Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Suara musik dari aula terdengar kembali ketika Lyora melangkah menjauh dari taman. Nafasnya sedikit tidak teratur; benda kecil di dalam boot-nya menusuk pergelangan kaki setiap kali ia bergerak. Ia menunduk, hendak mengatur kembali napas dan ekspresi sebelum kembali ke tengah keramaian.
Namun baru satu langkah melewati pintu koridor, Apollo sudah bersandar pada dinding marmer, dasi masih terpasang rapi namun tatapannya jauh dari itu, dingin, tajam, seperti bilah pisau yang menunggu daging pertama untuk dirobek.
Cahaya lampu chandelier menjatuhkan bayang panjang di wajahnya. Senyumnya muncul pelan, semacam kebodohan yang disadari… dan dipelihara.
“Akhirnya.”
Suara baritonnya lirih… namun menusuk.Lyora terhenti. Tangannya otomatis meraih sisi gaun, berusaha menegakkan dirinya. Tapi ia tahu tatapan Apollo sudah menangkap setiap detik kebimbangannya.
“Jadi ini dramamu?” Apollo berjalan mendekat selangkah, cukup dekat untuk membuat bayangannya menyentuh bahu Lyora. “Kau berharap aku akan luluh dengan aksi—”
Ia mengangkat dua jari ke udara, seolah menciptakan tanda kutip tak kasat mata.
“—pura-pura diculik di malam pertunangan?”
Lyora menegang,Ia mau bicara, tapi suaranya tertelan di tenggorokan. Apollo tertawa kecil. Ringan. Beracun. “Menarik sekali. Sangat dramatis. Semua orang panik… sementara kau?” Ia menurunkan wajahnya mendekat, suaranya berubah rendah dan tajam: “Bertemu seseorang di belakang sana... orang asing tepat di bawah hidungku.”
Lyora memalingkan wajah, menatap lantai bercahaya di bawahnya. Jari-jarinya mengepal dalam lipatan gaun. Apollo mencondongkan kepalanya sedikit, seolah mencari mata Lyora dengan sengaja.
“Ceritakan padaku, Lyora.” Ucap Apollo dengab sarkas yang menetes dari setiap kata.
“Apa aku harus berterima kasih karena kau cukup kreatif membuat semua orang peduli pada perempuan yang bahkan rela membuat drama murahan seperti ini ?”
Jarak mereka hanya tinggal beberapa sentimeter. Nafas Apollo menyentuh pipinya.
Lyora tetap diam.Di balik botol minuman yang tadi ia habiskan, amarah dan rasa tidak ingin peduli Apollo bertabrakan satu sama lain ,menciptakan sesuatu yang jauh lebih mengancam.Tatapan Apollo turun ke arah sepatu Lyora.
“Kau menyembunyikan sesuatu, bukan?”
Nada suaranya jatuh seperti peluru.
Lyora menegakkan bahunya, menggenggam sisa keberanian yang ia punya. “Apa yang kau maksud? Aku tidak menyembunyikan apa pun.” Suaranya terdengar stabil, tapi jemarinya mencengkeram kain gaun terlalu kuat, seolah hanya itu yang mencegahnya goyah.
Apollo membeku sejenak. Tatapannya menurun, menggelap. “Berani sekali kau berbohong, Lyora ”Potongannya tajam.
“Kau pikir aku buta?” Nada penuh penghinaan, tapi di baliknya… ada sesuatu yang lebih gelap. Dan sebelum Lyora sempat mundur,
BRUK.
Apollo bergerak secepat kilat. Ia menunduk, tangannya langsung menyambar sisi gaun bawah Lyora, hendak menyingkapnya ke atas. Lyora terkejut, nyaris hilang keseimbangan, tapi ia buru-buru menahan lipatan gaun itu, mencengkeramnya seolah hidupnya sendiri dipertaruhkan.
“Jangan sentuh!” Ucapan itu terlontar, spontan. Ketakutan dan kemarahan bertubrukan jadi satu. Apollo mendongak lagi, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Lyora.
Mata mereka bertemu, dua badai yang menolak runtuh duluan.
Rahangnya mengeras. Jemarinya masih mencengkeram kain sutra di antara mereka ,sebuah garis peperangan yang tidak terlihat, tapi terasa sampai ke tulang.
“Kau bahkan berani memerintahku sekarang?”
Kalimatnya pelan, namun tekanan pada setiap kata cukup untuk mengiris udara."Kau lebih takut kehilangan benda itu,” gumam Apollo perlahan, “daripada kehilangan harga dirimu di depanku.”
Apollo mengangkat tangannya, menyentuh dagu Lyora, memaksanya menatap langsung ke matanya. “Jika kau pikir aku akan membiarkanmu memainkan permainan ini sendirian…” suaranya berubah lembut, namun jauh lebih berbahaya dari teriakan mana pun.
“…kau salah besar.”
Ia memiringkan kepalanya sedikit, seolah memberi peringatan terakhir.“Aku akan mencari tahu. Entah kau mau bicara atau tidak.”
Jari-jari Apollo di dagunya mengeras sesaat sebelum akhirnya ia melepaskannya.Adegan terasa menggema dalam keheningan koridor.
Lyora menelan ludah. Namun sebelum ia sempat menarik napas lega—
“Apollo—!”
Lyora belum sempat mundur ketika pergelangan tangannya ditangkap dengan kuat.
Dalam satu gerakan cepat, tubuh mungilnya diputar dan BRUK—punggungnya membentur dinding marmer koridor. Dinginnya meresap lewat kain tipis gaunnya, membuat napasnya robek di tenggorokan.
Apollo menahan kedua tangannya di atas kepala, tubuhnya memagari ruang gerak Lyora tanpa celah. Mata pria itu berkilat, dalam dan penuh prasangka.“Kau pikir aku tidak tahu trikmu?” desisnya.
Tangan satunya meluncur turun tanpa ampun , menyisir sepanjang gaun hingga ke sisi boot Lyora.Lyora meronta, menendang samar dengan sepatu tinggi itu, suara gesekan kain terdengar cemas di udara.
“Hentikan! Lepas!” Namun Apollo tidak mengindahkan. Jemarinya menyelinap cepat ke dalam lipatan boot dan ia menemukannya.
Sesuatu kecil. Ringan. Disembunyikan dengan sangat teliti.
Ia menariknya, mengangkatnya di antara mereka seperti bukti kejahatan…lalu membeku.Benda itu bergoyang pelan di antara jarinya.sebuah gantungan chibi, tokoh animasi Jepang yang menggemaskan, dengan pipi merah muda dan mata besar berkilau. Benda yang tampak… begitu polos.
Kesombongan Apollo jatuh begitu saja—bertabrakan dengan kenyataan yang sama sekali tidak ia duga.Tatapannya menelusuri gantungan itu seolah itu adalah penghinaan terbesar yang pernah diterimanya.
Wajah Lyora memerah—bukan karena malu, tapi marah. Ia menarik lengannya dari genggaman Apollo, menatap tajam balik ke dalam matanya yang kehilangan kata.
“Puas?” Satu kata itu jatuh seperti tamparan.
Perlahan, dingin dan mematikan.
Apollo tidak menjawab.Rahangnya mengeras.
Gantungan kecil itu terlihat begitu tidak cocok di tangan seorang pria dingin penuh kuasa sepertinya. Ia terlihat bodoh untuk pertama kalinya malam itu .Apollo menatapnya beberapa detik. Hingga akhirnya ia meremas gantungan itu sedikit, seolah ingin menghancurkannya, namun… ia tidak melakukannya.
Ia mengembalikannya perlahan… nyaris enggan.“Jangan menantangku dengan hal sepele seperti ini lagi,” gumamnya rendah, mencoba menyelamatkan kebanggaannya yang retak.
Punggung Lyora masih merasakan dinginnya marmer ketika Apollo mendekat lagi, napasnya menghantam udara di antara mereka. Jarak itu terlalu dekat. Terlalu menekan. Tapi Lyora tidak menunduk. Ia menatap balik seorang pria yang begitu terbiasa melihat orang lain ketakutan .
Jemarinya menekan kulit Lyora hingga memutih, seolah meyakinkan dirinya bahwa ia masih punya kendali. Tapi yang ia temukan justru perlawanan halus yang dalam.
Saat akhirnya ia melepaskan tangan Lyora, pergelangan itu jatuh di samping tubuhnya, nyaris mati rasa. Lyora merapikan gaunnya tanpa memalingkan tatapan , sebuah pengingat bahwa ia masih punya martabat yang tak bisa direbut Apollo hanya dengan genggaman kuat.
Apollo menunduk melihat gantungan kecil yang kini ia genggam. Chibi itu menatapnya dengan senyum polos yang menyakitkan, kontras dari seluruh dunia gelap yang mengelilingi mereka.
Tokoh kartun itu adalah simbol…Sesuatu yang lembut. Sesutu yang tidak dimiliki Apollo. Sesuatu yang masih hidup dalam diri Lyora meski dunia berusaha mematikannya.
Rahap Apollo mengeras lagi. Ketika ia mengangkat kepalanya, ada kilatan yang berbeda di matanya, bukan hanya marah, tapi… tersinggung? .
“Gantungan kartun,” gumamnya rendah, seolah kata itu pahit untuk diucapkan. “Itu yang kau sembunyikan dengan sangat putus asa?”
Lyora menarik napas lambat.Tapi malam itu terlalu banyak yang telah dikorbankan.“Ada hal-hal kecil yang kau tidak mengerti,” katanya lirih namun tegas. “Karena untukmu… satu-satunya hal yang berharga hanyalah yang bisa kau kuasai.”
Apollo menatapnya, pupilnya mengecil, tersinggung lebih dari siapapun yang pernah berani menyinggungnya.
Ia mengembalikan gantungan itu. Tidak melempar. Tidak menjatuhkan. Tapi menyerahkan dengan cara yang hampir… hati-hati. Seolah benda kecil itu bisa membakar kulitnya jika disentuh terlalu keras.
“Kau benar satu hal,” katanya pelan. “Aku tidak mengerti.”
Lyora mengambil gantungan itu tanpa menurunkan pandangan. “Aku tidak menyembunyikan apa-apa darimu, Apollo,” bisiknya. “Kau hanya selalu berharap aku melakukan kejahatan agar kau punya alasan untuk membenciku.”
eh ko gue apal ya 😭