Chapter 1: Mereka yang Terlupakan
Loteng rumah Nenek Eleanor dipenuhi debu dan bau kayu tua yang lapuk. Sarah menyusuri tangga sempit dengan langkah hati-hati, tangannya meraba saklar lampu yang hanya berpendar samar. Kotak-kotak berdebu menumpuk di sudut ruangan, sebagian sudah lapuk dimakan usia.
Sudah seminggu sejak pemakaman neneknya, dan Sarah dipaksa oleh ayahnya untuk membantu memilah barang-barang peninggalan Eleanor. Ayahnya sendiri tidak mau menghabiskan banyak waktu di rumah ini. Katanya, ada sesuatu di sana yang membuatnya selalu merasa diawasi.
Sarah tidak percaya hal semacam itu. Baginya, ini hanya rumah tua biasa yang menyimpan sejarah panjang keluarganya. Justru, dia merasa bersemangat. Loteng ini seperti kapsul waktu, dan dia ingin mengungkap setiap rahasia yang tersimpan di dalamnya.
Dia membuka sebuah kotak besar yang tersembunyi di balik lemari usang. Isinya adalah tumpukan foto tua dengan tepian yang menguning dan retak. Sarah duduk bersila di lantai kayu dan mulai membongkarnya satu per satu.
Foto pertama: Potret keluarga Eleanor di masa mudanya, berdiri di depan kebun. Semua wajah terlihat jelas, namun Sarah tidak mengenali beberapa orang di dalamnya.
Foto kedua: Kakeknya yang masih kecil, berdiri di depan sekolah dengan wajah serius.
Foto ketiga: Sebuah perayaan keluarga di ruang tamu yang sekarang sudah dipenuhi sarang laba-laba.
Sarah terus membalikkan foto demi foto, tenggelam dalam nostalgia masa lalu yang bahkan tidak pernah ia alami. Sampai tangannya berhenti di satu foto aneh.
Foto keluarga.
Seorang ibu, ayah, dan dua anak berdiri di depan rumah besar berarsitektur Victoria. Rumah itu tampak megah meski terlihat bayangan gosong di salah satu jendelanya. Tapi yang membuat Sarah tertegun adalah keempat sosok dalam foto itu.
Mereka tidak memiliki wajah.
Kepala mereka licin, seperti porselen polos tanpa fitur. Tidak ada mata, hidung, atau mulut. Hanya bayangan samar tempat wajah seharusnya berada.
Sarah merinding.
Dia membalik foto itu. Ada tulisan di bagian belakang, ditulis dengan tinta pudar:
“Jangan bicarakan mereka.”
Dia menelan ludah. Jemarinya gemetar, tapi rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya.
"Lelucon apa ini?" pikirnya.
Sarah memeriksa foto itu di bawah cahaya lampu, berharap menemukan jejak manipulasi atau coretan. Tapi tidak ada. Foto itu asli.
Malam itu, Sarah membawa foto tersebut ke apartemennya di kota. Mungkin di sana dia bisa meneliti lebih lanjut, atau bertanya kepada ayahnya tentang sosok-sosok dalam foto tersebut.
Namun, saat malam semakin larut, perasaan tidak nyaman mulai merayap.
Foto itu tergeletak di meja samping tempat tidurnya, namun Sarah merasa seolah-olah sosok-sosok tanpa wajah itu mengawasinya.
Pukul 3:13 pagi.
Sarah terbangun karena suara ketukan pelan di jendelanya.
Perlahan, dia bangkit dan memeriksa jam. Tidak mungkin ada yang mengetuk. Apartemennya berada di lantai empat, dan balkon hanya bisa diakses dari dalam.
Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras.
Dengan napas tertahan, Sarah menoleh ke arah jendela. Dan di sana, dalam sinar bulan yang redup, berdiri empat sosok.
Mereka mengenakan pakaian yang sama dengan yang ada di dalam foto.
Tanpa wajah.
Sarah tersentak mundur dan berlari ke arah pintu, tapi ketika dia mencoba keluar, pintunya tidak mau terbuka.
Dengan panik, dia meraih foto di samping tempat tidur dan melemparkannya ke dinding.
Ketukan berhenti.
Ruangan itu sunyi, tetapi Sarah bisa merasakan kehadiran mereka.
Dia tidak tidur semalaman.
Keesokan paginya, Sarah memutuskan untuk membuang foto tersebut. Namun saat dia mengangkatnya dari lantai, napasnya tercekat.
Bagian belakang foto itu telah berubah.
Di bawah tulisan lama, kini ada baris baru yang samar, seolah baru saja ditambahkan.
“Kamu telah membicarakan kami.”
Sarah merasa mual. Dia menyimpan foto itu dalam laci dan menguncinya. Tapi sepanjang hari, dia merasa ada yang mengawasinya. Setiap kali berjalan di dekat cermin atau kaca jendela, refleksinya terlihat aneh. Seperti ada sosok lain yang berdiri di belakangnya.
Chapter 2: Bisikan di Balik Cermin
Sarah tidak kembali ke apartemennya malam itu. Dia menginap di rumah temannya, Lisa, tetapi meski jauh dari foto itu, bayangannya tetap menghantui pikirannya.
Lisa berusaha menenangkan Sarah. "Mungkin kamu cuma stres," katanya sambil menyeruput teh. "Kau baru kehilangan nenekmu, dan sekarang sibuk mengurus barang-barangnya. Kadang otak kita suka mempermainkan kita."
Sarah mengangguk, meski hatinya menolak percaya. Ketukan di jendela itu nyata. Sosok-sosok itu nyata. Dan foto itu… entah bagaimana, terasa hidup.
Pukul 3:13 pagi.
Sarah terbangun dari tidurnya di sofa Lisa. Ada suara—seperti bisikan, samar dan mendengung di telinganya. Dia membuka matanya dan melirik sekeliling ruangan yang remang-remang.
Ruangan itu kosong.
Namun, saat pandangannya jatuh ke cermin besar di sudut ruangan, dia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Sebuah bayangan.
Bayangan seorang wanita berdiri di belakangnya. Wajahnya buram, nyaris tidak terlihat, tetapi Sarah tahu… itu dirinya sendiri. Namun, wajah dalam cermin tidak memiliki mata, hidung, atau mulut.
Sarah membalikkan badan dengan cepat. Tidak ada siapa pun di sana.
Dia mendekati cermin dengan napas terengah-engah, mencoba mencari celah logika di balik apa yang baru saja dia lihat. Saat dia berdiri tepat di depan cermin, bayangan di baliknya perlahan tersenyum.
Wajah Sarah memucat.
"Lisa!" teriaknya, berlari ke kamar temannya.
Lisa terbangun dengan mata terbelalak. "Ada apa?!"
"Cerminnya… cerminnya ada sesuatu," Sarah tergagap, menarik tangan Lisa.
Namun, ketika mereka kembali ke ruang tamu, cermin itu tampak normal. Tidak ada bayangan. Tidak ada senyuman.
"Sarah, kau harus benar-benar istirahat," kata Lisa, meski nada suaranya terdengar tidak terlalu yakin. "Aku akan menemanimu di sini."
---
Pagi berikutnya, Sarah memutuskan untuk kembali ke apartemennya dan menghadapi ketakutan itu.
Saat dia membuka pintu, udara dingin menyambutnya. Langkahnya terasa berat ketika dia memasuki ruangan, matanya langsung tertuju pada meja samping tempat tidur.
Foto itu masih di sana, namun ada yang berbeda.
Kini ada noda hitam yang membentuk siluet samar di sudut foto.
Napas Sarah tercekat. Dia memeriksa lebih dekat, dan ketika cahaya mengenai foto itu, dia bisa melihat bahwa noda hitam itu berbentuk seperti dirinya sendiri.
Siluet seorang wanita kelima.
Sarah teringat kata-kata yang muncul sebelumnya:
“Kamu telah membicarakan kami.”
Tapi kali ini, ada tambahan baru yang tertulis dengan tinta lebih gelap di bawahnya:
“Kami juga membicarakanmu.”
Chapter 3: Pulang
Tiga hari berlalu sejak Sarah kembali ke apartemennya. Foto itu kini disimpan di laci terkunci, namun ia tahu itu tidak akan menghentikan apa pun. Setiap kali melewati meja tempat foto itu pernah tergeletak, Sarah merasakan hawa dingin mengendap di tengkuknya. Seakan sesuatu masih berdiri di sana, diam-diam memperhatikannya.
Tapi Sarah berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa.
Pagi itu, dia melangkah keluar dari apartemen dengan langkah ragu. Tas kerjanya disampirkan di bahu, dan secangkir kopi sisa tadi malam masih di genggamannya. Pandangannya sayu karena kurang tidur. Semalaman dia terus terbangun, merasa ada suara langkah kaki samar di lorong apartemen. Setiap kali dia mengintip melalui lubang pintu, lorong itu kosong.
Di tempat kerja, semuanya terasa salah.
“Sarah, bisa aku bicara sebentar?” suara atasannya, Mr. Donovan, terdengar tegas namun lembut.
Sarah mengangguk dan mengikuti pria itu ke kantornya.
“Kamu sudah datang terlambat dua kali minggu ini,” katanya, “dan laporanmu mulai tidak teratur. Ada sesuatu yang terjadi?”
Sarah terdiam, jari-jarinya mengelus lengan baju dengan gelisah. Bagaimana mungkin dia bisa menjelaskan? Bahwa setiap malam, ketukan di jendela membangunkannya? Bahwa bayangannya di cermin bukan lagi miliknya?
“Maaf, saya hanya kurang tidur,” jawab Sarah akhirnya.
Mr. Donovan menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Pastikan ini tidak terus berlanjut. Kamu pekerja keras, Sarah. Jangan biarkan tekanan menghancurkanmu.”
Saat keluar dari kantor Donovan, Sarah merasa seseorang menatapnya. Pandangannya melayang ke jendela besar di sudut ruangan, dan di pantulan kaca, dia melihat sesuatu yang membuatnya terhenti.
Di belakang punggungnya, berdiri sosok seorang pria—tanpa wajah, dengan jas lusuh dan dasi kusut.
Sarah menoleh cepat. Lorong itu kosong.
---
Malam itu, Lisa datang menginap.
“Kamu yakin nggak apa-apa?” tanya Lisa sambil mengaduk teh hangat di meja dapur Sarah. “Mungkin kamu butuh liburan sebentar.”
Sarah menggeleng. “Aku harus mencari tahu tentang foto itu. Kalau aku pergi, ini tidak akan berhenti.”
Lisa terdiam. Dia tahu Sarah keras kepala.
Sarah membuka laptopnya, mengetikkan kata kunci yang terus berputar di pikirannya sejak malam pertama: Keluarga tanpa wajah.
Hasilnya nihil. Artikel tentang fenomena paranormal, foto-foto editan menyeramkan, tetapi tidak ada yang mirip dengan yang dialaminya.
Namun, ketika dia menggali lebih dalam, Sarah menemukan artikel tua dari tahun 1913 tentang sebuah rumah besar yang terbakar. “Kebakaran Misterius Menghilangkan Keluarga Ainsworth—Tidak Ada Jejak yang Ditemukan.”
Ainsworth. Itu nama yang disebut dalam bisikan di mimpinya.
Lisa membungkuk membaca artikel itu. “Itu rumah di foto, kan?”
Sarah mengangguk.
Namun, sebelum dia sempat membaca lebih lanjut, layar laptopnya tiba-tiba mati, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang hanya diterangi oleh lampu dapur redup.
“Kenapa mati?” Lisa bertanya.
Sarah menatap refleksi mereka di jendela dapur. Ada bayangan ketiga di sana.
---
Hari-hari berikutnya semakin buruk.
Sarah mulai menghindari teman-temannya. Dia jarang membalas pesan Lisa dan semakin tertutup di tempat kerja. Rekan kerjanya mulai berbisik di belakangnya, memperhatikan matanya yang tampak cekung dan wajahnya yang semakin pucat.
Setiap kali Sarah lewat di depan cermin, dia melihat sesuatu yang berbeda. Kadang bayangannya tersenyum ketika dia sendiri tidak tersenyum. Kadang bayangannya menatap balik dengan mata hitam legam.
Pada suatu malam, ketika Sarah mencoba untuk tidur lebih awal, suara ketukan kembali terdengar.
Dia tidak membuka mata.
Namun, ketika ketukan itu berubah menjadi goresan panjang di pintu kamarnya, Sarah tidak bisa lagi menahan diri. Dengan napas gemetar, dia melirik ke arah pintu. Di bawah celah pintu, bayangan kaki berdiri diam di sisi luar.
---
Puncaknya terjadi di kantor.
Saat Sarah sedang mengerjakan laporan, cermin di toilet wanita pecah tanpa sebab yang jelas. Saat petugas kebersihan mencoba membersihkan pecahan kaca, dia menemukan sesuatu yang membuatnya memanggil polisi.
Di balik pecahan kaca, terlukis samar wajah Sarah—tanpa mata dan mulut.
Ketika dipanggil untuk dimintai keterangan, Sarah hanya bisa terdiam, menatap pecahan kaca itu seolah dia sedang melihat dirinya sendiri di masa depan.
Malamnya, Sarah memutuskan untuk menghancurkan foto itu.
Dengan palu di tangan, dia membuka laci yang terkunci. Namun, saat dia menarik keluar foto tersebut, tangannya gemetar.
Di dalam foto itu, keluarga tanpa wajah kini berdiri lebih dekat ke kamera.
Dan di antara mereka, Sarah bisa melihat dirinya sendiri, dengan wajah yang nyaris pudar.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Chapter 4: Sleep over
Lisa mulai sering datang ke apartemen Sarah. Semakin hari, kondisi Sarah tampak memburuk. Matanya semakin cekung, kantong hitam di bawah matanya semakin jelas. Sarah sering melamun, menatap cermin lebih lama dari biasanya.
“Aku nggak mau kamu sendirian,” kata Lisa suatu malam, duduk di sofa ruang tamu Sarah. “Setiap aku pulang, aku selalu kepikiran kamu.”
Sarah tersenyum lemah. “Terima kasih, Lisa. Aku merasa lebih tenang kalau kamu di sini.”
Namun, sejak Lisa sering menginap, keanehan di apartemen Sarah semakin bertambah.
---
Malam pertama, Lisa terbangun karena suara langkah kaki di dapur.
Dia bangkit, berjalan ke arah suara itu. Dapur tampak kosong, tapi lampu kulkas berkedip sebentar sebelum mati total. Saat Lisa berbalik, dia menatap cermin di dekat meja makan dan merasakan bulu kuduknya berdiri.
Bayangannya tertinggal di dalam cermin.
Lisa melangkah mundur, menggosok matanya, tetapi bayangan itu sudah menghilang ketika dia menatap lagi.
Keesokan paginya, Lisa menceritakan kejadian itu pada Sarah.
“Kamu pasti ngantuk, cuma halusinasi,” jawab Sarah, meski nada suaranya tidak meyakinkan.
---
Malam kedua, Lisa mulai mendengar ketukan di jendela kamar Sarah.
“Sarah… kamu dengar itu?” bisiknya.
Sarah yang sedang berbaring di tempat tidur hanya terdiam. “Aku dengar… dan ini bukan yang pertama kali.”
Lisa mendekati jendela perlahan. Apartemen Sarah ada di lantai empat, jadi tidak mungkin ada orang di luar sana. Namun, saat Lisa menarik tirai…
Jendela itu kosong.
Tetapi di kaca, samar-samar terlihat jejak tangan—bukan tangan manusia biasa, tapi lebih besar, lebih panjang, seolah tangan itu menekan dari dalam kaca.
---
Malam ketiga, Lisa mulai melihat Sarah dalam mimpi-mimpinya.
Di dalam mimpinya, Sarah berdiri di lorong apartemen, menghadap cermin besar. Namun wajah Sarah… tidak ada. Hanya kepala polos tanpa mata, hidung, atau mulut.
“Lisa…” dalam mimpi itu, suara Sarah bergema. “Aku akan segera menyusulmu.”
Lisa terbangun dengan teriakan tertahan, keringat dingin membasahi lehernya.
Namun, saat dia membuka mata, Sarah sedang berdiri di ujung tempat tidur, menatapnya.
“Kamu kenapa?” tanya Sarah, suaranya datar.
Lisa menggeleng, berusaha tersenyum. “Nggak, cuma mimpi buruk.”
Sarah mendekat, tapi di sudut matanya, Lisa melihat sesuatu yang membuatnya terpaku. Sarah yang lain, berdiri diam dalam cermin, tidak bergerak.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Chapter 5: Lisa?
Lisa terus menemani Sarah selama beberapa minggu. Namun, pada suatu sore, Sarah menerima telepon yang membuatnya hampir menjatuhkan ponsel.
“Sarah?” suara di ujung telepon terdengar familiar. Itu suara Lisa.
“Lisa?” Sarah terdiam kaku. “Kamu di mana?”
“Aku di rumah. Aku baru selesai liburan. Kamu baik-baik saja?”
Sarah terdiam. “Liburan? Kamu di sini bersamaku selama ini…”
Lisa di telepon tertawa kecil. “Sarah, aku sudah cuti selama tiga minggu. Aku bahkan belum sempat mampir ke apartemenmu.”
Darah Sarah membeku.
Dengan tangan gemetar, dia menurunkan ponselnya perlahan, lalu menoleh ke arah dapur tempat Lisa—yang lain—sedang menuang teh.
Lisa yang ada di apartemennya mengangkat wajah, tersenyum. Namun senyum itu terasa salah, terlalu lebar, terlalu… kosong.
“Siapa yang telepon?” tanya Lisa, dengan suara yang terlalu datar.
Sarah tidak menjawab. Matanya terkunci pada wajah Lisa. Dan di saat itulah, dia menyadarinya.
Wajah Lisa yang bersamanya selama ini adalah wajah dalam foto.
Mulutnya samar, matanya pudar.
Perlahan, Lisa yang duduk di dapur mulai berdiri, kepalanya menoleh ke sisi yang salah—seolah tulangnya patah.
Sarah mundur, tangannya meraba ponsel.
“Lisa… kamu siapa?” bisik Sarah dengan suara gemetar.
Lisa hanya menatapnya.
Dan di luar jendela, tepat di bawah sinar bulan… keluarga tanpa wajah itu berdiri, menatap mereka berdua.
.
.
.
.
.
.
.
.
Chapter 6: Wajah di Balik Bayangan
Sarah berdiri membatu di sudut ruangan, jantungnya berpacu seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Lisa—atau sesuatu yang menyerupai Lisa—melangkah mendekat, gerakannya lambat dan terukur, seperti boneka rusak yang kehilangan keseimbangan.
“Kenapa kamu tegang begitu, Sarah?” suara Lisa terdengar datar, namun bergema di sudut-sudut apartemen. “Aku ini sahabatmu… kan?”
Sarah mundur perlahan, mencoba meraih pisau dapur yang tergeletak di meja. Namun, setiap langkah yang dia ambil, Lisa mengikutinya—tanpa menggerakkan kaki.
Lisa seakan meluncur di lantai, wajahnya tetap tersenyum, tapi senyuman itu semakin melebar, melebihi batas normal.
“Jangan takut,” bisik Lisa, kini hanya berjarak beberapa langkah dari Sarah.
Sarah berhasil meraih pisau. Dengan napas terengah, dia mengarahkan ujungnya ke arah Lisa.
“Jangan mendekat.” Suaranya gemetar.
Lisa berhenti, kepalanya miring ke sisi kanan, dan suara retakan pelan terdengar dari lehernya. “Pisau itu tidak akan bisa menyentuhku, Sarah.”
KETUK. KETUK. KETUK.
Suara ketukan di jendela terdengar lagi. Kali ini lebih keras, lebih mendesak. Sarah melirik ke arah jendela, dan di sana, keluarga tanpa wajah itu masih berdiri.
Namun ketika dia kembali menoleh ke arah Lisa, sesuatu telah berubah.
Lisa berdiri terbalik.
Kaki di atas, kepala di bawah—seolah gravitasi tidak berlaku untuknya. Rambutnya terjuntai ke bawah, dan tangan panjangnya terulur ke arah Sarah.
Sarah menjerit, melempar pisau ke arah sosok itu. Pisau itu menembus tubuh Lisa, tapi tubuhnya langsung pecah seperti kabut, menghilang dalam kegelapan apartemen.
Satu-satunya yang tersisa hanyalah suara tawa pelan, menggemakan lorong apartemen.
Sarah terjatuh ke lantai, napasnya tersengal-sengal. Di sudut ruangan, tepat di bawah tempat Lisa berdiri, sebuah foto tergeletak.
Foto keluarga tanpa wajah itu.
Tapi kini, Lisa ada di dalamnya, berdiri di samping Sarah.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Chapter 7: Di Balik Foto
Esok paginya, Sarah bangun dengan tubuh lemas dan kepala berdenyut. Dia duduk di atas sofa, memeluk lututnya, menatap foto yang tergeletak di meja.
Sarah tahu ini tidak bisa dibiarkan. Ada sesuatu yang tersembunyi di dalam foto ini, sesuatu yang harus dia pecahkan sebelum terlambat.
Dengan jari gemetar, Sarah mengambil foto itu. Dia mengamati setiap sudutnya, berharap menemukan sesuatu yang selama ini terlewat.
Di pojok bawah foto, dia melihatnya—sebuah cap kecil bertuliskan "Rumah Ainsworth, 1913."
Rumah Ainsworth. Sarah langsung membuka laptopnya, mencari tahu lebih banyak tentang rumah tersebut. Setelah beberapa menit mencari, dia menemukan artikel lama di arsip online.
“Kebakaran Misterius di Rumah Ainsworth – Seluruh Keluarga Menghilang Tanpa Jejak”
Sarah membaca lebih lanjut. Dikatakan bahwa kebakaran itu tidak meninggalkan jasad. Beberapa warga lokal percaya bahwa keluarga Ainsworth bermain dengan ritual pemanggilan arwah.
Satu-satunya yang tersisa dari rumah itu adalah cermin besar yang ditemukan dalam kondisi utuh.
Sarah mengingat cermin di lorong apartemennya. Setiap kali dia melewati cermin itu, dia merasa ada yang berbeda dalam pantulannya.
Dia berdiri, berjalan menuju cermin itu dengan langkah ragu. Refleksinya menatap balik, tapi kali ini… ada sesuatu di latar belakang pantulan.
Pintu tua.
Padahal, tidak ada pintu di ruangan di belakangnya.
Sarah perlahan menyentuh permukaan cermin. Kulitnya terasa dingin, seolah dia menyentuh es. Namun, saat jari-jarinya menekan sedikit lebih kuat—permukaan cermin itu bergetar.
Ada sesuatu di baliknya.
Ketika Sarah menatap cermin lebih dalam, pantulan dirinya mulai memudar… digantikan oleh sosok keluarga tanpa wajah. Mereka berdiri di sana, di depan pintu tua, mengulurkan tangan ke arahnya.
Dan kali ini, mereka tersenyum
.
.
.
.
.
.
.
Chapter 8: Pencarian di Perpustakaan
Sarah terbangun dengan keringat dingin di dahinya. Mimpi yang ia alami semalam—meskipun hanya sebuah gambaran samar tentang cermin dan pintu tua—tidak bisa ia lupakan. Namun, perasaan tidak nyaman itu segera menguap saat ia teringat akan foto tua yang ditemukan di apartemennya. Foto itu, yang tampaknya berasal dari tahun 1513, menampilkan keluarga Ainsworth dengan pakaian kuno, dengan ekspresi yang mencurigakan dan penuh misteri.
Penasaran untuk mengungkap lebih banyak, Sarah memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kota untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai keluarga Ainsworth dan sejarah foto itu.
Di perpustakaan, Sarah langsung menuju bagian arsip yang menyimpan catatan sejarah lama. Ia memulai pencariannya dengan mencari informasi tentang keluarga Ainsworth, yang menurut catatan sejarah, telah ada sejak abad ke-16. Beberapa catatan penting yang ia temukan adalah sebagai berikut:
Keluarga Ainsworth dan Kejayaan di Abad ke-16
Keluarga Ainsworth dikenal sebagai keluarga bangsawan yang tinggal di Inggris pada abad ke-16, dengan kekayaan dan pengaruh yang besar di wilayah mereka. Namun, mereka juga memiliki reputasi yang buruk karena terlibat dalam praktik-praktik okultisme yang diduga berhubungan dengan upaya memanggil kekuatan gaib dan mencoba mengendalikan takdir melalui ritual-ritual rahasia.
Foto Keluarga Ainsworth
Foto yang ditemukan oleh Sarah ternyata sangat langka dan memiliki sejarah yang sangat gelap. Dalam foto tersebut, tampak keluarga Ainsworth sedang berkumpul di depan sebuah rumah besar. Apa yang membuat foto ini menarik adalah suasana yang sangat tegang dan ekspresi wajah yang tidak biasa, seolah-olah mereka sedang menghadapi sesuatu yang tidak terlihat oleh mata manusia. Dari arsip yang Sarah temukan, ada catatan yang menyebutkan bahwa foto tersebut diambil tepat setelah keluarga Ainsworth terlibat dalam sebuah kejadian tragis, di mana beberapa anggota keluarga dilaporkan hilang secara misterius setelah terlibat dalam sebuah upacara okultisme.
Tragedi Keluarga Ainsworth
Pada tahun 1513, keluarga Ainsworth terlibat dalam sebuah tragedi besar yang melibatkan hilangnya beberapa anggota keluarga. Beberapa cerita mengatakan bahwa mereka berusaha membuka portal ke dunia lain dalam upaya mencari kekayaan yang lebih besar. Namun, portal itu sepertinya membawa bencana, menyebabkan hilangnya beberapa anggota keluarga, sementara yang lainnya mengalami gangguan mental yang hebat.
Penyelidikan yang Tidak Pernah Selesai
Catatan sejarah mencatat bahwa meskipun penyelidikan dilakukan, penyebab hilangnya anggota keluarga Ainsworth tidak pernah benar-benar terungkap. Beberapa saksi yang mengaku melihat mereka sebelum peristiwa itu terjadi melaporkan bahwa keluarga Ainsworth tampak dihantui oleh sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, dan mereka sering terlihat berbicara dengan suara-suara yang datang dari tempat-tempat kosong.
Sarah terkejut ketika membaca semua informasi ini.
Tiba-tiba, Sarah menerima pesan dari Lisa. Lisa melaporkan bahwa ia mulai mengalami kejadian-kejadian aneh belakangan ini. Setiap malam, tepat pada pukul 3:13 pagi, Lisa terbangun tanpa alasan yang jelas, merasakan kehadiran yang menekan, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi dirinya. Keanehan ini terjadi setiap malam tanpa terkecuali. Bahkan, Lisa mulai merasa bahwa ia tidak tidur dengan nyenyak lagi, dan seolah-olah tubuhnya terjaga meskipun matanya tertutup rapat.
Sarah merasa khawatir. Keanehan-keanehan yang dialami Lisa dan fakta-fakta yang ia temukan tentang keluarga Ainsworth semakin mengarah pada kesimpulan yang menakutkan. Apa yang sebenarnya terjadi dengan foto itu? Apakah foto tersebut adalah kunci untuk mengungkapkan misteri yang tersembunyi? Dan apakah Lisa juga menjadi sasaran dari kekuatan gelap yang berhubungan dengan keluarga Ainsworth?
Polisi menemukan apartemen Sarah kosong beberapa hari kemudian, barang-barangnya tetap utuh. Kotak foto itu hilang, kecuali satu foto yang tertinggal di meja: keluarga tanpa wajah. Kali ini, ada sosok kelima di antara mereka.
***Download NovelToon to enjoy a better reading experience!***
Comments