Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seblak Rempah Cinta
Udara pagi di kawasan kontrakan sederhana itu masih sejuk. Aroma tanah basah dari hujan semalam masih tersisa.
Tapi dari balik kontrakan nomor tiga, asap wangi khas kencur dan bawang putih mulai menyeruak.
Nada, dengan apron bergambar cabe merah besar, sedang mengulek bumbu di cobek besar sambil bersenandung pelan lagu lawas yang tak ia hafal liriknya.
“Duh, Nad … Nad… Aku tuh udah bilang, jangan senyum-senyum sambil ngulek! Itu bukan cowok, tapi cobek! Nanti jatuh cinta dia,” goda Rosa dari dalam, sambil membawa ember penuh kerupuk mentah.
Jam Sembilan pagi setiap hari minggu warung mereka mulai dibuka.
Nada tergelak. “Biarin, cobek ini setia, Ros.”
“Eh! Jangan baper! Bukan kamu yang bilang kita perempuan kuat, harga diri mahal?” sahut Rosa sambil nyengir.
“Waktu ngomong itu aku belum ngulek, Ros. Sekarang beda suasananya,” jawab Nada, tetap dengan canda yang menghangatkan pagi.
Sudah hampir dua bulan mereka rutin jualan seblak setiap hari libur kerja. Nada memang mengambil cuti kuliah di semester kemarin karena alasan keuangan, tapi kini ia sudah kembali kuliah meski dengan jadwal yang padat.
Tak ingin hanya bergantung pada satu penghasilan sebagai cleaning service, ia dan Rosa sepakat membuka warung kecil-kecilan di depan kontrakan.
Nama warung mereka, Seblak Rempah Cinta ditulis besar pada sebuah banner. Dan ya, itu hasil ide gila Rosa setelah menonton drama Korea semalaman.
“Mbak, seblaknya dua, yang satu kuah pedes level tujuh, yang satu original tapi pakai makaroni aja ya,” ujar seorang penghuni kontrakan yang sudah jadi langganan.
“Oke, bentar ya, Kak! Nih Rosa, catet!” Nada menunjuk papan tulis kecil tempat Rosa biasa menulis pesanan.
Dengan gaya ala kasir profesional, Rosa menulis,
“Seblak cinta: satu pedes tujuh, satu orimak. Done!”
“Ros, itu singkatannya bikin orang salah paham,” kata Nada sambil meletakkan telur ke wajan.
“Biarlah. Biar pembeli penasaran. Marketing tuh gitu, Nad,” balas Rosa dengan bangga.
Tak hanya mengandalkan warung dadakan di depan kontrakan itu, Rosa juga membuka akun Instagram: @seblakrempahcinta.
Dengan caption lucu, aesthetic feed, dan video-video mukbang, followers-nya naik cepat. Bahkan beberapa mahasiswa di kampus mulai penasaran dan pesan via DM.
“Aku tuh kadang suka mikir ya, Nad. Hidup kita ini kayak drama web series,” kata Rosa suatu sore sambil menata pesanan yang akan ia antar ke kontrakan sebelah.
Nada hanya tersenyum sambil membungkus seblak.
“Kalo gitu kita judulnya apa? Perempuan Kuat Tukang Seblak?”
“Atau Cinta di Atas Gerobak Seblak?” balas Rosa sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Di tengah gelak tawa mereka, satu DM masuk ke akun Instagram. Rosa membuka dan matanya melebar.
“Nad… Ini beneran? Ada yang mau order 50 bungkus buat acara arisan keluarga katanya, alamatnya di komplek perumahan mewah?” serunya.
“Wah, serius? Kirim alamatnya, kita harus siapkan dari sekarang. Bahan kita cukup?”Rosa mengangguk, lalu mendekat.
“Dan… yang mesen ini namanya… Astaghfirullah, Nad, Ini nama belakangnya kayak… kayak… familiar banget gitu ya!” Nada terdiam sejenak. Tapi dengan cepat ia tersenyum.
“Familiar, emang kamu ada keluarga di Jakarta ini? Kalau bener, ya berarti semesta lagi ngasih jalan rezeki lewat jalur family.” Nada menanggapi dengan setengah bercanda.
“Oke, kita eksekusi sekarang!” Rosa bersemangat menyiapkan bahan-bahan seblak sesuai pesanan, di luar tenda sudah ada beberapa remaja yang tengah menikmati seblak rempah cinta ala Nada dan Rosa.
“Nad, kalau tiap hari kita jualan bisa jadi kita cepat kaya Nad, lihat nih orderan kita aja sekarang udah mau hamper seratus porsi padahal kita baru buka dua jaman.” Celoteh Rosa disela-sela packing seblak yang akan diantar langsung olehnya.
“ Kalau kita jadi orang kaya mungkin dapet jodohnya juga gampang, Nad. Gak bakalan adalagi drama cintaku terhalang kasta.” Seloroh Rosa.
Sebagai sahabat dia tahu jika selama ini Nada sengaja memendam cintanya untuk Abyan karena perbedaan status.
Nada hanya tersenyum, tapi matanya sedikit menerawang. Jauh di dalam hatinya, ia tahu perasaan itu belum benar-benar mati. Tapi hidup tak bisa terus dipenuhi drama. Ia punya tanggung jawab. Punya impian.
Malam harinya, setelah semua pesanan selesai dan Rosa sudah kembali dari antar mengantar, mereka duduk berdua di depan kontrakan, menikmati sisa mie kuah dan sisa kerupuk yang tak terjual.
“Ros,” Nada membuka pembicaraan,
“Aku tuh bersyukur banget punya kamu.”
“Duh, mellow banget sih. Ini karena lihat bulan atau karena ingat cowok tajir yang pernah jadi mahasiswa KKN?”
“Dua-duanya. Tapi serius, aku tuh ngerasa hidupku jadi lebih bermakna sejak kita mulai jualan bareng. Dulu aku cuma kerja, pulang, kuliah, tidur. Sekarang… aku belajar lebih banyak hal.”
“Dan kamu makin glowing, Nad. Pasti karena sering kebakar wajan!” Rosa menertawakan wajah merah sahabatnya.
“Dan kamu makin kurusan, Ros. Tapi tetep aja, dompet kamu makin gemukan!” Keduanya tertawa bersama, tanpa beban.
Seperti dua gadis desa yang percaya diri melangkah di kota besar, dengan seblak sebagai senjata dan persahabatan sebagai perisai.
Beberapa hari kemudian, Nada ada kuliah pagi dan Rosa libur kerja karena kemarin dia menggantikan rekannya full sampai dua shift, tiba-tiba ponsel Rosa berdering. Sebuah nomor asing.
“Halo?” jawab Rosa.
“Assalamualaikum, ini dengan Rosa?” suara di seberang sana terdengar sopan dan familiar.
“Iya, betul. Maaf, ini siapa ya?”
“Saya Rendi… mungkin kamu masih ingat.” Rosa hampir menjatuhkan ponselnya. Walau pun di hotel mereka pernah bertemu beberapa kali tapi keduanya tidak pernah bertukar nomor ponsel, Rosa tidak seberani itu.
“Astaga! Kak Rendi?! Sumpah ini kejutan!” Rendi tertawa kecil.
“Saya kebetulan lagi lewat daerah sini, dan saya sempat lihat story seblak yang kamu jual. Jadi penasaran…”
“Wah, Kak Rendi! Kapan-kapan mampir dong, cobain seblaknya! Tapi saya lagi nggak jualan hari ini, Nadanya lagi kuliah.”
“Nada?” suara di seberang terdengar berubah.
“Iya, Nada kan master chefnya. Hari ini saya libur kerja, tapi sebentar lagi mau pergi belanja bahan.”
Rendi terdiam sejenak, lalu suaranya terdengar lebih pelan.
“Jadi… Nada juga kuliah di kota ini?”
“Iya, Kak. Dia hebat banget. Kerja juga kuliah, masih jualan juga, emang buat tambah-tambah sih, penyambung hidup… Tapi tetep humble dan kuat.” Rosa terkekeh di akhir kalimatnya.
Rendi menarik napas pelan.
“Saya senang dengarnya. Mungkin saya bisa mampir lain waktu?”
“Pasti, Kak. Kami buka setiap hari libur kerja!”
Setelah menutup telepon, Rosa memandang langit siang. Lalu ia tersenyum nakal.
“Nad… seblak kita kayaknya bakal ada investor…”
—
Di tempat berbeda, Rendi menatap layar ponselnya lama. Ia teringat wajah ceria Nada dulu di desa—yang lugu, polos, tapi selalu punya semangat tak biasa. Ia tahu persis bagaimana Abyan selalu diam-diam memandangi gadis itu di senja hari.
Mungkin memang dunia ini kecil. Dan cinta yang baik… akan selalu menemukan jalan.
Tapi Rendi tidak seoptimis itu, bayangan kakek Abyan dengan segala titahnya kembali melintas membuat hatinya mencelos, iba sekaligus khawatir akan nasib percintaan sahabat sekaligus bosnya itu.
Kabar terbaru dari Arya kakek Akbar sudah mengatur acara lamaran Abyan.
Tiga puluh menit berlalu, Rendi sudah sampai di parkiran khusus para petinggi hotel, dari kejauhan dia melihat Nada baru saja turun dari ojeg online.
Rupanya dia masuk shift siang, dengan masih memakai pakaian casual sepulang kuliah Nada terlihat berjalan menuju lobi dengan buru-buru.
“Nada.” Nada menghentikan langkahnya, dia menoleh ke sumber suara, ternyata ada Rendi di sana memanggilnya.
“Selamat siang, Pak.” Nada berbalik, dia menunggu langkah Rendi yang semakin mendekat padanya.
“Siang. Nad, bisa kita bicara sebentar?” Nada menautkan kedua alisnya,
“Sebentar saja.”
“Baiklah.”
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira
lanjut kak