Nadira tak pernah menyangka bekerja di perusahaan besar justru mempertemukannya kembali dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya tujuh tahun lalu.
Ardan, kini seorang CEO dingin yang disegani. Pernikahan muda mereka dulu kandas karena kesalahpahaman, dan perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Kini, takdir mempertemukan keduanya sebagai Bos dan Sekretaris. Dengan dinginnya sikap Ardan, mampukah kembali menyatukan hati mereka.
Ataukah cinta lama itu benar-benar harus terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 9.
Malam itu, di kediaman mewah keluarga, Nyonya Rarasati duduk di kamar luasnya. Lampu temaram memantulkan bayangan lembut di wajah anggunnya. Tatapannya kosong, seakan tengah memikirkan sesuatu yang berat.
Ponselnya bergetar, panggilan dari Wirya.
“Nyonya, saya masih di rumah sakit dan sudah bicara dengan Nona Nadira.”
“Bagaimana kondisi Nadira?”
“Keadaannya lemah, Nyonya. Dokter mendiagnosisnya kanker lambung stadium awal. Ia tampak sangat menderita... dan yang lebih menyedihkan, ia tidak ingin menyusahkan siapa pun.”
Nyonya Rarasati menarik napas panjang, jantungnya terasa berdesir. “Lalu, bagaimana dengan Ardan? Apa yang dia lakukan?”
Wirya terdiam sejenak sebelum menjawab, “Tuan Ardan... keluar dari ruangan bersama Nona Claudia. Saya tidak melihat tanda-tanda ia memberi penghiburan atau perhatian untuk Nona Nadira.”
Hening panjang menyelimuti, Nyonya Rarasati menutup mata sejenak menahan perih di dada.
Putraku... sampai sejauh itu kah hatimu membatu?
“Nyonya...” Wirya melanjutkan dengan hati-hati, “Saya percaya Nona Nadira membutuhkan seseorang di sisinya. Bukan hanya sebagai pasien, tapi sebagai seorang wanita yang tengah berjuang dengan penyakitnya.“
Nyonya Rarasati membuka mata, tatapannya tajam tapi juga penuh rasa iba. “Aku sudah menduganya. Ardan terlalu keras, terlalu buta oleh kebencian masa lalu. Jika aku membiarkannya, mungkin dia akan kehilangan sesuatu yang berharga baginya.”
Akhirnya ia membuat keputusan.
“Besok, aku sendiri yang akan pergi menjenguk Nadira. Aku ingin melihatnya, aku ingin memastikan dia mendapat perhatian yang layak.”
Wirya merasa lega mendengar keputusan itu. “Baik, Nyonya."
Setelah panggilan mati, Nyonya Rarasati melangkah ke arah jendela menatap langit malam yang sunyi. Suara hatinya bergema lirih, namun penuh tekad.
“Jika Ardan menolak melembutkan hatinya... maka biarlah aku yang akan menjaga wanita itu.”
.
.
.
Di sebuah restoran hotel berbintang, Ardan duduk berhadapan dengan Claudia. Meja dipenuhi cahaya lilin yang hangat, seakan mengiringi malam romantis. Namun wajah Ardan tetap dingin, tatapannya kosong meski Claudia terus berbicara dengan suara riang.
“Ardan, aku senang sekali akhirnya bisa makan malam berdua begini lagi,” ucap Claudia sambil tersenyum manis, jari-jarinya mencoba menyentuh tangan pria itu di atas meja.
Ardan hanya menggeser sendoknya, menghindar halus tanpa kata. “Makanlah, kau tadi bilang lapar.”
Claudia terkekeh, berusaha menutupi rasa kikuk. “Kamu ini... selalu dingin. Tapi entah kenapa, aku suka. Mungkin karena itu aku tak pernah bisa menjauh darimu.”
Ardan menghela napas pelan, lalu meraih gelas anggur dan meneguknya. Pandangannya sempat melayang jauh, bukan pada Claudia, melainkan pada wajah pucat Nadira yang tadi ia tinggalkan. Ada sesuatu yang bergejolak di dadanya, meski ia keras kepala menolaknya.
Claudia memperhatikan, lalu mengerutkan dahi. “Kamu melamun? Jangan bilang... kamu masih memikirkan sekretarismu itu?” Nada suaranya terdengar ringan, tapi matanya menyimpan rasa curiga.
Ardan menoleh cepat, tatapannya tajam. “Kau terlalu banyak bertanya, Claudia. Aku sudah bilang, dia hanya bawahanku.”
“Tapi... cara kamu tadi mengangkatnya ke mobil, aku dengar dari staf hotel. Semua orang membicarakanmu.” Claudia menyunggingkan senyum tipis, seakan ingin memancing. “Kamu khawatir padanya?”
Ardan meletakkan gelasnya dengan sedikit hentakan. “Aku hanya tidak ingin reputasiku tercoreng! Sekretaris yang sakit di bawah pengawasanku, hanya akan menimbulkan banyak omongan. Itu saja!”
Namun, di balik nada dinginnya, dadanya terasa sesak. Kata-kata Nadira sebelum ia tinggalkan tadi masih terngiang.
“Kesehatan saya... urusan saya. Anda tidak perlu peduli.”
Claudia tersenyum puas, ia lalu menggenggam tangan Ardan erat-erat. “Kalau begitu, lupakan apapun malam ini. Aku ingin, kamu hanya melihatku...”
Ardan menatap wanita itu sekilas. Senyum Claudia memang manis, tetapi entah mengapa... malam itu justru terasa hampa.
Lampu kristal di restoran berkilauan, denting piano mengalun lembut. Claudia tampak bersinar dalam gaun merah anggunnya, sementara Ardan tetap dingin dengan jas hitam rapi. Dari luar, mereka tampak seperti pasangan sempurna yang sedang menikmati malam.
Claudia tertawa kecil sambil memainkan gelas anggurnya. “Kamu tahu, semua mata tertuju pada kita, aku yakin banyak yang iri...”
Ardan hanya menatap piring steak di depannya, tak menyentuh makanan itu sama sekali. Rasa laparnya, lenyap sejak tadi.
Claudia lalu bersandar sedikit ke arahnya, membisik manja, “Setelah ini, kita ke lounge? Aku ingin dengar kamu main piano seperti dulu, saat pertama kali aku melihatmu bekerja di restoran.”
Ardan tidak menjawab, ia malah terpejam dan dalam benaknya, bayangan wajah pucat Nadira kembali hadir. Napas tersengal wanita itu, tatapan mata Nadira yang berusaha tetap tegar. Sesuatu di dada Ardan terasa tertarik, tapi ia buru-buru menepis pikiran itu dengan meneguk anggur lagi.
Claudia menggenggam tangannya di atas meja. “Ardan...” suaranya lembut, namun dalam hatinya ada ketidaktenangan, “Aku ingin kamu berhenti memikirkan orang lain saat bersamaku.”
Ardan membuka matanya perlahan, menatap Claudia tajam. “Jangan terlalu banyak menuntut.”
Kalimat itu membuat Claudia terdiam, senyum tipisnya memudar meski ia tetap berusaha menahan diri agar tidak terlihat kecewa.
Sementara itu, di rumah sakit…
Nadira terbaring dengan infus menempel di tangannya. Wajahnya pucat, pelipisnya masih berkeringat dingin. Nadira menutup matanya, air matanya menggenang karena Ardan tidak kembali malam itu.
Keesokan paginya…
Mobil mewah berhenti di depan rumah sakit. Nyonya Rarasati turun dengan anggun, dibalut gaunnya sederhana. Di belakangnya, dua asisten mengikuti.
Di ruang rawat, Wirya sudah menunggu. “Nyonya...”
Wanita itu melangkah masuk, pandangannya langsung tertuju pada Nadira yang masih terlelap.
Oke! Mari kita mulai permainannya!
*
*
*
Ohooo... apa yang mau dilakukan Nyonya Rarasati?
Dalam keadaan terdesak pun dia masih bersikap sombong dan mencoba memprovokasi Ardan...😒