She thought she walked into the right room

Baltimore, pukul 08.46 pagi.

Pagi itu seolah sedang menguji kesabaran Polly Aldridge. Langit menggantung rendah, angin membawa aroma kopi basi, aspal basah, dan sedikit keputusasaan. Ia berdiri di depan apartemen bertingkat yang tampak seperti gabungan antara motel anggaran rendah dan rumah sakit jiwa.

Panggilan hari ini datang dari website kerja online:

'Bradford Apartemen unit 131_, pukul 9 pagi. Bayaran tunai.'

Angka terakhirnya buram—bisa 0, bisa 8, atau mungkin 3. Entahlah. Sepertinya terkena percikan kopi tadi pagi. Dan ia tidak repot untuk memastikan lagi atau bahkan mencetak ulang. Typical Polly. (Polly banget.)

Polly memilih berdasarkan metode universal pekerja kelelahan: kalau angka awalnya cocok, berarti itu sudah cukup.

Polly masuk ke lobi, menarik napas, lalu melangkah ke meja resepsionis.

"Hai, aku dari jasa cleaning. Ada titipan kunci buatku?"

Wanita paruh baya di balik meja tidak menoleh, hanya membuka laci dan menggeser satu kunci ke arahnya—tanpa kata, tanpa tatap mata, seperti robot yang sudah muak jadi manusia.

Polly mengambilnya dengan hati-hati. "Terima kasih...?" katanya ragu, lalu melangkah pergi, merasa seperti baru direkrut untuk misi rahasia, padahal cuma bawa pel dan kantong sampah.

Dan begitu saja, ia tiba di depan Unit 1313.

"Hmm... it must be three? Should be three, definitely!" (Harusnya ini tiga? sepertinya tiga, pasti!) gumamnya sambil memicingkan mata, membandingkan slip dengan nomor pintu.

Keyakinan itu mulai goyah saat kunci di tangannya tidak berhasil memutar lubang kunci. Ia mencoba sekali. Dua kali. Tiga kali.

Klik? Tidak.

Alih-alih panik, Polly hanya mendesah pelan. "Jangan bilang... petugas lobby salah kasih kunci."

Tapi bukannya mengecek ulang, dia justru memutar gagang pintu.

Klep.

Pintunya... terbuka.

Tidak dikunci. Tidak ada alarm. Tidak ada suara dramatis seperti di film. Hanya bunyi engsel tua dan udara dingin yang menyambutnya dari dalam.

Polly mengangguk kecil. "Yup. Some people really do forget to lock their doors."

(Yup. Sebagian orang memang benar benar lupa untuk mengunci pintu.)

Kalau kau bertanya-tanya apakah Polly benar-benar percaya itu, jawabannya: ya. Dia terlalu malas untuk berpikir rumit. Atau setidaknya cukup percaya untuk melangkah masuk sambil membawa ember kecil berisi alat pel, sarung tangan karet merah muda, dan ponsel dengan playlist bersih-bersih favorit yang hanya tinggal lima persen baterainya.

Ruangan itu... terlalu rapi. Terlalu steril. Tidak ada foto keluarga, tidak ada barang pribadi, tidak ada sisa kehidupan. Dapur bersih, tapi berdebu. Bau ruangan seperti lilin mahal dan kertas baru.

Tapi Polly tidak curiga. Ia justru terkesan.

Dengan ringan, dia mulai menyemprotkan cairan cuka ke permukaan meja dapur. Menyalakan lampu. Menyingsingkan lengan hoodie bertuliskan Mess Happens.

Tidak ada pertanyaan dalam kepalanya. Tidak ada tanda bahaya.

Karena di dunia Polly Aldridge, kunci yang tidak cocok dan pintu yang tidak dikunci bukan berarti sesuatu yang salah.

Itu hanya berarti: pekerjaan dimulai lebih awal.

Gesrek.

Suara dari pintu balkon yang membuka.

Langkah kaki. Berat. Teratur.

Polly membeku.

Langkah-langkah itu makin dekat. Seseorang masuk ke ruangan apartemen itu—dari balkon.

Refleks, Polly mencari tempat persembunyian. Matanya melesat ke lemari pakaian besar di pojok ruangan.

Tanpa pikir panjang, dia masuk dan menutup pintu perlahan. Nyaris tanpa suara.

Dalam pikirannya, ia pun baru tersadar...

'Why am I hiding for?! I'm not a thief—yet.'

(Kenapa aku sembunyi? Aku bukan pencuri—belum.)

Tapi belum sempat ia keluar. Dari kejauhan suara itu datang:

Klik.

Bukan kunci. Bukan pintu.

Pistol.

Di balik kegelapan lemari, raut wajah Polly  kembali tegang. Ia pun mengurungkan niatnya untuk keluar.

Dari celah kecil di lemari, ia melihat sepatu kulit hitam yang mahal. Langkahnya pelan. Tenang. Seperti seseorang yang sangat terbiasa dengan tekanan.

_____

-POV: the Hitman-

Aku tahu ada yang tidak beres sejak melihat semprotan cuka, ember kecil dan tas tote norak tergeletak di meja dapur.

Dan yang paling mencolok—bau pembersih, terlalu segar untuk apartemen kosong.

Aku diam. Mendengarkan.

Tarikan napas pelan. Gesekan kecil dari arah lemari.

Orang biasa mungkin akan langsung menodongkan pistol. Menyergap siapapun penyusup itu. Tapi aku hanya tersenyum tipis.

Seseorang sedang menonton.

Dan aku ingin tahu siapa yang cukup bodoh untuk mengendap ke sarangku.

____

—Back to Polly—

Polly langsung menahan napas. Jantungnya berdetak seperti mesin cuci yang hampir meledak.

Tiba-tiba. Trriiiinngg.

Pria itu berhenti. Mengangkat ponselnya. Menjawab telepon.

"Yeah. Tomorrow should be solo, around four to six. Red-brick house. Glenmore street."

Satu alamat. Terlalu jelas untuk sebuah kebetulan.

(Ya. Besok seharusnya sendirian sekitar pukul empat sampai pukul enam. Rumah bata merah. Jalan Glenmore)

Tak ada suara di seberang, hanya denging samar dari sinyal kotor.

"Back access confirmed. No visible security system." Ia menarik napas pelan.

(Pintu belakang terkonfirmasi. Tanpa sistem keamanan)

Ada jeda. Tapi bukan ragu.

Sekilas menoleh ke arah bayangan di balik lemari. Ia tahu. Lebih seperti pesan—untuk telinga yang tak diundang.

"Two-minute window. In and out. Clean job."

Kali ini suaranya lebih berat. Lebih tajam. Tak memberi ruang salah langkah.

(Celah kurang dari dua menit. Bersih tanpa masalah)

Jeda. Lalu tawa pendek.

"You know I'm efficient."

(Kau tahu aku efisien.)

Suaranya tenang. Terlalu tenang. Dan itu bukan pernyataan. Itu peringatan.

Polly membeku. Napasnya nyaris terputus.

Pria itu duduk sebentar, mengetik sesuatu di ponsel. Mengunci layar. Lalu berdiri.

Langkahnya... kembali mengarah ke lemari.

Polly menahan napas. Panik. Keringat dingin mengalir di punggungnya.

'He knows. He totally knows I'm here.'

(Dia tahu. Dia benar-benar tahu aku disini.)

Gagang lemari bergeser. Sedikit.

Tring!

Ponsel pria itu kembali berbunyi. Ia menjawab dengan suara pelan, menoleh ke arah lain.

Langkah kakinya menjauh.

Dan terdengar suara pintu depan membuka dan menutup.

Sunyi lagi.

Dalam diam yang terlalu senyap, Polly tersadar satu hal:

Kesalahan sekecil apa pun bisa menjadi akhir.

Dan saat ini, dunia di luar lemari terasa jauh lebih berbahaya dari yang ia kira.

...

Download

Like this story? Download the app to keep your reading history.
Download

Bonus

New users downloading the APP can read 10 episodes for free

Receive
NovelToon
Step Into A Different WORLD!
Download NovelToon APP on App Store and Google Play