NovelToon NovelToon
Terjebak Cinta Dewi Hijab

Terjebak Cinta Dewi Hijab

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Spiritual / Mengubah Takdir / Romansa / Bad Boy
Popularitas:990
Nilai: 5
Nama Author: Pearlysea

Hanina Zhang, merupakan putri seorang ulama terkemuka di Xi’an, yang ingin pulang dengan selamat ke keluarganya setelah perjalanan dari Beijing.

Dalam perjalananya takdir mempertemukannya dengan Wang Lei, seorang kriminal dan kaki tangan dua raja mafia.

Hanina tak menyangka sosok pria itu tiba tiba ada disamping tempat duduknya. Tubuhnya gemetar, tak terbiasa dekat dengan pria yang bukan mahramnya. Saat Bus itu berhenti di rest area, Hanina turun, dan tak menyangka akan tertinggal bus tanpa apapun yang di bawa.

Di tengah kebingungannya beberapa orang mengganggunya. Ia pun berlari mencari perlindungan, dan beruntungnya menemui Wang Lei yang berdiri sedang menyesap rokok, ia pun berlindung di balik punggungnya.

Sejak saat itu, takdir mereka terikat: dua jiwa dengan latar belakang yang berbeda, terjebak dalam situasi yang tak pernah mereka bayangkan. Bagaimana perjalanan hidup Dewi Hijab dan iblis jalanan ini selanjutnya?

Jangan skip! Buruan atuh di baca...

Fb/Ig : Pearlysea

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab_10 Sebuah Pilihan

...Hanina_POV...

Senja hampir meredup di langit. Kini aku bersimpuh di bawah jendela kaca kamar, menyaksikan matahari yang akan tenggelam ke peraduan.

Hatiku masih  terpukul, air mataku masih menetes oleh rasa kehilangan yang mendalam di situasi yang tak pernah aku bayangkan.

Paman dan bibi adalah sosok kedua yang paling ku hormati setelah orang tua, tapi kenapa takdir merenggutnya dengan begitu kejam? Padahal mereka adalah orang yang baik.

Takdir. Aku percaya semua yang terjadi adalah kehendak dari maha pencipta. Rezeki, hidup, dan mati manusia sudah tercatat dalam kitab Lauhul Mahfudz 50.000 tahun yang lalu.

Meski usaha dan doa dapat memperpanjang usia, tetapi ketika takdir sudah memanggilnya untuk kembali. Maka tidak ada obat dan senjata paling canggih di dunia  dapat mencegahnya dari kematian.

Hatiku terus meratap, berusaha ikhlas dan menerima ketetapan dariNya. Ibu, ayah dan keluargaku di sana mungkin mengira aku pun sudah mati karena kecelakaan itu... Padahal aku masih bernapas.

Aku bersyukur aku masih hidup, dan setiap kejadian atau peristiwa pasti ada hikmah di dalamnya, besar atau kecil, entah itu sebagai bentuk kenaikan derajat atau mungkin lebih dari itu.

Hari sepenuhnya telah menggelap, aku mengusap wajahku lembut, lalu bangkit berdiri dengan napas sesak. Menutup gorden jendela lalu menilik arloji di tangan_pukul 19:41 sudah saatnya sholat maghrib.

Langkahku gontai menuju kamar mandi yang tersedia di kamar. Bersuci dengan air mengalir dari shower tua, begitu selesai aku siap untuk menunaikan kewajiban meski dengan pakaian yang sama.

Takbir. Khusyu, menyerahkan hidup dan mati hanya untukNya.

Setiap doa dalam sholat kupanjatkan lirih, menyatu dengan bisikan langit yang perlahan memudar. Setiap sujud, setiap helaan napas, adalah luka yang kusematkan di hadapan Sang Pemilik Jiwa.

"Lillahita’ala," bisikku, menguatkan diri bahwa semua ini bukan kebetulan, bukan hukuman, tapi bagian dari jalan yang telah ditulis.

Dalam sujud terakhirku, kurasakan bumi menyerap kepedihan. Bahuku berguncang oleh tangis yang tak bersuara. Kupinta agar mereka, paman dan bibi ditempatkan di sisi terbaik-Nya. Dan aku, yang terdampar di tempat asing ini diberi keteguhan dan perlindungan untuk tetap berdiri memegang iman sampai kembali kepelukan keluarga.

Usai salam, aku berdzikir dengan menggunakan jariku, lalu melafalkan beberapa surat Al-Qur'an yang telah kuhafalkan, dan itu membuat hati ini tenang dan luas untuk menerima segala bentuk takdir dariNya.

"Senorita!" suara lelaki menggema di luar di ikuti suara langkah kakinya yang bergemuruh.  Dia mengetuk pintu. Wang Lei kembali.

"Iya, masuk saja..." jawabku parau. Aku segera berdiri.

Pintu kamar terbuka, sesosok lelaki muncul dengan ekspresi datar.

"Kamu tidak makan lagi seharian? Rotinya masih utuh di atas meja," ucapnya, suaranya terdengar menahan kesal.

Aku hanya menggeleng lemah lalu menunduk, mengusap air di sudut mataku yang basah.

"Aku.. Aku tidak lapar."

Dia mendengus kasar.

"Jangan membuatku marah dengan kesedihanmu... Kamu tahu aku bisa menyeretmu sekarang jika kamu tidak turun sekarang juga." ancamnya.

Aku mendongak menatap wajahnya yang lelah, dan matanya yang pekat seolah menyimpan sesuatu yang tak bisa ku pahami.

"Aku sudah bawakan makanan halal untukmu, jadi cepat turun ke bawah dan jangan sampai kamu mati kelaparan di sini... Ayo cepat!" serunya tegas, sorot matanya tajam, tetapi aku dapat merasakan kekhawatiran yang terbungkus ancaman. Apakah perasaanku benar?

Aku mengangguk.

"Aku turun.." jawabku lirih.

Dengan langkah ragu, aku mendekati pintu. Wang Lei sudah berbalik, berjalan menuruni anak tangga tanpa menungguku, sampai kami akhirnya tiba di meja makan.

Aroma rempah langsung menyusup ke hidungku ketika Wang Lei membuka kantong kertas kecokelatan di atas meja makan. Tangannya tampak cekatan, meski wajahnya tetap kaku dan tak menunjukkan emosi sedikit pun.

"Ini…" katanya pendek, mengeluarkan satu kotak makan berbahan kertas keras dengan tulisan Mandarin dan logo halal kecil berwarna hijau di sudutnya.

"Roujiamo. Daging sapi. Halal. Aku pastikan sendiri dari warung Muslim." katanya dengan nada dingin.

Aku hanya berdiri mematung, menatapnya membongkar makanan dengan cara kasar tapi hati-hati. Tangannya merobek segel plastik lalu mengeluarkan satu kotak lagi.

"Ada Lamian juga. Mi-nya hangat. Dan ini…" Dia meletakkan botol air mineral dan satu cup teh  hangat. Aroma jahe dari teh itu membuat pernapasanku menghangat.

Begitu semua sudah siap, dia menatapku lagi, kali ini rahangnya mengeras.

"Duduk!" suaranya seperti bentakan kecil, membuatku tersentak sedikit, kenapa dia nampak begitu sangat kesal?

Tanpa mengulur waktu akupun duduk di kursi yang menghadapnya.

" Cepat makan," Tangannya mengulurkan semangkuk mie lamian yang masih mengepulkan asap.

Aku mendengus pelan lalu tanganku bergerak ragu menarik semangkuk mie itu lebih dekat.

Lelaki itu pun duduk, membuka bungkus sumpit dengan giginya lalu memberikanya padaku. Wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi, tetapi tindakanya membuat dada ini menghangat dalam debar yang lebih dari sekedar kagum. Astagfirullah, Hanina... Tidak bisa kamu membiarkan perasaan yang tak halal menguasai hatimu.

"Bismillah..." Aku mulai dengan suapan pertama dan kelezatan mie itu langsung membuat lidahku menari-nari.

Aku mencuri pandang.  Dia melahap pangsit, sekilas mata kami bertemu,  tapi kemudian dia mengalihkan pandangan seolah enggan melihatku. Aku tak mengerti, dalam beberapa jam sikapnya berubah sangat dingin seperti ini.

"Apakah aku sangat membuatmu kesal? Aku benar-benar minta maaf."

"Jangan bicara dulu, makan sampai habis."

Aku diam, kembali menunduk dan menuruti ucapannya. Tidak ingin memperburuk suasana, tak ingin membuatnya makin gusar.

Sendok dan sumpit di tanganku bergerak perlahan, menghabiskan suapan demi suapan.

Kami makan dalam diam. Hanya suara sendok, sumpit, dan napas yang sesekali terdengar. Meskipun tubuhku kini mendapat kekuatan dari makanan hangat, tetapi pikiranku justru semakin bising. Keheningan ini mencekam.

"Terima kasih..." gumamku pelan setelah menyuapkan suapan terakhir. "Untuk makanan ini. Dan... Karena membawakan yang halal."

Wang Lei mengangguk tipis, lalu akhirnya bersuara.

"Jangan anggap ini sebagai bentuk kebaikan. Aku hanya tak ingin kamu mati di sini. Tubuhmu lemah. Kamu bisa jadi beban."

Aku menatapnya dengan perasaan sungkan.

"Sungguh, aku minta maaf... Aku harap kamu bisa secepatnya memulangkan aku, agar tak terlalu lama menjadi bebanmu."

"Semoga saja. Tapi sepertinya kamu akan tetap di sini selama dua minggu ke depan."

Mataku melebar.

"Apa maksudmu? Bukanya kamu bilang akan memulangkan aku setelah kamu punya uang?"

"Ya aku tahu, tapi aku punya kontrak kerja yang tidak bisa di batalkan. Lagipula cepat atau lembat apa bedanya? Keluargamu tidak akan khawatir, karena mereka mengira kamu sudah mati."

Hatiku mecelos mendengar kata katanya yang menusuk. Mataku memanas, pandanganku buram oleh air mata yang menggenang. Ada kemarahan dalam hatiku seolah-olah aku sedang dipermainkan.

"Mereka tidak khawatir, mungkin. Tapi kamu tidak bisa menahanku lebih lama di sini!"

"Kamu pikir aku senang menahanmu di sini?" Wang Lei menatapku tajam.

"Kamu sendiri yang memohon padaku untuk di lindungi. Tapi kalau malam ini kamu ingin pergi sendiri, aku sama sekali tidak akan menahanmu."

Dia terdiam sejenak lalu terkekeh sinis, kemudian berdiri perlahan, kedua tanganya menapak meja, membungkukan badan sedikit hingga wajahnya sejajar denganku.

Aku memiringkan kepala, tak kuat dengan sorot matanya yang menusuk seolah ingin menelanjingiku.

"Hancur dan matilah kamu di jalanan oleh para serigala liar, kamu tidak tahu seberapa bahayanya kota ini. Hanina... kalau kamu masih ingin hidup, dengar dan patuhlah padaku, tapi kalau kamu keras kepala juga, maka itu sepenuhnya pilihanmu."

Tubuhku membeku, air mataku lolos, kata demi kata yang di ucapkanya lebih tajam dari sebilah pedang yang membuatku dalam ketidakberdayaan.

Aku tak menjawab. Tak mampu. Napasku tercekat oleh rasa takut dan amarah yang berkecamuk bersamaan. Mataku menatap ke mangkuk kosong di depanku, bukan karena lapar yang sudah hilang, tapi karena hatiku serasa diremukkan oleh ucapan lelaki itu.

Wang Lei menghela napas panjang seraya menegakan tubuhnya. Seolah menyesali kata-kata yang baru ia ucapkan, atau mungkin hanya kelelahan karena menghadapi aku yang dianggapnya merepotkan.

"Dengar Senorita, hari ini suasana hatiku sedang buruk, jadi jangan membuatku semakin kesal."

Dia duduk, Jariku bergerak menghapus jejak air mata yang sempat menetes.

"Jadi bagaimana? Kamu mau pergi atau tinggal?" tanyanya dengan tatapan yang masih dingin.

Aku menghela napas berat dan menjawab dengan suara parau.

"Aku... akan di sini,"

"Bagus. Tidak ada waktu untuk menangis, sekarang bersiaplah."

Aku mendongak, bingung.

"Bersiap? untuk apa?"

"Mencari baju ganti untukmu."

1
Siti Nina
Astaga ada" saja tuh kakek" bikin emosi jiwa 😅
Siti Nina
👍👍👍👍👍
Siti Nina
👍👍👍
Siti Nina
👍👍👍👍👍
Siti Nina
Waw,,,sangat menarik ceritanya keren banget 👍👍👍
Siti Nina
oke ceritanya 👍👍👍
Siti Nina
Mampir thor salam kenal kesan pertama menarik ceritanya keren kata"nya juga enak di baca 👍👍👍 tapi yg like nya dikit banget padahal oke banget ceritanya 👍👍👍🤔🤔
Nalira🌻: Salam kenal juga, Kak...🤝🏻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!