Kirana menatap kedua anaknya dengan sedih. Arka, yang baru berusia delapan tahun, dan Tiara, yang berusia lima tahun. Setelah kematian suaminya, Arya, tiga tahun yang lalu, Kirana memilih untuk tidak menikah lagi. Ia bertekad, apa pun yang terjadi, ia akan menjadi pelindung tunggal bagi dua harta yang ditinggalkan suaminya.
Meskipun hidup mereka pas-pasan, di mana Kirana bekerja sebagai karyawan di sebuah toko sembako dengan gaji yang hanya cukup untuk membayar kontrakan bulanan dan menyambung makan harian, ia berusaha menutupi kepahitan hidupnya dengan senyum.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BSB 27
Sejak berpisah dari Kirana tadi, senyumnya tak pernah luntur. Sebenarnya, tadi Yuda ingin mengantarkan Kirana pulang, tapi di tolak halus olehnya. Jadilah Yuda pulang sendirian dengan senyumannya. Mungkin jika ada orang yang melihatnya pasti sudah mengira Yuda orang gila.
Sekitar sepuluh menit mobilnya berhenti di garasi rumahnya. Yuda langsung turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah.
Yuda bersenandung kecil sepanjang langkahnya menuju ruang tengah. Nada yang keluar bahkan tak jelas lagunya apa.
Lasma yang tengah duduk di ruang tamu menatap curiga. Tak biasanya Yuda bersikap seperti itu.
"Darimana Yud, senang banget ibu lihat kayak habis dapat undian. Kenapa?"
Yuda langsung menghentikan senandungnya. Ia menoleh sekilas, lalu tersenyum samar. “Nggak ada apa-apa, Bu,” jawabnya singkat,
Lasma mendecak pelan. “ hayoo, ngaku loh. Ibu tau kamu lagi senang"
Yuda hanya terkekeh kecil, tidak membantah, tidak juga mengiyakan. “Yuda mau mandi dulu ya, Bu. Capek,” katanya sambil berlalu menuju kamarnya sebelum ibunya sempat mencecar lebih jauh.
Begitu pintu kamar tertutup, Yuda bersandar sejenak di sana. Senyumnya kembali merekah, kali ini lebih lepas. Ia menghela napas panjang, seperti seseorang yang baru saja melewati penantian panjang.
Di kamar mandi, suara air mengalir menyertai pikirannya yang melayang. Bayangan wajah Kirana, ucapannya yang tenan, kembali terulang di kepala Yuda. Ia tersenyum sendiri di bawah guyuran air.
Selesai mandi, Yuda keluar dengan handuk di leher, rambut masih sedikit basah. Ia mengenakan kaus bersih dan celana santai, lalu duduk di tepi ranjang sambil mengambil ponselnya. Matanya menatap layar beberapa detik, seolah ingin mengirim pesan, lalu mengurungkannya.
“Pelan-pelan, Yud,” gumamnya pada diri sendiri.
Yuda bangkit dari rebahannya lalu berdiri di depan cermin besar di sudut kamar. Ia mengamati pantulan dirinya sendiri cukup lama, dari wajah sampai ke tubuhnya. Tangannya terangkat, merapikan rambut yang masih sedikit lembap, lalu tanpa sadar ia memiringkan kepala, seolah sedang menilai sesuatu yang sangat penting.
“Ini… tua?” gumamnya pelan.
Ia menarik sedikit kausnya, menepuk dada sendiri, lalu memutar badan ke samping. Bahunya masih tegap, lengannya terbentuk karena pekerjaan fisik dan kebiasaannya berolahraga ringan. Yuda mengerutkan kening, lalu tersenyum kecil, agak tidak percaya.
“Kayaknya belum,” katanya lagi, kini lebih yakin.
Ia mendekat ke cermin, memperhatikan garis-garis tipis di sudut matanya. Ia menyipitkan mata, mendekat lagi, bahkan sampai hampir menempelkan hidung ke kaca.
“Ah, ini bukan kerutan. Kurang tidur doang,” ujarnya sambil mengangguk mantap, seolah sedang meyakinkan orang lain.
Yuda melangkah mundur, lalu mengangkat kedua lengannya sedikit, seperti orang iseng memamerkan otot. Ia tertawa kecil sendiri, merasa tingkahnya konyol.
“Masih atletis, Yud. Jangan minder,” katanya pada bayangannya sendiri. " Nih otot juga makin kekar, belum keliatan tuanya. Aduhh, malah tambah ganteng ini"
.......
Malam mulai turun pelan di rumah kecil Kirana. Setelah makan malam sederhana, Arka sudah lebih dulu masuk ke kamar untuk mengerjakan PR, sementara Tiara menonton TV di ruang tamu.
Sementara Kirana sedang berada di teras dengan mbak Rita. Tadi setelah pulang kerja Kirana memanggil Rita untuk berbicara sebentar setelah isya.
Kirana ikut duduk di hadapannya. Ia menarik napas panjang, jemarinya saling mengait di pangkuan.
"mau cerita apa Ra, kayaknya serius banget"
Kirana terdiam beberapa detik, lalu berkata pelan, “Tentang Mas Yuda.”
Alis Mbak Rita sedikit terangkat, tapi wajahnya tetap tenang. “Mas Yuda yang sering ke sini itu?”
Kirana mengangguk. “Iya.”
"Dia bilang mau serius dengan Kirana mbak, sebenarnya sudah lebih dari dua Minggu yang lalu dia mengucapkan itu mbak. Tapi aku minta waktu untuk menjawabnya."
"Dan selama itu juga aku tiap malam shalat istikharah meminta petunjuk Allah mbak, berharap menemukan jawabannya. Dan yaa aku merasa tenang dan di lapangkan mbak. Setiap ketemu mas Yuda juga seolah tidak ada keraguan dan kekhwatiran di hatiku"
Mbak Rita terdiam sejenak, mencerna. Lalu ia tersenyum tipis. “Terus kamu gimana?”
"Tadi mas Yuda ngajak ketemu sebentar mau minta jawaban dari aku. Aku bilang iya mbak"
Mbak Rita menggeser kursinya, duduk lebih dekat. “Ra… orang baik itu bukan yang hidupnya sempurna. Tapi yang mau bertahan di kondisi paling nggak sempurna.”
Kirana terdiam.
“Dari yang aku lihat,” lanjut Mbak Rita lembut, “Mas Yuda itu nggak banyak omong, tapi kelihatan tanggung jawab. Dia datang bukan cuma pas enak-enaknya. Dia datang pas kamu lagi jatuh.”
Air mata Kirana akhirnya jatuh. “Aku juga ngerasa gitu, Mbak… tapi aku takut perasaanku ini cuma karena aku capek sendirian.”
Mbak Rita menggenggam tangan Kirana. “Capek itu manusiawi. Tapi kamu nggak gegabah, Ra. Kamu salat istikharah, kamu mikir panjang. Itu tandanya kamu nggak asal.”
Kirana mengangguk pelan.
“Kalau hatimu tenang setelah berdoa,” lanjut Mbak Rita, “itu biasanya bukan kebetulan.”
Kirana mengusap air matanya, tersenyum kecil. “Makasih, Mbak… aku cuma butuh bilang ke seseorang.”
Mbak Rita tersenyum hangat. “Apa pun keputusanmu nanti, aku dukung. Yang penting kamu dan anak-anak aman dan bahagia.”
Dari kamar, terdengar suara Arka memanggil, “Bun, bukunya di mana?”
Kirana bangkit, hatinya terasa sedikit lebih ringan.
“Iya, Bang, sebentar.”
"kalo gitu mbak pulang dulu yaa, mbak tunggu kabar baiknya. itu juga mas mu udah ngintip dari jendela nungguin mbak pulang"
"iya mbak, Maksih banyak yaa mbak"
Mbak Rita mengangguk, lalu melangkah keluar. Kirana sempat mengantarnya sampai depan pintu, sebelum kembali masuk ke rumah dan menutup pintu perlahan.
Di luar, Mbak Rita berjalan menuju rumahnya yang hanya terpisah beberapa langkah. Begitu masuk, suaminya Jefri sudah berdiri di ruang tengah dengan tangan bersedekap, wajahnya dipenuhi rasa ingin tahu.
“Ngapain lama banget ngobrolnya mah ?” tanya Jefri sambil tersenyum tipis.
Mbak Rita meletakkan tasnya di kursi. “Ngobrol hal penting.”
“Hal penting apaan sampai serius begitu?”
Rita melirik ke arah suaminya sebentar. "ihhh mas kepo deh"
"ini namanya bukan kepo mah, tapi penasaran"
"Sama aja." ucapnya lalu berjalan masuk kedalam kamar. "Tadi Kirana cerita, kalo ada yang mau serius dengannya. Dia minta masukan dari aku."
"ohh bagus dong. Aku juga kadang kasian lihat dia mah"
Rita menatap tajam suaminya. “Ngga ada niat buat nikahin Kirana kan, Mas?”
Jefri langsung terbahak. “Yaa… ngga lah, Mah. Cuma kamu yang ada di hatiku, ngga ada yang lain.”
Rita mendengus, tapi tak bisa menahan senyum kecilnya.
Jefri menoleh ke arah kamar anak, lalu menyeringai nakal. “Emm… Lilis udah tidur tuh…”
Rita menatap curiga. “Loh, terus. wajar Lilis mungkin kecapean main seharian?”
Jefri pura-pura serius sambil mendekat,dengan senyum misterius. “Gimana kalo kita… bikin adek buat Lilis ?”
Rita langsung menatap tajam ke arah suaminya. Pantasan saja dari tadi dia di rumah Kirana suaminya tidak pernah diam membuka pintu dan melihat dari kaca jendela rumah mereka. Ternyata ada maksud. " Ngga ada, aku lagi ngga shalat mas"
Jefri langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. "Yahh gagal deeh, padahal aku udah semangat loh mah, nungguin kamu dari tadi"