Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?
selamat membaca...semoga kalian suka yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Perawatan Natasha untuk Asmara...
Pagi datang perlahan.
Cahaya matahari menembus tirai tipis apartemen itu, memantul di lantai kayu dan menyentuh wajah Asmara yang masih terlelap di ranjang.
Ia terbangun dengan napas panjang, sedikit bingung di mana dirinya berada, sampai matanya menangkap koper di sudut ruangan — lalu perlahan ia teringat semuanya.
Pertengkaran di rumah ayahnya, hujan malam tadi, dan… Ryan.
Ia duduk pelan, merapikan rambutnya yang berantakan, lalu berjalan ke arah dapur.
Di atas meja, ada secangkir kopi hitam yang masih hangat, dan selembar catatan kecil dengan tulisan tangan rapi:
> “Minum ini sebelum dingin.
Jangan lupa sarapan.
– R.”
Asmara menatap catatan itu lama, tersenyum kecil.
Ada sesuatu yang hangat merayap di dadanya.
“Dingin di luar, tapi ternyata... hatinya nggak sedingin itu.” bisik Asmara.
Ia meminum sedikit kopi itu, lalu berdiri di depan jendela besar apartemen. Dari sana terlihat pesawat-pesawat yang lepas landas dan mendarat di kejauhan.
Langit biru muda tampak begitu tenang — kontras dengan pikirannya semalam.
Ia menarik napas panjang.
Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari penuh tekanan, pikirannya terasa ringan.
Asmara berpikir di dalam hati.
“Seharusnya aku marah, kecewa, malu... tapi yang aku rasakan sekarang cuma... tenang.”
Ia berjalan ke kamar mandi, menatap wajahnya di cermin. Mata sembab itu masih ada, tapi senyumnya perlahan kembali.
Setelah mengguyur wajah dengan air dingin, Asmara duduk di sofa, membuka ponselnya.
Puluhan pesan belum dibuka — dari rekan sesama pramugari, dari pihak kantor, bahkan dari Devanka yang masih mencoba menghubungi.
Asmara menatap layar ponsel lama, lalu akhirnya menekan tombol “blokir” untuk kontak Devanka.
“Selesai. Aku nggak mau terus diseret balik ke masa lalu.” kata Asmara pelan dan tegas.
Ia lalu menatap sekeliling ruangan — dinding yang bersih, udara sejuk, aroma kopi yang menenangkan.
Tempat ini terasa asing tapi juga... aman.
Hari itu, Asmara memutuskan untuk mengambil cuti dua hari. Ia mengajukan pesan ke kantor dengan alasan ingin menenangkan diri setelah insiden tuduhan menggoda Devanka.
Pihak manajemen mengizinkan, mungkin karena mereka tahu betapa berat tekanan yang sedang ia hadapi.
Asmara mematikan ponsel, lalu berbaring di sofa, menatap langit-langit apartemen Ryan.
“Terima kasih, Kapten... tempat kamu benar-benar tenang.” kata Asmara lirih.
Ia tertidur lagi, kali ini bukan karena lelah menangis, tapi karena hatinya mulai menemukan sedikit kedamaian.
...🍃🍃...
Matahari sudah mulai condong ke barat ketika Asmara terbangun dari tidurnya. Suara lembut pendingin ruangan dan aroma kopi yang tersisa dari pagi tadi membuat suasana apartemen itu terasa damai.
Ia bangkit pelan, meregangkan tubuh, lalu meraih ponselnya yang tergeletak di meja.
Layar menyala — sebuah pesan baru masuk.
Dari: Natasha 💅🏻
> “Mara, aku denger kamu lagi cuti ya? Pas banget! Datang dong ke klinik baruku sore ini. Aku kasih treatment gratis, sekalian ngobrol. Aku kangen banget sama kamu 😘”
Asmara menatap pesan itu, lalu tersenyum kecil. Nama itu membawa sedikit kehangatan.
Natasha — sahabat lamanya sejak awal menjadi pramugari. Dulu mereka sering bepergian bareng sebelum Natasha berhenti terbang dan membuka klinik kecantikan.
“Natasha… udah lama banget aku nggak ketemu dia.” gumam Asmara.
Ia menatap cermin di dekat pintu, memperhatikan wajahnya yang masih tampak lelah dan sedikit pucat.
Matanya sembab, kulitnya kusam — jelas efek dari stres dan kurang tidur.
Asmara senyum tipis.
“Kayaknya emang aku butuh treatment gratis itu.”
Ia segera mandi dan merapikan diri. Mengenakan kaus putih polos dan celana jeans biru muda, rambutnya ia ikat sederhana. Sebelum keluar, ia menatap sekeliling apartemen Ryan — tempat yang kini terasa seperti ruang perlindungan.
“Terima kasih, Kapten... entah kenapa tempat kamu bikin aku berani nafas lagi.” kata Asmara.
Ia lalu menutup pintu perlahan dan berangkat.
Klinik kecantikan milik Natasha terletak di salah satu area bisnis elit dekat bandara. Bangunannya modern dengan aroma bunga dan suara musik lembut di dalamnya.
Begitu Asmara masuk, Natasha langsung mengenalinya dari kejauhan.
“Asmaraaa! Akhirnya kamu datang juga! Ya ampun, aku kangen banget sama kamu!” kata Natasha antusias.
Asmara tersenyum lebar untuk pertama kalinya setelah sekian hari.
Mereka berpelukan hangat, dan Natasha menarik Asmara ke ruang treatment dengan semangat seperti biasa.
Asmara tersenyum
“Wah, kamu sukses banget, Nat. Aku bangga banget sama kamu.”
“Hush, jangan ngebahas aku. Aku justru khawatir sama kamu, Mara. Aku sempet denger kabar yang... ya, kurang enak di bandara.”
Asmara menunduk, wajahnya langsung berubah murung.
“Iya... gosip itu. Padahal aku nggak ngapa-ngapain.”
“Aku tahu. Aku kenal kamu, Mara. Kamu bukan tipe yang bakal nyentuh suami orang.” kata Natasha lembut.
Asmara menatap Natasha, matanya mulai basah lagi, tapi ia menahan.
“Lucu ya... cuma butuh satu gosip buat bikin orang lupa siapa aku sebenarnya.”
Natasha menggenggam tangannya.
“Makanya aku minta kamu ke sini. Anggap ini tempat istirahat kamu hari ini. Aku bakal rawat kamu sampai kamu lupa semua drama itu.”
Asmara tertawa kecil, akhirnya merasa sedikit lega.
“Aku nggak nyangka kamu masih peduli banget sama aki, maaf ya aku jarang mampir ke tempat kamu setahun belakangan ini.”
“Ah, jangan minta maaf begitu, santai aja mara...meskipun kita jarang bertemu tapi aku masih sama, masih jelas peduli sama kamu bangetlah! Kamu sahabat aku. Lagipula, kamu butuh refreshing sebelum balik terbang lagi.”
Beberapa menit kemudian, Asmara berbaring di kursi treatment. Musik lembut mengalun, lampu temaram membuat suasana terasa menenangkan.
Saat masker wajahnya dipoles dengan lembut, ia menutup mata, membiarkan pikirannya tenang.
Dalam diam, ia berpikir:
> “Mungkin... ini pertama kalinya aku merasa dirawat bukan karena aku berguna, tapi karena seseorang benar-benar peduli.”
Ruang treatment itu dipenuhi aroma bunga melati dan lilin aromaterapi yang lembut. Musik instrumental mengalun pelan, membuat suasana terasa begitu menenangkan.
Asmara berbaring di kursi perawatan, mengenakan jubah putih bersih. Cahaya lampu di atasnya lembut, tidak menyilaukan.
Natasha, dengan rambut disanggul rapi dan tangan cekatan, mulai menyiapkan serangkaian produk perawatan di atas meja kaca kecil.
Natasha tersenyum manis.
“Udah lama banget aku pengen kamu datang ke klinik aku, Mara. Tapi kayaknya baru sekarang semesta kasih waktu pas.”
Asmara menutup mata, tersenyum kecil.
“Iya... kayaknya semesta tahu aku lagi butuh tempat buat diam dan nggak mikir apa-apa.”
Natasha menatap wajah Asmara yang tenang, kulitnya yang seputih susu tampak lembut di bawah cahaya lampu. Ia menggeleng pelan, setengah bercanda.
“Jujur aja ya, Mara... kulit kamu tuh udah kayak porselen dari sananya. Tapi aku pengen banget bikin kamu makin bersinar. Kayak dulu waktu kamu baru mulai terbang — yang semua orang nggak bisa berhenti ngelihat kamu.”
Asmara terkekeh pelan, ada nada malu di suaranya.
“Kamu masih aja bisa bikin aku tersipu, Nat. Tapi rasanya sekarang aku udah jauh banget dari versi diriku yang dulu.”
“Enggak kok, kamu cuma capek. Semua orang punya masa kayak gitu. Tapi kamu tetap Asmara yang aku kenal — perempuan yang kuat, sopan, dan cantiknya... nggak pernah biasa.”
Asmara terdiam. Hati yang tadi penuh luka kini terasa sedikit hangat. Ia membiarkan Natasha mulai bekerja — membersihkan wajahnya dengan lembut, memijat pelipisnya, lalu mengoleskan masker beraroma mawar.
Gerakan Natasha begitu tenang, seperti sahabat yang tahu bagaimana cara menenangkan jiwa yang lelah, bukan hanya merawat kulit.
Setelah perawatan wajah selesai, Natasha melanjutkan ke rambut, memijat kulit kepala Asmara dengan minyak esensial wangi lavender.
Asmara memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan lembut itu.
“Aku hampir lupa rasanya dirawat kayak gini... kamu emang seseorang yang benar-benar sayang sama aku, Nat.” bisik Asmara lirih.
Natasha tersenyum lembut
“Yup, kamu betul, Kamu masih punya aku, Mara. Kamu cuma terlalu sibuk nyembuhin luka, sampai lupa kalau ada orang-orang yang masih sayang sama kamu.”
Asmara menghela napas panjang, dan untuk pertama kalinya sejak gosip itu menyebar, matanya tak lagi terlihat murung.
Setelah perawatan wajah, rambut, dan tubuh selesai, Natasha menatap hasilnya dengan puas.
Kulit Asmara tampak segar, lembap, dan bercahaya — seolah semua beban di pundaknya ikut terangkat.
Natasha tersenyum puas.
“Lihat tuh! Ini baru Asmara yang aku kenal. Cantik, berkelas, tapi tetap hangat.”
Asmara berdiri di depan cermin besar. Wajahnya bersih, matanya bersinar lembut.
Ia tersenyum kecil pada bayangannya sendiri.
“Rasanya... aku kayak punya semangat baru.”
“Dan kamu pantas ngerasa begitu."
...✈️...
...✈️...
...✈️...
^^^Bersambung^^^
mantan kekasihnya yg masih Ter obsesi sama Asmara