Suasana lorong itu begitu sunyi saat Nari mengikuti Jihoon. Langkah kaki mereka bergema di dinding putih yang terasa terlalu sempit untuk menampung segala macam pikiran yang berputar di kepala Nari.
Kenapa dia tiba-tiba mengajakku bicara? Apa dia tahu?
Setiap langkah semakin membuatnya sesak. Ia bisa mencium samar aroma parfum Jihoon, aroma yang begitu familiar hingga menyesakkan dada.
Sebuah pintu terbuka. “Masuklah,” kata Jihoon tanpa menoleh.
Ruangan itu adalah practice room kecil dengan cermin besar di satu sisi dan kursi panjang di sudut. Lampu temaram membuat bayangan Jihoon memanjang di lantai kayu.
Nari berdiri kaku di dekat pintu, tangan gemetar memeluk map. “Jihoon-ssi… ada apa ya? Kalau soal desain—”
“Han Nari.”
Suara itu memotong kalimatnya. Nari menegadah, mendapati Jihoon menatapnya dengan mata yang sulit diartikan. Tajam, tapi juga ada lembut yang terselip di sana.
“Berapa lama kau berniat berpura-pura tidak mengenalku?” tanyanya pelan.
Jantung Nari seolah berhenti berdetak. “A-Apa maksudmu…?”
Jihoon melangkah mendekat. Setiap langkahnya terasa berat bagi Nari.
“Dulu kau selalu memanggilku Jihoon-ah. Sekarang bahkan kau tak berani melihat mataku.”
Nari mundur setapak, punggungnya nyaris menyentuh cermin. “Aku… aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.”
Jihoon mendekat lagi hingga hanya tersisa setengah meter di antara mereka. Suara napasnya terdengar begitu jelas.
“Kau benar-benar pikir aku bisa melupakan Han Nari kecil yang selalu menggambar di halaman belakang rumahku?” bisiknya. “Aku ingat semuanya.”
Nari meremas map erat-erat hingga kukunya menekan kulitnya. “Itu sudah lama sekali. Kau sekarang… idol terkenal. Aku hanya—”
“Dan kau pikir statusku membuatku berhenti jadi manusia?” Mata Jihoon sedikit melembut. “Aku ingin tahu… kenapa kau menghilang tanpa kabar waktu itu?”
Nari menggigit bibir. Ada genangan air di sudut matanya. Semua perasaan yang selama ini ia tahan mendesak keluar.
“Aku… aku takut,” bisiknya nyaris tak terdengar. “Aku takut kau akan berubah begitu kau menggapai mimpimu.”
Jihoon menarik napas panjang. Jemarinya nyaris terangkat, seperti hendak menyentuh pipi Nari, tapi ia urungkan. “Kau salah. Tidak ada satu pun hari aku lupa padamu.”
Ruangan itu begitu hening hingga suara detak jantung mereka terasa memekakkan telinga.
“Jihoon-ssi… kita tidak boleh begini. Aku staf. Kau idol. Bagaimana kalau orang tahu?”
Jihoon tersenyum tipis, tapi matanya penuh dengan sesuatu yang tak bisa diucapkan. “Dan bagaimana kalau aku tidak peduli?”
Sebelum Nari sempat menjawab, suara pintu diketuk dari luar. “Hyung! Kami mau latihan koreografi lagi!” terdengar suara Minjae.
Nari langsung melangkah mundur, menjatuhkan mapnya ke lantai. Suara kertas berserakan terdengar begitu keras di telinganya, seperti menggema di ruangan yang sunyi itu. Jihoon tanpa ragu menunduk, meraih map itu, dan menyerahkannya padanya. Jemari mereka bersentuhan sebentar, hangat kulit Jihoon seolah membakar telapak tangan Nari.
“Jangan lari lagi, Nari.” Suara Jihoon terdengar rendah namun penuh tekanan. Tatapannya tajam tapi ada kilatan emosi yang sulit ditebak di sana. “Aku sudah kehilanganmu sekali. Aku tidak mau ke hilangan lagi.”
Nari menunduk, menahan air mata yang nyaris jatuh. Seluruh tubuhnya terasa kaku, tapi jantungnya berdetak begitu keras seolah hendak meledak. Ia ingin berkata sesuatu, tapi kata-kata tertahan di tenggorokannya.
Langkah kaki di luar ruangan terdengar mendekat lagi. “Hyung, cepat! Kami sudah menunggu,” seru Minjae dari balik pintu, nadanya terdengar sedikit heran.
Nari buru-buru membungkuk, suaranya nyaris pecah saat berucap, “Maaf… saya harus kembali.” Ia bergegas keluar sebelum Jihoon sempat menahannya lagi.
Di luar, langkahnya terasa ringan namun dadanya semakin berat.
"Bagaimana jika aku juga… tidak sanggup menjauh darinya?"
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Updated 104 Episodes
Comments
ahok wijaya
I don't usually read this genre, but this author has converted me! 🤩
2025-07-18
1