Lanjutan Beginning And End Season 2.
Setelah mengalahkan Tenka Mutan, Catalina Rombert berdiri sendirian di reruntuhan Tokyo—saksi terakhir dunia yang hancur, penuh kesedihan dan kelelahan. Saat dia terbenam dalam keputusasaan, bayangan anak kecil yang mirip dirinya muncul dan memberinya kesempatan: kembali ke masa lalu.
Tanpa sadar, Catalina terlempar ke masa dia berusia lima tahun—semua memori masa depan hilang, tapi dia tahu dia ada untuk menyelamatkan keluarga dan umat manusia. Setiap malam, mimpi membawakan potongan-potongan memori dan petunjuk misinya. Tanpa gambaran penuh, dia harus menyusun potongan-potongan itu untuk mencegah tragedi dan membangun dunia yang diimpikan.
Apakah potongan-potongan memori dari mimpi cukup untuk membuat Catalina mengubah takdir yang sudah ditentukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Kekuatan Prime CIP Catalina.
Halaman belakang rumah Kei berubah menjadi dunia yang asing dan menakutkan. Angin malam membawa aroma tanah basah yang segar tapi dicampur dengan bau akar pohon yang basah “whiff…”, lampu taman yang tergantung di dahan pohon berkelip halus “klik… klik…”—namun suasananya terasa dingin seperti ada sesuatu yang meresap dari kegelapan yang menyelimuti sudut-sudut taman. Daun-daun pohon besar bergoyang tanpa alasan—“shaa… shaa… shaa…”—gerakan mereka pelan tapi pasti, pertanda ada kekuatan lain yang bergerak di tengahnya, menyembunyikan diri di balik kegelapan.
Di bawah cahaya bulan yang cerah namun dingin, terlihat sosok Kurumi sedang terangkat dari tanah. Tubuh mungilnya menggantung di udara, kedua kakinya berayun panik—“swing… swing…”—seolah mencoba melepaskan diri dari yang memegangnya. Dan tangan yang mencekik lehernya—tangan seorang wanita dengan rambut panjang yang gelap, poni menutupi sebagian wajahnya, kulitnya pucat seperti boneka porselen yang sudah rusak lama.
Mata wanita itu berwarna maroon yang berkilap seperti bara di dasar neraka, menyala dengan kebencian yang tak terbatas.
Tenka.
Wajahnya tenang… terlalu tenang. Senyumnya tipis dan dingin seperti pisau yang baru diasah, memancarkan rasa jijik dan kejam yang membuat kulit terasa gatal.
“Gadis malang…” katanya dengan suara yang lembut namun penuh nada kejam, seolah berbicara dengan benda yang tidak berharga. Ia memiringkan kepala sedikit, poni gelapnya jatuh menyamping sehingga sebagian wajahnya terlihat—parah dan penuh tanda-tanda masa lalu yang kelam. “Kedua orang tuamu… berani sekali mengubah kartu tradisi keluarga yang seharusnya menjadi kutukanmu… menjadi sesuatu yang lain.”
Kurumi menendang-nendang udara dengan kekuatan yang sedikit, tubuhnya gemetaran hebat—“gigit… gigit…—dia menggigit bibirnya sampai berdarah agar tidak menangis. “L-lepaskan… aku!!” serunya dengan suara yang tercekik, napasnya tersendat karena lehernya ditindas.
Tenka terkikik pelan—“heh… hehehe…—suaranya terdengar seperti serangga yang merayap. “Dan Chins… hahaha… si bocah bodoh itu… berani menukarnya dengan abadi.” Nadanya meremehkan, seperti seorang ilmuwan yang kecewa pada eksperimen yang gagal total. Ia menundukkan wajah, menatap Kurumi lebih dekat—jarak mereka hanya beberapa sentimeter—dan tangan kirinya meraih pipi Kurumi lembut, tapi tatapannya seperti sedang mengintip mangsa yang akan dimakan.
“Sekarang… apakah kau bisa abadi… di depan aku?”
AURA KUTUKAN
Kurumi menjerit lagi, suaranya penuh rasa sakit dan ketakutan. “Le… lepaskan!!” Tenka hanya tersenyum manis, ekspresinya semakin jahat. “Sayangnya… tidak, Kurumi.” Tangan kirinya terangkat perlahan, dan di telapak tangannya, asap hijau gelap mulai berputar seperti tinta hidup—“zzzhhh… zzzhhh…—bau racun menyebar di udara, membuat Kurumi batuk ringan “cough… cough…”.
“Bagaimana kalau…” Tenka menatap mata Kurumi tanpa kedip—matanya maroon menyala lebih terang—“…aku masukkan sedikit kutukan ke dalam tubuhmu? Hihihi…”
Ia menekan telapak tangannya ke wajah Kurumi, tepat di dekat mata.
“AAAAAARRRGGHHH!! SAKIT!!!”
AURA hijau itu masuk ke mata Kurumi dengan cepat, seperti ribuan jarum panas yang menembus sarafnya—“sting… sting…—wajahnya memerah karena rasa sakit, dan ia menutup mata dengan tangan yang gemetar. Tenka tertawa keras—“HAHAHAHA!! INI DIA! Jeritan anak pahlawan yang menghancurkan rencana Juru Selamat…!!”—sudut matanya terangkat puas, seolah ia sudah memenangkan perang.
Tiba-tiba, udara bergetar dengan kuat—“vrrrrmmm… vrrrrmmm…—seolah ada badai yang akan datang. Sinar pink kehitaman menyala di langit malam, menyemprotkan cahaya yang terang dan membahayakan.
“VRRRRMMMM—WHOOOSHHH!!”
Sebuah suara yang seperti malaikat tapi beringas menggelegar di seluruh taman:
"HANIEL: SEVERING DEMON HAND"
Dari udara, muncul tangan iblis raksasa yang terbuat dari api pink kehitaman, meluncur seperti meteor menuju Tenka dengan kecepatan yang tak terbayangkan.
“Mmh?—APA!?” Tenka terkejut, matanya membesar penuh kaget. Ia melempar Kurumi ke samping dengan cepat—“thump…—gadis kecil itu mendarat di rumput dengan keras, lalu silang kedua tangannya untuk melindungi diri.
“BOOOOOOOOOMMMM!!!”
Benturan itu menciptakan gelombang api pink yang menyapu seluruh halaman. Rumput hitam hangus dalam sekejap—“crack… crack…—pepohonan bergetar hebat, daunnya rontok ke tanah dengan suara “rup… rup…”. Tenka terdorong ke belakang, mendarat sambil menyeret tanah—“screech…—lengan kirinya… hangus hitam dan menyengat, tidak bisa pulih seperti biasanya.
Ia menatap lengannya dengan wajah tak percaya, mulutnya terbuka. “Tak… mungkin… kenapa tidak… regenerasi!?” suaranya terdengar gemetar, pertama kalinya ada rasa takut di dalamnya.
KEMUNCULAN CATALINA
Dari asap tebal yang muncul setelah ledakan, muncul siluet kecil yang menakjubkan. Sayap api pink membentang bagaikan malaikat penghukum—“fwoosh…—setiap bulu sayapnya berkilau dengan cahaya yang terang. Gaun putih-pinknya berkibar seperti bara suci di angin malam, dan mata nya menyala tajam seperti bintang yang menyala terang.
Catalina.
Kurumi, yang masih terduduk di rumput sambil memegang mata kirinya yang sakit, terbelalak. Aura intimidasi Catalina… sama persis dengan milik ibunya. Ia merasa seolah ada kekuatan besar yang melindunginya, meskipun tubuhnya masih gemetar.
Tenka memicingkan mata, mencoba melihat lebih jelas. “Wah… jadi ini anaknya Andras, si Ratu Iblis Es…? Tidak kusangka seorang bocah kecil sudah memiliki PRIME CIP…” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya—
“HANIEL: ASCENSION SPLIT!”
Catalina melesat seperti kilat—“swish…—tubuhnya terbang cepat melewati udara, scythe raksasanya menyapu dari bawah ke atas dengan gerakan yang halus tapi kuat.
“KRRAAAASSSSHHHH!!”
Tanah di sepanjang ayunan scythe itu meledak, memuntahkan lava pink kehitaman seperti darah bumi—“bubbl… bubbl…—yang membakar apa pun yang ada di jalannya. Tenka memunculkan dua tentakel mutan dari punggungnya untuk menangkis, tetapi—
“BZZZZTT—FWOOSHHH!!”
Keduanya terbakar hangus dalam sekejap dan tidak tumbuh kembali. Tenka mundur cepat, melompat ke atas pohon besar dengan gerakan yang lincah—“thump…—dia berdiri di dahan yang tipis, tubuhnya gemetar karena rasa sakit dan kaget.
“A… apa!? Kenapa tindak bisa regenerasi!? Ini… seperti serangan Emi… di dunia Khaou…” Wajahnya akhirnya tidak lagi tenang. Ada… ketakutan yang jelas di sana, mata maroonnya membesar penuh keheranan.
CATALINA MENYERBU LAGI
Catalina melayang naik ke udara, sayap apinya menyala ganas seperti naga ular berkobar—“whoosh… whoosh…—cahaya yang dipancarkannya menyinari seluruh taman. “TENKA!!!” suaranya kecil tapi menggelegar seperti suara dewasa dengan gema energi yang kuat. “AKU AKAN MENEBASMU!!”
Ia mengayunkan scythe lagi dengan kekuatan yang lebih besar, dan kata-kata keluar dari mulutnya dengan tegas:
HANIEL: TRIPLE MOONFANG IMPACT!!!
Tiga gelombang sabit vertikal—besar, tajam, berwarna pink kehitaman—tertembak dari ayunannya, menembus udara dengan suara “fwwoooshh… fwwoooshh… fwwoooshh…”. Tenka terkejut, tubuhnya terasa kaku. “Lagi!? Bocah ini—!” Ia menghindar dengan teleportasi singkat, tubuhnya berkilat hijau lalu menghilang dalam sekejap—“shupp!!”
Gelombang serangan Catalina menghancurkan tiga pohon besar di belakangnya hingga rata tanah—“crash… crash… crash…—batang pohon pecah menjadi serpihan yang terbang ke segala arah. Tenka muncul kembali di udara, terengah-engah—napasnya berat dan terengah, tubuhnya terasa lelah.
“Dari mana bocah itu tahu namaku…!?” matanya membesar lebih lagi, penuh keheranan. “Bagaimana mungkin anak Andras dan Leon memiliki kekuatan seperti ini!? Tidak mungkin… kekuatan bocah seumur dia—”
Namun ia tak sempat menyelesaikan pikirannya. Catalina sudah ada tepat di depan wajahnya, matanya menyala tajam dengan kemarahan yang membara. Tenka langsung melesat mundur, jaraknya memanjang cepat—“swish…—dia menatap Catalina dengan campuran marah dan takut, tubuhnya siap untuk menghindar lagi.
“Bocah kecil… kau akan—”
“Shupp!”
Ia menghilang sepenuhnya, meninggalkan hawa dingin seperti mayat yang mengisi udara. Catalina menebas udara kosong karena terlambat—“swish…—tubuhnya sedikit bergoyang, dan ia melihat ke bawah: Kurumi sedang menatapnya dengan mata yang penuh ketakutan, tangan masih memegang mata kiri yang kesakitan akibat sedikit kutukan yang masuk.
Api di sayap Catalina tiba-tiba bergetar—“flick… flick…—cahayanya mulai meredup. Tubuh kecilnya menegang sepenuhnya, dan kemudian:
“BLEERGH—!!”
Ia memuntahkan darah—darah pink-kemerahan yang menetes di gaunnya yang bersinar, menambah warna pada kain putih-pinknya. Catalina menyentuh bibirnya dengan tangan yang gemetar, matanya melihat darah di tangannya dengan ekspresi yang campuran frustrasi dan sakit.
“Ugh… seperti yang dibilang… bayangan diriku…” katanya dengan suara yang lembut dan terengah, napasnya berat. Ia menatap darah di tangannya, mata nya meredup, sayap apinya melemah dan mulai melengkung ke bawah.
“Di usia segini… aku belum bisa menggunakan PRIME CIP-ku sepenuhnya…” gumamnya dalam hati, rasa sakit menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia menggigit bibir dengan kuat, rasa frustrasi dan takut bercampur jadi satu—dia ingin melindungi Kurumi, tapi tubuhnya tidak kuat cukup.
“A-aku harus menemukan… caranya mengontrol… CIP Tier Legend…” tangannya mengepal perlahan, jari-jari memerah karena tekanan. “…dan Inversi…”
Suara gadis kecil itu pecah, tapi di matanya, tekadnya masih menyala—seperti nyala lilin yang tidak padam meskipun diserang angin kencang.