NovelToon NovelToon
Manuver Cinta

Manuver Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Balas Dendam / CEO / Dark Romance
Popularitas:481
Nilai: 5
Nama Author: _Luvv

Pernikahan tanpa Cinta?

Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?

Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9

“Papa sudah tidak tahu lagi harus bagaimana, Diandra,” desah Harris, matanya tampak lelah. Pikiran dan perasaannya masih kacau sejak kedatangan Lingga beberapa hari lalu.

Diandra mengepalkan tangannya. Nafasnya memburu, berusaha menahan gejolak emosi yang hampir meluap. Hidupnya yang semula tenang kini berantakan hanya karena satu nama: Lingga.

“Sekarang kita harus bagaimana, Diandra?” tanya Harris, suaranya terdengar putus asa. Sorot matanya memohon, seolah berharap putrinya punya jalan keluar yang lebih baik dari kekacauan ini.

Diandra terdiam. Ia menunduk, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Napasnya panjang, berat, sebelum akhirnya ia mengangkat wajah dan tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip garis datar keteguhan.

“Diandra akan menikah dengan dia. Tapi… dengan syarat.”

Semua orang di ruangan itu sontak menoleh padanya. Keheningan berubah jadi ledakan keterkejutan.

“Apa? Menikah?” seru Harris, terperanjat. “Jangan gila, Diandra!”

“Dek…” Sandra, sang kakak, ikut angkat suara, suaranya lembut namun penuh peringatan. “Kamu nggak boleh gegabah. Ini bukan hal sepele.”

Diandra menoleh pada mereka. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tajam, penuh perhitungan.

“Justru karena ini hal besar, aku nggak akan menjalaninya tanpa strategi. Kalau dia bisa menggunakan pernikahan ini untuk kepentingannya, maka aku juga bisa. Aku akan buat kesepakatan yang jelas. Hitam di atas putih.”

Harris memijit pelipisnya, mencoba mencerna maksud putrinya. “Apa rencanamu, Diandra?”

Diandra berdiri. Ia mengambil tasnya, lalu berdiri tegak. Bahunya ditarik ke belakang, dagunya terangkat.

“Hari ini Diandra akan temui dia. Dengarkan apa yang dia mau. Lalu, Diandra akan ajukan syarat-syarat. Kalau dia setuju, nanti Diandra akan beri tahu Papa.”

Langkah Diandra mantap saat keluar dari ruangan, meninggalkan keheningan yang menggantung berat di udara. Keputusan sudah dibuat, dan tidak akan ada jalan untuk mundur lagi.

____

Kafe sore ini terlihat sedikit sepi. Hanya ada alunan musik instrumental dan aroma kopi yang menggantung di udara. Diandra duduk di pojok ruangan, mengenakan kemeja hitam dan blazer sederhana. Wajahnya tenang, tapi jemarinya menggenggam cangkir dengan erat.

Hingga pintu terbuka. Terlihat tubuh tegap seorang pria  mengenakan kemeja putih, lengan tergulung sampai siku. Tatapannya tajam namun datar, seperti biasa dingin dan sulit ditebak. Ia langsung menuju mejanya, duduk tanpa basa-basi.

Tanpa bicara apapun, Diandra menyodorkan satu lembar kertas yang sudah ia siapkan. Di dalam kertas itu terdapat beberapa syarat dan peraturan jika mereka akan menikah nanti.

Lingga menatap kertas itu sebentar, lalu menaruhnya di meja. Wajahnya tetap tak terbaca, seperti topeng yang sudah terlatih bertahun-tahun.

“Tidak buruk,” gumam Lingga pelan, meletakkan kertas di atas meja. “Tapi sayangnya... saya bukan tipe pria yang menjalani pernikahan setengah hati.”

Alis Diandra sedikit terangkat. “Maksud lo apa?”

Lingga menyilangkan tangan di dada, lalu mencondongkan tubuh ke depan, menatap Diandra lurus. “Kalau kita menikah, maka semuanya akan berjalan seperti pernikahan pada umumnya. Kita akan tinggal serumah. Hadir di acara keluarga bersama. Tidur di atas ranjang yang sama. Sarapan di meja yang sama." Lingga menahan jeda, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan, hampir seperti tantangan, “Bukan seperti pernikahan palsu yang kamu rancang, Diandra.”

Diandra menahan detak jantungnya yang tiba-tiba naik. Tapi ia tetap mencoba tenang, walaupun rencananya sudah terbaca oleh pria di depannya ini.

“Kalau lo nggak setuju,” ucapnya dingin, “maka pernikahan ini batal.”

Lingga terkekeh pelan. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi dengan santai, tapi sorot matanya tetap tajam. “Kamu pikir kamu bisa negosiasi dengan saya, Diandra?”

Tatapan mereka bersilang. Tak ada yang menunduk. Dua kutub yang sama-sama keras kepala, sama-sama menyimpan agenda tersembunyi.

Diandra meneguk kopinya pelan, lalu meletakkan cangkirnya kembali ke meja.

“Sebenarnya... apa sih yang lo mau?”

Lingga menyunggingkan senyum samar. Tenang. Terlalu tenang. “Sejak awal, saya ingin pernikahan ini berjalan sewajarnya,” ujarnya. “Saya tertarik dengan kamu. Bukan karena nama keluargamu. Tapi karena kamu.”

Senyum Diandra ikut terbit. Bukan senyum kagum atau luluh, melainkan senyum penuh teka-teki.

'Biarkan dia berpikir gue mulai lunak. Biarkan dia pikir dia bisa mengendalikan semuanya. Tapi pada akhirnya… gue yang akan pegang kendali.' gumam Diandra dalam hati.

Sementara di seberangnya, Lingga tetap tak bergerak. Wajahnya netral, seolah kalimat tadi tak lebih dari basa-basi. Tapi dalam diam, pikirannya jauh lebih aktif.

'Kamu memang Menarik, Diandra. Kita lihat berapa lama kamu bisa bertahan dalam permainan ini, Diandra. Tapi sebelum kamu sempat menjatuhkan saya… saya yang akan lebih dulu membongkar semua rencanamu.'

“Jadi, bagaimana?” tanya Lingga akhirnya, nada suaranya tenang namun menantang.

Diandra diam sejenak sebelum menjawab, lalu bersandar ke kursi. “Satu syarat terakhir,” ucapnya. “Lo harus sembunyikan identitas asli gue dari siapa pun. Dan jangan ganggu kebebasan gue. Selama itu lo lakukan… gue nggak masalah nikah sama lo.”

Lingga menatapnya lama. Tatapannya begitu dalam, seolah mencoba membaca isi kepala Diandra. Tapi yang ia tunjukkan hanya senyum tipis.

“Baik,” katanya pelan. “Tapi ingat satu hal, Diandra…”

Ia mendekat sedikit, suaranya rendah namun jelas.

“Pernikahan ini bukan pernikahan kontrak seperti yang kamu bayangkan. Ini... pernikahan sungguhan.”

Diandra tahu, menjalani pernikahan dengan pria dominan seperti Lingga bukanlah perkara mudah. Pria itu terlalu tenang, terlalu percaya diri dan lebih menyebalkan daripada siapa pun yang pernah ia temui. Tapi sayangnya, Diandra tidak punya banyak pilihan.

Namun satu hal pasti, pasrah bukan bagian dari kamus hidupnya. Ia akan menjalani ini, tapi dengan cara dan batas yang ia tentukan sendiri.

“Oke,” ucap Diandra akhirnya, suaranya datar namun mantap. “Tapi gue pengen pernikahan ini diadakan secara sederhana. Tanpa pesta. Tanpa publikasi. Cukup keluarga inti saja.”

Lingga sempat mengerjap. Bukan karena syarat itu berat, tapi karena jarang ada yang berani mengajukannya di hadapannya. Terlebih jarang ada yang menolak sorotan atau privilese yang datang bersamaan dengan nama besarnya.

“Tanpa pesta?” ulang Lingga, suaranya terdengar heran.

“Gue nggak butuh tepuk tangan orang, dan gue nggak mau berpura-pura bahagia di depan ratusan tamu yang nggak gue kenal,” jawab Diandra cepat, matanya menatap lurus tanpa ragu. “Lagipula, buat apa menunjukkan sesuatu yang bahkan belum tentu nyata?”

Senyum kecil muncul di sudut bibir Lingga. Kali ini bukan senyum mengejek, melainkan senyum yang samar-samar menunjukkan rasa penasaran.

Dia berbeda, pikirnya dalam diam.

“Kamu yakin?” tanyanya akhirnya, menahan nada tantangan di balik suaranya. “Menikah dengan saya kamu memiliki akses ke banyak hal,"

“Justru itu masalahnya,” balas Diandra tenang. “Gue nggak tertarik kelihatan sempurna, apalagi kalau memanfaatkan nama lo."

Keduanya kembali saling menatap. Diam. Tapi dalam diam itu, masing-masing tengah menyusun strategi.

Diandra berpikir,  Semakin sedikit yang tahu tentang pernikahan ini, semakin besar ruang geraknya. Dan ua bisa tetap hidup dengan caranya sendiri.

Sementara Lingga diam-diam mengamati,  wanmmm menarik. Semakin berusaha menjaga jarak, semakin aku ingin tahu, apa sebenarnya yang sedang dia lindungi.

Dan di titik ini, mereka berdua diam-diam tahu:

Pernikahan ini bukan tentang cinta. Ini tentang kontrol. Tentang siapa yang bisa bermain lebih cerdas... dan bertahan lebih lama.

"Oke saya setuju,"

1
Erika Solis
Duh, sakit banget hatiku. Terharu banget sama author!
Isolde
🙌 Suka banget sama buku ini, kayaknya bakal aku baca lagi deh.
Madison UwU
Gak sabar lanjut baca!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!