NovelToon NovelToon
Brautifully Hurt

Brautifully Hurt

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: PrettyDucki

Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.

Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.

Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.

Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua Wajah

Pintu kamar terbuka perlahan, suara gesekan gagangnya cukup untuk membangunkan Dinda yang tengah terlelap di ranjang yang menghadap ke pintu. Jam digital di meja menunjukkan pukul 11.17. Matanya mengerjap beberapa kali, menyesuaikan pandang dengan remang cahaya yang menyelimuti ruangan.

Saat itu juga aroma parfum Rendra langsung memenuhi ruangan, bercampur samar dengan aroma asap rokok dan kopi hitam. Langkah kaki pria itu mendekat, ritmenya tenang tapi penuh beban.

Pakaiannya berbeda dengan siang tadi saat mereka berpisah di Mandhala. Kini ia mengenakan kemeja putih dengan satu kancing terbuka, dasi longgar tergantung di leher, dan jas abu-abu gelap yang ia bawa asal-asalan di tangan kirinya. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya terlihat lelah tapi tetap sangat memikat.

Rahang pria itu mengeras, seolah ia sedang menahan sesuatu. Dorongan? Amarah? Atau mungkin... hasrat? Matanya menatap Dinda seperti seorang pemburu yang tak sabar. Ia meletakkan jasnya sembarangan di sofa, kemudian melangkah ke arahnya.

"Kamu kok nggak bales chat aku?" Suara Dinda parau, masih serak karena kantuk.

"Seharian ini aku sibuk." Rendra duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur menyentuh pipi Dinda yang kini sudah terduduk.

"Sayang.." Sapanya pelan, kemudian mencium bibir Dinda. Dinda membalas, ia memang merindukan suaminya. Tapi kemudian Rendra mulai melumat bibirnya, itu bukan hanya ciuman sapaan ternyata. Dia butuh lebih dan Dinda menyadarinya.

Tangan Rendra memeluk pinggang Dinda erat, mempersempit jarak mereka. Ia menciumi leher Dinda tanpa memberi ruang untuk menolak. Dan dalam waktu singkat Rendra sudah menelanjangi Dinda dan dirinya sendiri.

Selimut sudah terlepas entah ke mana. Dinda terengah di bawahnya sementara kulitnya yang hangat bertemu udara kamar yang dingin, membuat seluruh indranya menjadi lebih peka. Rendra tidak bicara sepatah kata pun, tapi setiap sentuhannya menyampaikan hasratnya yang meluap-luap.

Dinda tidak bertanya, tapi sepertinya ia tau kenapa Rendra datang dengan cara seperti ini. Pelarian dan pengalihan. Bentuk lain dari pelampiasan atas hari yang tidak memberinya ruang untuk bernapas. Dan Dinda memilih untuk membiarkannya. Karena ia juga menginginkan sentuhan Rendra, apapun alasan pria itu.

...***...

Dinda terbangun sendirian. Sprei di sisi Rendra kusut masai, satu-satunya bukti bahwa semalam bukan mimpi. Tubuhnya masih terasa remuk, seperti habis bertarung dengan badai. Ia meraih jubah sutra di tepi ranjang, memakainya sambil menahan ringisan kecil, lalu melangkah keluar kamar.

Di sana Rendra. Duduk dengan kopi hitam di meja, dan iPad di tangan. Rambut masih setengah basah, t-shirt hitam polos membalut tubuh atletisnya. Wajahnya tenang dan tampak tidak terganggu.

"Pagi." sapa Dinda pelan sambil duduk di hadapannya.

Rendra menoleh sekilas, tersenyum singkat padanya. "Pagi. Mau omelet?"

"Iya, boleh."

"Bu Rahma, buat dua ya. Dinda mau." ujarnya tanpa menoleh pada Rahma, fokus pada iPad.

Dinda menatapnya dalam diam. Ada jarak yang tiba-tiba tercipta. Padahal semalam mereka sangat intim, tapi pagi ini Rendra seperti... reset.

"Kamu bangun pagi banget." ujar Dinda, mencoba membuka percakapan.

"Iya, udah kebiasaan." Jawabnya singkat. Mata tidak lepas dari layar.

"Tidur jam berapa semalem?"

"Sekitar jam dua."

Dinda menghitung dalam hati. Tidurnya tidak akan lebih dari lima jam. Kemungkinan tiga atau empat jam. Tapi pagi ini dia terlihat... fine. Segar, bahkan.

"Nggak capek?" tanyanya lagi.

"Enggak." Rendra meneguk kopinya. "Kamu kecapean?"

"Aku masih pegel."

Untuk sesaat, Rendra berhenti scrolling. Matanya naik melirik Dinda. Ada sesuatu yang berkilat di sana, campuran kepuasan dan... rasa bersalah?

"Kamu... lagi ada masalah di kantor?" tanya Dinda hati-hati.

Rendra tersenyum samar. "Selalu ada masalah. Tapi bukan hal besar."

Itu bukan jawaban. Tapi nada bicaranya memberi sinyal jelas. Dia tidak ingin diganggu.

Dinda menggigit bibirnya. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi takut melanggar batas yang dibuat oleh Rendra.

Rahma datang dengan dua piring omelet dan menyajikannya pada mereka.

"Makasih, Bu."

Rahma hanya membalas dengan senyum ramah.

Lalu, tanpa mengalihkan pandang dari layar, Rendra mengeluarkan sesuatu dari saku celana dan meletakkannya di meja.

Sebuah kartu debit. Hitam metalik. Berat. Mengkilap.

"Ini untuk kamu. PIN-nya tanggal pernikahan kita."

Dinda menatap kartu itu seperti benda asing.

"Untuk... apa?"

"Apapun. Belanja, keperluan kuliah, jajan. Nggak ada limitnya." Rendra meneguk kopinya lagi, masih tanpa menatap Dinda.

Ada yang aneh dari cara ia menyerahkan kartu itu. Terlalu kasual. Seperti sedang memberikan... kompensasi.

"Mas, aku nggak butuh.. Kalau uang saku, aku punya dari pekerjaan freelance. Dan keperluan kuliah, biasanya Ayah yang bayar."

Kali ini Rendra menatapnya, "Kamu istriku sekarang. Aku yang akan bayar semua keperluan kamu."

Dinda terdiam. Secara logika, iya. Tapi entah kenapa, menerima kartu itu terasa seperti menerima... harga.

Namun akhirnya ia tetap meraihnya, jari-jarinya menyentuh permukaan dingin kartu itu.

"Makasih." gumam Dinda.

Rendra mengangguk sekali, lalu kembali ke iPad.

Hening. Hanya ada suara ketukan pada layar dan sesekali tegukan kopi.

Dinda memotong omelet-nya pelan, tapi tidak nafsu makan. Matanya sesekali melirik suaminya yang semalam memeluknya seperti orang tenggelam mencari udara, tapi pagi ini duduk di hadapannya seperti orang asing sopan yang kebetulan tinggal satu rumah.

Lalu ponsel Rendra berdering. Ia langsung mengangkat tanpa melihat nama pemanggil.

"Ya?"

Seseorang bicara di seberang. Rendra mengerutkan dahi.

"Sekarang? Oke, tunggu." Ia berdiri dan menyesap kopinya sekali lagi. "Aku ke ruang kerja sebentar. Ada panggilan penting."

"Oh, oke."

Rendra berjalan melewati Dinda. Tangannya menyentuh puncak kepala gadis itu, mengusapnya sekilas. Gerakan yang lembut, tapi cepat. Seperti kebiasaan yang dilakukan tanpa berpikir.

"Nanti sore kamu mau ke mana?" Rendra menoleh lagi padanya.

"Aku mau ke rumah, ketemu Ibu. Sekalian ambil mobil buat ke kampus besok."

Rendra mengerutkan dahi. "Ambil mobil? Untuk apa? Nanti aku minta Heru bawa kamu ke garasi. Ada beberapa mobil di sana, pilih yang kamu mau."

"Nggak usah, Mas. Aku susah adaptasi sama mobil baru. Takut kagok."

Rendra diam sebentar, seperti berpikir. "Oke. Nanti Heru jemput kamu jam empat. Pulangnya baru bawa mobil sendiri."

"Nggak usah repot-repot, Mas. Aku naik taksi aja."

"Dinda." Suaranya turun satu nada, berubah seperti memperingatkan. "Nanti Heru yang jemput. Kita nggak akan diskusi soal ini." dia jelas tidak ingin didebat.

Dan Dinda langsung terdiam. Ia tau itu bukan permintaan. Itu instruksi.

"Oke." jawabnya pelan.

Rendra tersenyum, puas, lalu berjalan menuju ruang kerjanya sambil menekan tombol panggilan dan pintu langsung tertutup.

Dinda termenung sendirian di meja makan yang terlalu besar, menatap kartu debit hitam di tangannya.

Rahma mendekat, membawa teko untuk refill air.

"Bu Dinda mau tambah air?"

"Iya, makasih Bu."

Rahma menuang dengan hati-hati.

Dinda meliriknya. "Dia bangun jam berapa, Bu?"

"Saya datang Pak Rendra baru selesai olahraga. Biasanya bangun jam lima pagi dan langsung olahraga, Bu."

Dia punya jadwal teratur rupanya.

Dinda termenung sendirian. Ia kembali merasakan hal yang sulit ia jelaskan. Seolah ia sedang berhadapan dengan dua sosok berbeda dalam satu tubuh. Rendra yang hangat dan intim di malam hari, dan Rendra yang teratur dan dingin di pagi hari. Ia juga tidak bisa menyangkal, bahwa ada pola yang mulai terlihat. Perhatian Rendra selalu hadir, tapi dalam bentuk keputusan yang sudah final. Ia jarang minta persetujuan, lebih sering menetapkan.

Bagaimana caranya bertahan dengan sosok ini? Haruskah ia beradaptasi? Ia ingin pernikahan ini berhasil. Jika tidak, semua pengorbanannya akan terasa sia-sia.

...*** ...

1
Ecci Syafirairwan
🥰
Roxy-chan gacha club uwu
Ceritanya asik banget, aku jadi nggak tahan ingin tahu kelanjutannya. Update cepat ya thor!
PrettyDuck: Ditunggu ya kakk. Aku biasanya update jam 2 siang 🥰🥰
total 1 replies
Tsubasa Oozora
Sudah nggak sabar untuk membaca kelanjutan kisah ini!
PrettyDuck: Aa thank you kakak udah jadi semangatku untuk update 🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!