dugaan Pencurian Kecil. Kasus ditutup.'
Pria itu menghela napas pelan, menutup laptop.
Tatapannya naik ke jendela lantai dua dengan lampu yang masih menyala lalu mati. Polly beranjak tidur.
Ia tahu gadis itu yang menguping.
Ia tahu gadis itu menyelonong masuk ke apartemennya tanpa izin.
Dan ia membiarkannya.
Siapa pun yang melakukan itu biasanya sudah mati. Tapi Polly?
Dia berbeda.
Setelah diselidiki, ternyata gadis itu hanya salah masuk unit apartemen. Bukan hanya ceroboh, gadis itu juga punya masa lalu yang cukup... menghibur.
Dengan kasus hukum yang pernah dialaminya, hampir pasti dia tidak akan menelepon polisi.
Pria itu menyandarkan punggung, diam.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia memutuskan: membiarkan seseorang... hidup.
Setidaknya untuk malam ini.
___
Keesokan harinya, pukul 09.00 pagi.
Dunia terus berputar, dan uang sewa apartemen tetap jatuh tempo tiap tanggal lima. Polly memilih untuk sibuk. Sibuk adalah aman. Sibuk artinya tidak gila.
Pagi itu, ia mengantar kue ulang tahun untuk anak seorang CEO di Lobi kantor elite yang sudah disulap jadi pesta mini bertema "magical land"—penuh balon pastel, confetti, dan satu unicorn tiup raksasa yang nyangkut di plafon. Polly tetap tersenyum dan mengucapkan, "Happy magical birthday!", tepat sebelum hampir nyungsep gara-gara pita kado yang melintang di lantai marmer.
Setelah itu, dia lanjut mengepel kamar mandi eksekutif, yang menurutnya adalah satu-satunya tempat di dunia ini di mana parfum Jo Malone dan bau pembersih bisa hidup berdampingan.
Selama sibuk kerja, kepala Polly juga semakin sibuk. Sibuk memutar ingatan: suara pria apartemen kemarin.
'Rumah bata merah.'
'Pintu belakang.'
'Pukul empat sampai enam.'
'Sendirian.'
Sial. Semuanya terdengar terlalu spesifik untuk diabaikan. Dan semakin Polly mencoba untuk tidak memikirkannya, semakin suara itu terdengar seperti alarm mobil yang terus berbunyi di otaknya.
Bahkan tanpa melihat wajahnya, tanpa mendengar seluruh isi percakapannya, Polly bisa merasakannya di tulangnya.
Dia merasa—tidak, dia yakin—bahwa pria itu
....berbahaya.
Setelah selesai shift cleaning service di kantor pengacara yang menyimpan rahasia lebih kotor dari karpetnya, Polly keluar dari gedung dengan langkah cepat. Ia naik bus, turun tiga blok lebih panjang dari rutenya, dan berdiri di seberang jalan dengan hoodie ditarik sampai mata.
Bukannya langsung menghubungi polisi. Ia malah ingin bertindak sendiri. Hanya ingin memastikan. Hanya Polly. Dengan pikiran sederhananya.
___
Glenmore Street, pukul 05.35 sore.
Polly berdiri di depan sebuah rumah merah-bata kecil di kawasan tenang Baltimore.
Ia menekan bel.
Pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul—berpakaian kasual, rambut sedikit acak, ekspresi datar seperti baru saja nonton drama kriminal dan kesal karena episode-nya menggantung.
"Yes?"
"Hai!" kata Polly ceria. "Sorry, i know this is crazy, but... (Maaf, aku tahu ini gila, tapi...)
aku cuma mau bilang: berhati-hatilah. Aku rasa... seseorang mungkin akan berniat jahat padamu hari ini."
Wanita itu mengedip pelan.
"...Apa?"
"Sumpah ini bukan lelucon. Aku dengar seseorang bilang soal rumah merah bata, pintu belakang, sendirian jam 6 sore. Semua cocok banget! Aku cuma—ya, you know (kau tahu), menyelamatkanmu !"
Wanita itu menghela napas dalam-dalam, lalu menutup pintu.
Klik.
"Okay," gumam Polly sambil melangkah mundur. "Itu bukan sambutan heroik seperti yang kubayangkan."
Ia berdiri di depan rumah itu selama hampir sepuluh menit, mondar-mandir seperti kurir yang kehilangan alamat.
"Apa baiknya telepon 911?" pikirnya. Tapi... sepertinya itu bukan solusi.
Tangannya sempat merogoh saku jaket, ragu. Ponselnya sudah siap. Jempolnya hampir menekan angka darurat.
Tapi jantungnya berdetak terlalu kencang.
Ingatannya memutar kembali sesuatu yang lama terkubur—
Sirene. Interogasi. Lampu putih menyilaukan dan suara orang dewasa yang tidak mendengarkan.
Polisi.
Yang waktu itu katanya mau 'membantunya', tapi justru menahannya semalaman.
Menyuruhnya menandatangani sesuatu yang tak ia mengerti.
Membuatnya tercatat sebagai 'troublemaker'.
Sejak itu, Polly tahu:
Tidak semua yang terlihat seperti bantuan... benar-benar membantu.
Matanya melirik jam di pergelangan tangan.
Kurang sepuluh menit menuju pukul enam petang—sesuai waktu yang disebut pria itu di telepon.
Ia menggigit bibir bawah.
Bagaimana kalau semua ini cuma kesalahpahaman?
Bagaimana kalau ia melapor... dan justru disalahkan lagi?
Polly menatap rumah itu. Lalu ia mendesah. "Oke, Polly. Either you're a crazy person... (Entah kamu orang gila...) atau sedang mencegah kejahatan atau bahkan mungkin pembunuhan. Nothing to lose." (tak rugi apa-apa.)
Ia mencabut pinset dari dalam dompet. Karena, well... Polly pernah sering terkunci dari apartemennya sendiri, jadi keterampilan membuka kunci pintu dengan alat darurat adalah semacam survival skill.
Klik.
Pintu terbuka. Tidak ada suara alarm.
"Easy," (gampang) gumamnya bangga. "Sepertinya wanita itu lupa mengaktifkan alarm." Pikir Polly tanpa curiga.
Rumah itu sunyi. Terlalu sunyi.
Ia menoleh ke arah tangga.
Langkah kecil mundur. Nafas tertahan. Jemarinya masih menggenggam pinset.
Dan di tengah ketegangan itu, satu pikiran melintas di kepalanya:
"This is crazy. You're f*ckin crazy, Polly."
(Ini gila. Kau benar-benar sudah gila, Polly)
...
*Terlepas apakah Polly salah masuk kamar apa tidak. Dia tetap berpikir bayarannya.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments