Polly melangkah masuk, pelan, seperti dalam film horor. Melewati ruang tamu, menyusuri lorong, dan—saat tiba di dapur—hatinya seperti ingin meloncat dari tenggorokan.
Di sana.
Pria balkon itu.
Sedang menodongkan pistol ke arah si wanita.
"HEY!" teriak Polly, membuat semuanya terkejut.
Pria itu menoleh—marah, bingung, mungkin juga geli.
"Letakkan itu!"
Hening. Tidak ada respon dari lawan bicara yang dituju. Hanya tatapan menelisik.
"Itu! Yang di tanganmu! Yang bisa buat seseorang terbunuh!"
Wanita itu membeku. Si pria mengerutkan alis. "Bagaimana kau bisa—"
"Tidak penting!" potong Polly cepat. "Kau tahu tidak, betapa tidak sopan membunuh orang di dapurnya sendiri? Di mana etikamu? Di mana tata krama?"
Polly maju dan mengulurkan tangan. "Come on, Give me that." (Ayo, berikan padaku.)
"You joking?" (Kau bercanda?) Ucap pria itu dengan tatapan tajam yang sedikit terkejut.
"Berikan padaku atau aku teriak 'ADA PEMBUNUH' dan polisi akan datang dengan helikopter. I'm f*ckin serious."(Aku benar-benar serius.) Kilat matanya tak padam sedikitpun.
Setelah beberapa detik yang canggung—dan entah karena tekanan psikologis atau karena pria itu betul-betul tidak bisa memproses manusia seperti Polly—ia menyerahkan pistol itu.
Polly menyelipkannya ke dalam tote bag bertuliskan Bee Kind, Bee Positive.
"Kau bisa lebih baik dari ini," katanya kepada pria itu, seperti sedang menegur anak kecil yang menumpahkan susu. "Ambil kelas yoga atau kesibukan lainnya. Aku Serius."
Ia menoleh ke wanita yang masih gemetar. "See, I told you," (Lihat, sudah kubilang.)
katanya sambil menyeringai bangga. "Tapi kamu malah ngusir aku."
Wanita itu hanya bisa mengangguk. "T-terima kasih. Aku... aku tidak tahu harus bilang apa."
"Bilang aja 'you are my hero', atau 'maukah kau jadi pengasuh kucingku', bebas. Aku tidak pilih-pilih."
Dan dengan gaya seperti habis menyelamatkan dunia, Polly meninggalkan mereka berdua. Begitu saja.
Just like that.
(Begitu saja.)
_______
-POV: the Hitman-
Dia datang seperti kebiasaan buruk.
Tidak diundang, tapi selalu muncul disaat yang paling tidak ideal—persis seperti batuk saat harus diam atau pikiran aneh saat kau mencoba tidur.
Langkah kakinya ringan, tapi aku sudah hafal polanya.
Lalu suara itu datang—nyaring, tinggi, dan tidak kenal takut:
|"HEY!"
Dan di sanalah dia.
Berdiri di tengah dapur seperti tokoh kartun yang tersasar ke dalam film kriminal.
Gadis kurus—bukan jenis model runaway tapi lebih mengarah kurang gizi atau semacamnya, dengan rambut blonde kuncir kuda dan tote bag murahan bertuliskan:
Bee Kind, Bee Positive.
Sial. Bahkan tote bag-nya terdengar seperti ancaman personal yang di tujukan untukku.
Jika ini bukan kehidupan nyata, aku akan tertawa.
Tapi ini nyata. Dan dia baru saja masuk ke dalam sesuatu yang bisa membuat mayatnya ditemukan dalam drum plastik, terkubur di pinggiran Baltimore.
Aku menatapnya—baju terusan lusuh khas pekerja, hoodie kebesaran yang hampir menelan bahunya, dan name tag bertuliskan huruf besar yang bergoyang liar di dadanya.
Polly.
Si gadis cleaning service yang terlalu banyak bicara dan terlalu sedikit akal sehat.
Dan sekarang dia berdiri di sini, menghadap bahaya yang bahkan aku yakin dia tak bisa mengeja kata 'dangerous' dengan benar. Matanya menatap pistol yang sedang kugenggam.
Bukan dengan takut. Tapi dengan sesuatu yang lebih berbahaya: keyakinan.
Keyakinan bahwa ia bisa menghentikan ini.
Bahwa ia bisa mengubah jalannya dunia dengan keberanian dan kata-kata.
Dia bahkan menunjuk ke arah pistol itu dan berkata:
|"Come on, give me that." (Ayo, berikan padaku.)
Dengan nada seperti anak yang meminta balon di pesta ulang tahun anak-anak.
Aku menatapnya. Lama.
Berpikir. Mengukur.
Aku bisa saja menarik pelatuk dan menyelesaikan semuanya.
Dua mayat lebih berat, tapi bukan yang terburuk yang pernah kuurus.
Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang menarik.
Bukan karena Polly cerdas. Justru karena ia tidak tahu banyak hal. Kebodohan yang polos. Keberanian yang belum rusak.
Walau mungkin pernah diperlakukan buruk oleh polisi, ia tetap memandang dunia dengan optimisme, jenis keteguhan yang langka.
Tipe orang yang percaya bahwa hidup selalu punya jalan keluar, asal kau cukup keras menyuarakan 'kebenaran.'
Dan itu membuatnya... sulit untuk diabaikan.
Jadi aku menyerahkan pistol itu.
Membiarkannya menang.
Membiarkannya merasa seperti penyelamat dunia.
Dia pergi dengan penuh kemenangan, seperti anak kecil yang berhasil mencuri permen tanpa ketahuan.
Dan aku tetap berdiri di sana.
Menunggu.
Lima belas detik berlalu.
Tepat ketika langkah Polly keluar dari rumah ini.
Dengan gerakan cepat dan presisi, aku menembak wanita di depanku sekarang dengan pistol berperedam. Sesaat sebelum ia bisa berteriak ataupun lari.
Tepat di jantung. Sunyi. Rapi.
Sudah jadi protokol standar: selalu sediakan dua rencana, dua pintu keluar... dan dua pistol.
Tubuhnya kupindahkan ke halaman belakang, ditutupi selimut taman, seolah dia hanya tertidur di malam musim panas.
Voila\~
Skenario sempurna.
Tanpa gangguan. Tanpa saksi. Belum.
Dan gadis itu? Polly?
Dia bahkan tidak sadar... dia baru saja memberiku celah.
⸻
Apartemen Polly – 22:05 malam
Popcorn meletup dalam microwave.
Polly duduk di sofa empuk, meski jahitan kulitnya sudah mulai mengelupas dan menganga di beberapa bagian, menyelimuti diri dalam selimut bertuliskan Netflix is My Therapist.
Dia menonton film thriller dan merasa, untuk pertama kalinya, seperti bagian dari dunia itu.
"Kukira aku nggak seburuk itu," gumamnya sambil mengunyah. "Well, turns out, I'm useful after all." (Ternyata, aku berguna juga.)
Ia tertawa kecil, lalu membolak-balik brosur promo belanja yang berserakan di meja. Tote bag-nya—masih dengan pistol di dalamnya—tergeletak tak jauh.
Lalu berita malam muncul.
Dan segalanya runtuh.
FLASH NEWS: 'Seorang wanita ditemukan tewas tertembak di halaman belakang rumah kawasan Glenmore Street. Polisi menduga korban dibunuh di lokasi yang sama dengan upaya penyelamatan sebelumnya.'
Polly membeku.
Wajah wanita itu muncul di layar.
Wajah yang tadi sore menatapnya dengan ketakutan, lalu berterima kasih.
Tangan Polly perlahan menjatuhkan popcorn.
Tubuhnya gemetar.
"Bagaimana... bisa?" bisiknya.
Dia menoleh dan melihat ke dalam tote bag.
Brosur diskon. Sebungkus permen karet. Dan...
Pistol.
Dingin. Berat. Nyata.
Lalu ponselnya bergetar.
1 pesan masuk:
*Hello, Polly. The Hero :) *
Itu bukan pujian.
Itu peringatan.
Dan awal dari permainan yang bahkan Polly belum paham aturannya.
...
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments