Melina Lamthana tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta ditahun pertamanya kuliah. Ia hanya seorang mahasiswi biasa yang mencoba banyak hal baru dikampus. Mulai mengenali lingkungan kampus yang baru, beradaptasi kepada teman baru dan dosen. Gadis ini berasal dari SMA Chaya jurusan IPA dan Ia memilih jurusan biologi murnni sebagai program studi perkuliahannya dikarenakan juga dirinya menyatu dengan alam.
Sosok Melina selalu diperhatikan oleh Erick seorang dosen biologi muda yang dikenal dingin, cerdas, dan nyaris tak tersentuh gosip. Mahasiswi berbondong-bondong ingin mendapatkan hati sang dosen termasuk dosen perempuan muda. Namun, dihati Erick hanya terpikat oleh mahasiswa baru itu. Apakah mereka akan bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Greta Ela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Setelah makan malam yang terasa begitu intim, Erick memanggil pelayan. Melina sempat melirik angka yang tertera di bil tagihan saat Erick mengeluarkan kartu kreditnya. Rp 5.000.000.
Mata Melina membulat sempurna. Untuk sekali makan? Angka itu bahkan lebih besar dari uang saku yang ia hemat mati-matian selama berbulan-bulan. Ia ingin memprotes, ingin mengatakan bahwa itu terlalu mahal, namun melihat ekspresi Erick yang begitu tenang, seolah mengeluarkan jutaan rupiah hanyalah hal sepele, Melina kembali menelan kata-katanya. Dunia Erick benar-benar berbeda dengan dunianya.
"Jangan dipikirkan. Untukmu, ini tidak ada harganya," ujar Erick pelan seolah bisa membaca pikiran Melina.
Erick menggandeng tangan Melina dengan lembut sambil berjalan menuju mobil. Mereka baru makan satu setengah jam tapi tagihan biaya parkir untuk mobil kelas atas seharga Rp 200.000 yang membuat Melina tercengang lagi.
"Jangan dipikirkan, aku ingin membuatmu merasakan indahnya dunia luar, Melina." ujar Erick sambil membayar uang parkir itu.
Ketika mereka keluar dari restaurant itu, Erick kemudian tidak langsung mengantarnya pulang. Ia membawa Melina menyusuri sisi kota yang belum pernah Melina injak. Mereka melewati kawasan elit di mana gedung-gedung pencakar langit berdiri angkuh dengan lampu-lampu kristal yang memancar dari balik kaca. Erick menunjukkan tempat-tempat di mana para CEO, seniman ternama, dan pengusaha kelas atas berkumpul.
"Kamu pernah melihat ini?" tanya Erick lembut
"Belum pernah." jawabnya gugup.
"Indah bukan? Sama seperti dirimu Melina. Aku ingin membuatmu mengenal dunia luar seperti apa. Masih banyak tempat yang belum kita kunjungi, masih banyak makanan yang belum kita coba, Melina. Aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu." ujarnya tiba-tiba.
Melina hanya bisa menatap keluar jendela dengan takjub sekaligus merasa kecil. Ia merasa seperti Cinderella yang dibawa masuk ke istana yang salah.
Selama perjalanan, suasana di dalam mobil terasa sunyi namun intens. Sambil menyetir dengan satu tangan, Erick sesekali melirik ke samping. Di sana, Melina duduk dengan sangat anggun. Gaun hitam itu benar-benar pilihan yang tepat, kontras dengan kulit putih Melina dan memberikan siluet tubuh yang begitu indah di bawah cahaya lampu jalan yang masuk ke dalam mobil.
Pandangan Erick sempat tertahan di lekukan bahu dan garis leher Melina yang terbuka. Ada gejolak aneh di batinnya, keinginan yang sangat maskulin untuk memiliki gadis ini sepenuhnya saat itu juga. Namun, Erick segera membuang pikiran itu jauh-jauh. Ia menghela napas panjang, mencengkeram kemudi lebih erat. Ia sangat menghargai kepolosan Melina dan tidak ingin membuatnya merasa risih atau takut, meskipun dalam hati ia sangat memuja bagaimana gaun itu melekat di tubuh Melina.
Erick membawa Melina lagi ke pemandangan malam yang begitu memukau, dimana kembang api dipetaskan dilangit, seperti orang jepang yang berpacaran sedang melihat hanabi.
Tak disangka, mata Melina berbinar melihat kembang api itu. Sudah lama Ia tak melihat kembang api, rasanya seperti didunia lain. Ia tahu bahwa dikeluarganya pun dia memiliki banyak masalah. Itu sebabnya Ia sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Bunga. Sahabat yang benar-benar mengerti tentang Melina.
Tapi, saat Erick masuk dikehidupan Melina, Ia mulai berubah. Ia mulai merasakan rasa cinta aneh dari hatinya untuk Erick tapi Ia juga ingin berhenti. Ia takut ketahuan tapi hatinya masih tertuju pada Erick. Sampai-sampai Ia jarang memberi kabar pada Bunga karena Erick selalu mengajaknya berkencan setiap malam supaya Melina tak kesepian.
"Bagaimana Melina? Kamu suka kembang api itu?" tanya Erick sambil melihat bagaimana mata Melina menatap kembang api itu
Seketika Melina tersenyum dan mengangguk.
"Aku sangat suka." ujarnya pelan.
Setelah setengah jam melihat kembang api, Erick lalu memutuskan untuk mengantar Melina pulang ke apartemennya. Jam 10 malam begini satpam sudah pulang, Ia berpikir bahwa penghuni apartemen sudah didalam. Jadi Melina menggunakan akalnya untuk lewat dari jalan belakang. Jalan yang sering dipakai mahasiswi ketika pulang larut malam supaya tidak kena tegur oleh satpam.
Erick lalu melajukan mobilnya melewati jalan belakang apartemen, satu jam kemudian, mobil Erick berhenti di belakang apartemen Melina yang sepi.
"Istirahatlah, Melina. Kamu terlihat lelah," ucap Erick lembut sambil mengusap kepala Melina.
"Terima kasih untuk malam ini, Erick," balas Melina dengan suara kecil sebelum turun.
Begitu Melina turun, Erick memperhatikannnya naik ke atas tangga apartemennya hingga Ia masuk ke dalam.
Erick lalu memutar mobilnya dan pulang kembali kerumahnya dengan senang.
"Melina, sampai kapan aku harus menahan ini." Erick mengencangkan setirnya.
Begitu sampai di dalam kamarnya, Melina tidak langsung melepas gaun itu. Ia berdiri lagi di depan cermin, di bawah lampu kamar yang putih dan dingin. Suasana apartemen yang sunyi membuat pikirannya tiba-tiba menjadi sangat jernih dan tajam.
Tiba-tiba, setetes air mata jatuh di pipinya. Kemudian satu lagi, hingga ia terisak pelan.
Melina menatap dirinya di cermin dengan rasa benci yang tiba-tiba muncul. Mengapa ia mau melakukan ini semua? Mengapa ia begitu lemah dan lugu sampai membiarkan dirinya didikte oleh keinginan seorang pria, bahkan mengenakan pakaian yang memamerkan setengah tubuhnya seperti ini? Ia merasa telah mengkhianati dirinya sendiri, mahasiswi berprestasi yang seharusnya menjaga martabatnya.
"Kenapa aku mau? Kenapa aku begitu aneh..." isaknya sambil menutup wajah dengan kedua tangan.
Rasa cintanya pada Erick berbenturan keras dengan rasa malu akan kepolosannya yang perlahan terkikis. Ia merasa kotor sekaligus rindu pada Erick di saat yang bersamaan. Pergulatan batin itu begitu menguras emosinya hingga tubuhnya terasa sangat lemas.
Tanpa sanggup menghapus riasan wajahnya, tanpa sanggup membersihkan diri, Melina merebahkan tubuhnya di atas kasur. Masih dengan dress hitam satin yang melekat di tubuhnya dan sisa air mata di pipi, ia pun tertidur karena kelelahan emosional yang luar biasa.
Elina lalu tidur menggunakan gaun itu tak peduli karena batinnya sudah lelah.
Disisi lain, Erick memarkirkan mobilnya digarasi rumahnya. Ia lalu masuk dan merebahkan tubuhnya dikasurnya. Ia masih memikirkan bagaimana Melina menggunakan gaun itu.
"Agh, gaun yang aku pilih itu benar-benar cocok untuk Melina."
Erick mulai membayangkan hal-hal aneh yang ingin dilakukannya dengan Melina. Tapi dia dosen, harusnya dia tahu batasan, harusnya dia tahu aturan bahwa dilarang keras jika dosen berpacaran dengan mahasiswi begitu pun sebaliknya, karena jika ketahuan maka dosen akan langsung dipecat dan dihapuskan jabatannya sementara mahasiswi tersebut akan langsung di DO dari kampus.
"Astaga pikiranku! Aku tak bisa.... Aku tak bisa merusak Melina begitu saja. Aku harus mempertahankan sikap profesionalku. Melina adalah gadis pilihanku, aku...aku harus menjaganya." ujarnya berdamai dengan dirinya sendiri.
Erick lalu dengan paksa membuang pikiran aneh itu dari otaknya. Ia harus tetap normal, memperlakukan Melina sewajarnya saja.