 
                            Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anomali yang tak terbaca
Jika Doni adalah badak yang mengamuk, maka Sari adalah seekor ular beludak yang sedang mengamati. Dia tidak memiliki massa otot yang mengintimidasi seperti Doni. Tubuhnya ramping dan lentur, tersembunyi di dalam kaus dan celana olahraga yang sama. Namun, saat dia melangkah maju ke tengah matras, seluruh atmosfer di ruangan berubah. Ketegangan kasar yang diciptakan oleh pertarungan sebelumnya menguap, digantikan oleh sesuatu yang lebih halus, lebih dingin, dan jauh lebih berbahaya.
Dia tidak melakukan pemanasan. Tidak meretakkan buku-buku jarinya atau memutar lehernya. Dia hanya berdiri di sana, sekitar lima meter di depanku, dengan postur yang rileks namun sangat siap. Kakinya sedikit ditekuk, tangannya tergantung santai di sisinya. Dia tampak seperti seorang penari yang menunggu musik dimulai. Tapi matanya... matanya adalah mata seorang predator. Tajam, fokus, dan tidak berkedip. Mata yang tidak hanya melihat, tetapi memindai, menganalisis, dan membongkar.
Aku tahu pertarungan ini tidak akan dimenangkan dengan kekuatan fisik. Menggunakan kekuatan untuk melawannya akan seperti mencoba memadamkan api dengan minyak tanah. Setiap gerakan besar yang kulakukan, setiap pengerahan tenaga yang kentara, akan menjadi data berharga baginya dan, yang lebih penting, bagi Pak Tirtayasa yang menonton dari pinggir. Aku harus melawannya dengan permainannya sendiri. Permainan presisi, kontrol, dan disinformasi.
"Sari memiliki bakat yang unik," suara Pak Tirtayasa memecah keheningan, nadanya penuh dengan kebanggaan seorang kolektor yang sedang memamerkan barang paling langkanya. "Indranya—penglihatan, pendengaran, bahkan perasa—diperkuat hingga ke tingkat superlatif. Dia bisa mendengar detak jantung seseorang dari seberang ruangan. Dia bisa melihat kontraksi otot terkecil sebelum sebuah gerakan dilakukan. Dia adalah analis tempur berjalan. Tugasmu, Bima, cukup sederhana: sentuh bahunya."
Sebuah ujian, bukan pertarungan. Jauh lebih licik. Ini memaksaku untuk menjadi agresor, untuk bergerak, untuk menunjukkan kemampuanku.
"Dan tugasmu, Sari," lanjut Pak Tirtayasa, "adalah memastikan itu tidak terjadi."
Sari memberiku senyum tipis yang tidak ramah. "Siap, Pak."
Aku menarik napas dalam-dalam, bukan karena gugup, tetapi untuk memulai sebuah proses internal yang telah menjadi kebiasaan selama berabad-abad. Aku adalah dewa yang terperangkap dalam sangkar fana. Tubuh manusia ini, dengan segala keterbatasannya, adalah sebuah mesin biologis yang berisik. Jantungnya berdetak, paru-parunya memompa, darahnya mengalir, dan ototnya mengirimkan sinyal-sinyal listrik yang tak terhitung jumlahnya. Bagi Sari, semua itu adalah sebuah buku yang terbuka.
Jadi, aku harus menulis ulang buku itu.
Aku mulai dengan detak jantungku. Aku memerintahkannya untuk melambat, dari ritme waspada sekitar 80 detak per menit menjadi ritme istirahat total, 50 detak per menit. Aku merasakan jantungku mematuhi, memompa darah dengan lebih lambat dan lebih efisien. Kemudian, pernapasanku. Aku mengubahnya dari tarikan napas pendek dan waspada menjadi napas yang dalam dan nyaris tak terdengar, seperti seorang biksu dalam meditasi yang dalam. Terakhir, otot-ototku. Aku secara sadar mengendurkan setiap serat otot yang tidak diperlukan untuk berdiri tegak, membiarkannya lemas, menghapus semua 'ketegangan antisipatif' yang biasanya mendahului sebuah gerakan.
Di mata orang biasa, aku hanya berdiri diam. Tetapi bagi Sari, aku pasti baru saja menghilang dari radarnya. Simfoni sinyal biologis yang tadinya ia baca dariku tiba-tiba menjadi sunyi senyap.
Aku melihatnya. Sebuah kerutan tipis muncul di antara alisnya, sebuah disonansi antara apa yang matanya lihat—aku berdiri di depannya—dan apa yang indranya katakan—bahwa aku nyaris tidak hidup. Senyumnya goyah.
"Boleh mulai kapan saja, Bima," kata Pak Tirtayasa.
Aku tidak memberinya peringatan. Aku bergerak.
Bukan dengan ledakan kecepatan, bukan dengan terjangan. Gerakanku mengalir, seperti air. Aku mengambil satu langkah maju, lalu langkah kedua, mendekatinya dengan kecepatan berjalan biasa. Aku sengaja membuat gerakanku besar dan jelas, tetapi tubuhku tetap dalam kondisi 'senyap'. Tidak ada percepatan detak jantung, tidak ada tarikan napas yang tajam.
Sari bereaksi secara naluriah. Saat aku masuk dalam jangkauan serangnya, dia melesat maju. Gerakannya secepat kilat dan sangat presisi. Sebuah tendangan samping rendah mengincar pergelangan kakiku, dirancang untuk membuatku kehilangan keseimbangan. Aku melihatnya datang bukan hanya dengan mataku, tetapi dengan merasakan pergeseran udara di sekitarnya. Aku mengangkat kakiku sepersekian detik sebelum tendangannya tiba, membiarkannya lewat di bawah telapak kakiku.
Dia tidak berhenti. Momentum dari tendangan yang meleset itu digunakannya untuk berputar, mengubahnya menjadi sebuah serangan sikut yang mengarah ke rusukku. Aku tidak memblokirnya. Aku hanya menggeser tubuh bagian atasku sedikit ke belakang. Ujung sikutnya hanya berjarak satu sentimeter dari kausku.
Sekarang giliranku. Saat dia masih berada dalam posisi menyerang, tanganku bergerak, mengincar bahunya.
Di sinilah kemampuannya yang luar biasa benar-benar terlihat. Dia melihatnya. Bukan gerakanku, tetapi niat di balik gerakanku. Dia pasti melihat kontraksi otot terkecil di bahu dan lenganku. Sebelum tanganku mencapai setengah jalan, dia sudah menarik diri, melompat mundur dua langkah, keluar dari jangkauan.
Kami kembali ke posisi awal.
Adhitama dan yang lain menonton dengan napas tertahan. Pertarungan ini tidak memiliki dentuman keras seperti saat melawan Doni, tetapi intensitasnya sepuluh kali lipat. Ini adalah permainan catur berkecepatan tinggi.
Sari menatapku dengan tatapan baru. Rasa penasarannya yang dingin kini bercampur dengan sedikit kebingungan dan... kewaspadaan. Aku adalah sebuah anomali yang tidak bisa dia proses.
"Jantungmu..." bisiknya, cukup pelan sehingga hanya aku yang bisa mendengarnya berkat pendengaran dewaku. "...kenapa tidak berdetak lebih cepat?"
Aku tidak menjawab. Aku hanya memberinya senyum tipis, membalikkan senyumnya yang tadi.
Aku menyerang lagi. Kali ini, aku mengubah taktik. Aku bergerak dengan rentetan serangan tipuan. Sebuah jab kiri pura-pura, diikuti oleh gerakan kaki yang mengisyaratkan tendangan, lalu sebuah gerakan bahu yang seolah-olah akan melakukan lemparan. Semua itu hanyalah kebisingan, dirancang untuk membanjiri indranya dengan data palsu. Sementara itu, tubuhku tetap 'senyap'.
Dia membaca semuanya. Dia menghindari jab, bersiap menangkis tendangan, dan menggeser berat badannya untuk melawan lemparan. Dia merespons setiap tipuan dengan sempurna. Tapi karena terlalu fokus membaca gerakan-gerakan besar itu, dia melewatkan gerakan yang sesungguhnya. Gerakan terkecil.
Saat dia sibuk menghindari 'serangan' tangan kiriku, tangan kananku, yang sedari tadi tergantung lemas di sisiku, bergerak naik dengan perlahan, nyaris tanpa kontraksi otot. Bukan sebuah pukulan, melainkan gerakan mengelus.
Sudah terlambat saat dia menyadarinya. Jari-jariku hanya berjarak beberapa sentimeter dari bahunya.
Tetapi dia cerdas. Dia tidak mencoba menghindar. Sebagai gantinya, dia melakukan sesuatu yang tidak terduga. Dia menjatuhkan dirinya ke lantai, berguling ke belakang, dan dalam satu gerakan yang mengalir, dia menyapu kakiku dari bawah.
Aku tidak menyangka itu. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh ke belakang.
Dia langsung bangkit dan melompat ke atasku, lututnya menekan dadaku, dan telapak tangannya yang terbuka berhenti tepat di depan leherku. Sebuah kuncian yang sempurna.
Aku kalah. Atau begitulah kelihatannya.
"Cukup!" seru Pak Tirtayasa.
Sari tidak langsung bangkit. Dia tetap di posisinya, menatapku dari atas. Napasnya sedikit terengah-engah. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang cepat, sekitar 130 detak per menit. Dia merasakan kemenangan, tetapi matanya menunjukkan kebingungan.
"Kenapa kamu tidak melawan?" tanyanya dengan suara pelan. "Saat aku menyapu kakimu. Tidak ada perlawanan sama sekali. Kamu hanya... jatuh."
Aku menatap matanya. "Karena tujuannya bukan untuk menang," jawabku. "Tujuannya adalah untuk menyentuh bahumu."
Aku mengangkat tangan kananku. Di antara ibu jari dan telunjukku, terjepit sehelai benang hitam kecil. Benang yang terlepas dari jahitan di bahu kaus olahraganya. Aku pasti telah mengambilnya saat tanganku nyaris menyentuh bahunya, tepat sebelum dia menjatuhkan diri.
Ekspresinya berubah dari kemenangan menjadi syok total. Dia memeriksa bahu kausnya dan menemukan jahitan yang sedikit longgar.
Dia kalah, dan dia bahkan tidak menyadarinya.
Perlahan, dia bangkit dari atasku. Seluruh ruangan sunyi. Aku berdiri, menepuk-nepuk debu imajiner dari seragamku.
Pak Tirtayasa bertepuk tangan. Bukan tepukan antusias, melainkan tepukan yang pelan, penuh perhitungan, dan dingin.
"Brilian," katanya, berjalan mendekati kami. "Benar-benar brilian. Kamu tidak hanya mengalahkan kemampuannya, Bima. Kamu menggunakannya untuk melawan dirinya sendiri. Kamu memberinya begitu banyak data untuk dianalisis sehingga dia melewatkan detail terkecil."
Dia menatapku seolah aku adalah sebuah teka-teki yang paling rumit dan menarik yang pernah ia temukan. "Kamu bukan hanya kuat. Kamu bukan hanya efisien. Kamu... adalah seorang ahli taktik yang terlahir alami."
Dia kemudian menoleh ke seluruh kelompok. "Lihat dan belajarlah. Ini adalah contoh sempurna bagaimana kecerdasan bisa mengalahkan kekuatan mentah. Pelajaran untuk hari ini selesai. Kalian boleh bubar."
Adhitama menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Bukan lagi kebencian murni, tetapi sesuatu yang lebih kompleks. Rasa hormat yang dipaksakan, bercampur dengan ketakutan. Doni dan Raka hanya menatap lantai. Aris dan Laras menatapku dengan kekaguman.
Sari tidak menatapku sama sekali. Dia hanya berjalan ke sudut ruangan, mengambil tasnya, dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Untuk seorang analis, tidak ada yang lebih buruk daripada menemukan anomali yang tidak bisa dia jelaskan. Dan hari ini, anomali itu adalah aku.
Saat aku berjalan menuju pintu, Pak Tirtayasa memanggilku.
"Bima, sebentar."
Aku berhenti dan berbalik.
"Aku semakin yakin telah membuat keputusan yang tepat dengan merekrutmu," katanya. "Tapi ingat ini baik-baik. Di tim ini, tidak ada rahasia. Cepat atau lambat, semua kartu harus diletakkan di atas meja. Sampai jumpa besok."
Itu adalah sebuah pujian yang terselubung dalam ancaman.
Aku mengangguk dan berjalan keluar dari dojo itu, kembali ke keheningan koridor sekolah yang kosong. Aku telah memenangkan dua pertarungan. Aku telah membuktikan nilaiku.
Dan aku baru saja menggali lubangku sendiri jauh lebih dalam.