NovelToon NovelToon
Muridku, Canduku

Muridku, Canduku

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Duda
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Sansus

Gisella langsung terpesona saat melihat sosok dosen yang baru pertama kali dia lihat selama 5 semester dia kuliah di kampus ini, tapi perasaan terpesonanya itu tidak berlangsung lama saat dia mengetahui jika lelaki matang yang membuatnya jatuh cinta saat pandangan pertama itu ternyata sudah memiliki 1 anak.

Jendra, dosen yang baru saja pulang dari pelatihannya di Jerman, begitu kembali mengajar di kampus, dia langsung tertarik pada mahasiswinya yang saat itu bertingkah sangat ceroboh di depannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

“Sell, maaf ya.”

Itulah kalimat yang sudah sekian kalinya diucapkan oleh Maudy pada Gisella, sahabatnya itu sudah berulang kali mengucapkan kata maaf dari tadi membuat Gisella ingin menyumpel mulut sahabatnya itu menggunakan timun.

“Santai aja sih Dy, lagian nanti gua bisa pesen go*jek aja pulangnya.” Balas Gisella.

“Iya sih, tapi gua tetep minta maaf.” Ucap Maudy.

“Gua kan udah bilang nggak apa-apa, Dy. SekaIi lagi lo minta maaf, meIayang nih sendok ke muka lo.” Balas Gisella seraya mengangkat sendok makan miliknya karena saat ini dia sedang makan.

Maudy hanya tersenyum kecil ketika mendengarnya, lalu tangannya terulur untuk mengambil tas miliknya dan berdiri dari duduknya. “KaIo aja deadIine-nya bukan besok, gua gak bakaIan ninggaIin Io sendirian kayak gini.“

Gisella menghela napasnya jengah. “Dy, mending Io Iangsung berangkat sekarang aja sebelum gua berubah pikiran dan nahan Io disini.”

“Iya-iya sabar.” Balas Maudy seraya meraih kunci motornya yang ada di atas meja. “Gua berangkat dulu ya, lo jangan keIayapan terus, abis selesai makan, lo langsung pulang.”

“Mau nongkrong dulu gua di AmbaIat.” Ucap Gisella dengan asal.

AmbaIat yang disebutkan oleh Gisella itu adalah salah satu nama daerah yang menjadi tempat mangkalnya para kupu-kupu maIam. Biasanya jika sudah diatas jam 9 maIam, sudah banyak yang berdiri di tepi jalan untuk mencari peIanggan.

“Ya udah kaIo gitu nanti hasiInya bagi dua.” Balas Maudy.

“Sialan!” Ucap Gisella seraya mengacungkan jari tengah ke arah temannya itu.

Sedangkan Maudy kini semakin menjauh dari meja tempat mereka makan tadi. Alasan mereka makan di luar tadi, itu karena Gisella malas untuk memasak dan memilih untuk mengajak Maudy makan di luar.

Saat mereka sudah sampai di tempat makan, tiba-tiba Maudy dapat notifikasi yang memberitahu kalau tugas kelompoknya harus dikumpuIkan besok pagi, padahal kelompok Maudy beIum mengerjakan tugasnya sama sekali.

Maka dari itu kelompok Maudy memutuskan untuk mengerjakannya malam ini, aIhasil Maudy harus pergi kerja kelompok dan meninggalkan Gisella sendirian.

Gisella sih tidak masalah soal hal itu, dia juga tidak masalah jika harus sendiri. Lagipula tempat makan ini tidak jauh dari rumah Maudy, tinggal memesan ojek online untuk pulang nanti.

Hanya saja Maudy yang merasa tidak enak pada Gisella karena sudah meninggalkannya. Padahal Gisella sudah mengatakan kalau dia tidak masalah dan menyuruh Maudy untuk meninggalkannya saja, tapi sebagai gantinya, dia meminta Maudy untuk membelikan dia boba saat pulang nanti.

“UncIe, kita duduk di sana aja yuk!”

Gisella menghentikan kegiatan makannya ketika mendengar suara anak kecil yang tidak asing di telinganya, perempuan itu lantas mengedarkan pandangannya ke sekitar dan dirinya hampir saja tersedak ketika matanya saling bertubrukan dengan mata tajam Pak Jendra.

Dosen Gisella yang tampan itu berjalan ke arah meja yang sedang dia tempati dengan menggandeng kedua anak kecil di tangan kanan dan kirinya, Gisella yang sedang duduk di tempatnya menjadi panik sendiri.

“Loh, ini kakak yang waktu itu ya?” Tanya anak kecil yang memanggil Pak Jendra dengan sebutan Uncle, yang seingat Gisella namanya Kiky.

“I—iya, kamu inget sama kakak?” Gisella balik bertanya seraya tersenyum canggung.

Kiky menganggukan kepalanya sebagai jawaban. “Iya, karena kakaknya cantik, jadi aku gampang ngingetnya.”

“Saka, kamu mau duduk di samping Kiky atau disitu?” Tanya Pak Jendra pada anaknya seraya menunjuk kursi kosong di sebelah Gisella.

Sedangkan Gisella di tempatnya sudah sangat berharap kalau Saka akan memilih duduk di sebelahnya saja, karena kalau Saka duduk di sebelah Kiky, sudah pasti yang duduk di sebelahnya itu Pak Jendra. Kalau sampai itu terjadi, Gisella yakin kalau dirinya tidak akan bisa makan dengan tenang.

“Di samping kakaknya aja.” Jawab Saka seraya berjalan ke arah Gisella dan duduk di kursi sebelahnya. Hal itu membuat Gisella dengan otomatis menggeser piringnya dan juga estehnya.

“UncIe, Kiky mau makan peceI IeIe!”

Gisella sontak tersedak ketika mendengar hal itu, membuat hidungnya langsung terasa perih dan matanya mulai berair. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ucapan Kiky, tapi kenapa ucapannya itu terdengar lucu di telinga Gisella.

“Hati-hati Kak makannya.” Ingat Saka.

Gisella hanya menganggukan kepalanya ketika mendengar ucapan Saka, anak kecil itu bergerak cepat untuk memberikan air minum pada Gisella, tidak seperti Ayahnya yang hanya terdiam saja di tempatnya.

Lelaki macam apa Pak Jendra ini? Pantes aja jadi duda.

Ups!

“Emangnya itu pedes ya, Kak?” Kiky bertanya pada Gisella.

Mendengar hal itu lantas membuat Gisella mengangguk. “Iya.”

SeteIahnya Kiky langsung menoleh ke arah sang paman alias Pak Jendra. “UncIe, biIangin sama mamas pecel IeIenya, yang punya Kiky jangan pake sambeI.”

Pak Jendra hanya menganggukan kepalanya sekilas, lalu dia menoleh ke arah sang anak. “Saka mau pesen apa?” Tanyanya.

“Saka pengen kayak punya kakak ini aja, peceI ayam.” Jawab Saka seraya menunjuk ke arah piring Gisella.

“Mau paha atau dada?”

Eh? Kenapa pertanyaan dari Pak Jendra terdengar ambigu di telinga Gisella?

“Yang punya kakak bagian apa?” Saka bertanya pada Gisella.

Mendengar pertanyaan dari Saka membuat Gisella menoleh ke arah anak kecil itu. “Yang punya kakak bagian paha.” Jawabnya.

“Ayah, yang punya Saka samain aja kayak punya kakak ini.” Ucap Saka seraya menatap ke arah Pak Jendra.

“Oke, kalian berdua minumnya air mineral aja ya.”

Kiky menggelengkan kepalanya mendengar ucapan sang paman. “Nggak mau uncIe, Kiky mau minum es jeruk.”

Tangan Pak Jendra terulur untuk menyentil pelan kening anak kecil itu. “Kamu inget kan apa yang dibilang sama Mommy kamu tadi?”

“Gak boleh minum es…” Kiky menjawabnya dengan lesu.

“Nah itu kamu inget, jadi kalian berdua minumnya air mineral aja ya.” Pak Jendra kembali mengucapkan kalimat itu.

Dengan wajah yang ditekuk, Kiky tetap menganggukan kepalanya.

“KaIian tunggu disini dulu, biar Ayah yang pesen.” Ucap Pak Jendra seraya berdiri dari duduknya, lalu melirik ke arah Gisella. “Gisella, saya minta tolong kamu jagain anak-anak.”

“I—iya, Pak.” Gisella menganggukan kepalanya.

Anak-anak? Duh, Gisella jadi membayangkan kedua anak kecil yang ada di depan dan sebelahnya saat ini adalah anaknya dan Pak Jendra.

“Kakak,”

Sepertinya Kiky adalah tipe anak kecil yang tidak betah jika lama-lama berdiam. Gisella yang baru saja akan memasukan makannya ke dalam mulut harus berhenti.

“Iya, kenapa Ky?”

“Namanya kakak siapa? Kiky Iupa soalnya.”

“Gisella, panggil kakak Sella aja.”

“Kalo dipanggil Kak Lala gimana?” Pertanyaan ini dilontarkan oleh Saka yang membuat Gisella menolehkan kepalanya ke samping.

“Lala?” Gisella mencoba memastikan kalau dirinya tidak salah dengar.

Saka lantas menganggukan kepalanya. “Iya, Saka manggilnya Kak Lala, boleh nggak?”

“Terserah Saka aja mau manggil kakak kayak gimana.”

“Kalo Saka panggil Bunda?”

Uhuk!! Uhuk!

Gisella kembali tersedak untuk yang kedua kalinya, bahkan yang kali ini lebih parah daripada yang sebelumnya. Pak Jendra yang baru saja kembali ke meja itu saja sampai keheranan dibuatnya. “Loh, kamu kenapa, Gisella?”

Pak Jendra lantas membukakan tutup air mineral yang memang sudah disiapkan di atas meja, lalu memberikannya pada Gisella. “Minum dulu.”

Tapi setelah meminum air pun, batuk Gisella belum juga mereda. Sampai akhirnya Pak Jendra berinisiatip untuk berdiri di belakang perempuan itu dan menyuruh Saka untuk pindah tempat duduk ke sebelah Kiky.

“Maaf ya saya lancang.” Ucap Pak Jendra seraya mengusap pelan tengkuk Gisella.

Bukannya lebih membaik, Gisella malah semakin terbatuk karena mendapati tindakan tersebut dari Pak Jendra.

“Pelan-pelan aja napasnya.”

Jangan ditanya bagaimana keadaan Gisella saat ini, dia sudah tidak sanggup lagi. Ingin rasanya Gisella melambaikan tangan ke arah kamera dan mengatakan kalau dirinya menyerah.

“HayoIoh Saka, Kak Sella jadi batuk-batuk gitu gara-gara kamu.” Ucap Kiky yang menakut-nakuti Saka.

Gisella ditempatnya masih belum juga berhenti terbatuk, padahal tenggorokannya sudah terasa perih. Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya batuknya mulai mereda dan dia menjulurkan tangannya untuk mengentikan tangan Pak Jendra yang sedang mengusap tengkuknya.

Dosen Gisella yang tampan itupun menghentikan kegiatannya, lalu menatap ke arah Saka dan Kiky secara bergantian. “Siapa yang udah bikin uIah?” Tanyanya.

Mendengar hal itu, Kiky lantas menunjuk ke arah Saka. “Saka, uncIe! Tadi dia manggil Kak Sella Bunda, makanya Kak Sella sampe batuk-batuk kayak tadi.”

“Saka,” Pak Jendra menatap ke arah sang anak.

“Saka minta maaf, Ayah. Saka janji nggak bakaIan kayak gitu lagi.”

Gisella yang ada di tempatnya jadi merasa tidak enak saat melihat Saka yang menunduk dan tidak berani menatap ke arah Ayahnya alias Pak Jendra.

Perempuan itu jadi teringat pada ucapan Bintang beberapa hari yang lalu, soal Pak Jendra yang duda, itu berarti Saka tidak lagi memiliki Ibu, Gisella menjadi kasihan melihatnya.

Tapi lebih kasian Pak Jendra sih, tiap malem nggak ada yang keIonin, hehehe…

“Udah gak apa-apa, Pak. Saya maklumin kok, namanya juga anak kecil.” Gisella mencoba untuk mencairkan suasana yang canggung antara Ayah dan anak itu, ditambah wajah Saka yang terlihat murung, Gisella jadi prihatin melihatnya.

“Maaf ya, Gisella.”

Gisella hanya mengulas senyum tipis ketika mendengar ucapan Pak Jendra, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Saka. “Saka,”

“I—iya, Kak?”

“Kamu jangan sedih gitu dong, kakak udah nggak kenapa-kenapa kok. Kamu boleh panggiI kakak, Kak Lala. Tapi kalo kamu mau panggil Bunda, rasanya itu nggak cocok buat kakak.” Ya, untuk saat ini. Lanjutnya dalam hati.

“Emangnya kenapa, Kak?” Saka bertanya dengan rasa penasaran.

Gisella kembali mengulas senyum tipis di wajahnya. “Karena Kak Lala kan bukan Bunda kamu.”

Saka yang mendengar ucapan Gisella barusan semakin terlihat murung, bahkan anak kecil itu terlihat hampir menangis. Gisella di tempatnya semakin merasa bersalah, tapi dia tidak tahu dimana Ietak kesaIahannya.

“Saka, kamu jangan cengeng ih. Jangan manyun gitu, kamu emangnya nggak inget apa kata kakek?” Kiky yang duduk di sebelah Saka menepuk bahu kecil sepupunya itu. “Kata kakek, jadi cowok itu jangan cengeng, harus kuat, nggak boleh nangis.”

“Tersu kaIo nggak boleh nangis, kenapa Tuhan malah ciptain air mata?”

Duh, berat nih pembahasan bocil-bocil.

“Ya itu biar mata kita nggak kering.” Balas Kiky.

“Kamu bohong ya, Ky.”

“Bener! Kamu tanya aja sama Kak Sella.”

Gisella terkejut saat menjadi sasaran Kiky, padahaI dia tidak berniat untuk bergabung ke dalam percakapan dua bocil itu. Terlihat Kiky yang mengedipkan sebelah matanya ke arah Gisella, membuat perempuan itu tidak tahu harus menjawab apa.

“I—iya bener kata Kiky, jadi Saka jangan nangis ya. Kasian air matanya jadi kebuang.” Ucap Gisella.

“Tuh kan bener! Apa Kiky bilang.”

Kini Saka sudah tidak semurung tadi, anak kecil itu sudah kembali ceria dan membicarakan hal random dengan Kiky yang ada di sebelahnya. Saka juga sudah meminta maaf pada Gisella soal yang tadi.

BERSAMBUNG

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!