NovelToon NovelToon
Glass Wing

Glass Wing

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Terlarang / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Saudara palsu / Dark Romance
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”

Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.

Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.

Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.

Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.

Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?

Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?



Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

9

Hening menyelimuti ruang sarapan. Sendok di tangan Ara tak bergerak lagi. Butiran nasi yang tersisa di piring tampak lebih dingin daripada ekspresi wajahnya.

“Baik,” katanya akhirnya.

Satu kata itu meluncur pelan dari bibirnya, nyaris seperti napas terakhir dari sesuatu yang seharusnya hidup. Matanya tetap menunduk, tidak menatap Kael atau Elvaro.

“Apa?” Elvaro mendekat, tak yakin ia mendengar benar.

“Aku bilang… baik. Aku akan pacaran dengan Kael.”

Suara itu tetap tenang. Tapi tangan Ara mengepal di bawah meja, kukunya menekan keras telapak tangannya sendiri hingga nyaris berdarah.

Kael bersandar di kursinya, tidak terlihat terkejut, tidak juga senang. Hanya ekspresi netral yang tidak bisa ditebak—seperti biasa.

“Tapi,” lanjut Ara, kini menatap Kael lurus-lurus, “jika kau mencoba sesuatu yang melewati batas, bahkan satu langkah saja… aku tidak akan peduli siapa kau, Kael. Aku akan membuatmu menyesal pernah memintaku melakukan ini.”

Untuk sesaat, ada bayangan senyum yang sangat samar di sudut bibir Kael. Bukan karena senang, bukan karena tertantang. Tapi seperti seseorang yang tahu sejak awal bahwa keputusan ini akan berakhir seperti ini.

“Aku tidak tertarik padamu atau mencoba menyakitimu, Ara,” katanya pelan. “Aku hanya membantu Elvero berdiri di antara kau dan orang-orang yang ingin memilikinya tanpa izinmu.”

“Dan ketika semua ini berakhir…”

**“Kau bebas,” potong Kael, mengangguk. “Aku akan menjadi orang pertama yang menghilang.”

Elvaro menatap keduanya dalam diam. Dalam hatinya, ada sesuatu yang bergetar: entah karena kelegaaan, entah karena kecemasan yang lebih besar baru saja dimulai.

Ara mengangguk pelan, seolah menerima takdir yang tidak ia pilih. Tapi hatinya memberontak, menyimpan bara kecil yang diam-diam menyala.

Kael bangkit dari kursinya tanpa suara. Ia menarik kursinya kembali ke tempat semula, lalu berdiri dengan posisi setengah membelakangi Ara dan Elvero.

“Kita mulai hari ini,” katanya datar. “Aku akan menjemputmu sepulang sekolah. Jangan berjalan sendirian.”

“Kenapa?” Ara menatapnya curiga. “Kau takut aku kabur?”

Kael menoleh sedikit. “Bukan kau yang aku khawatirkan. Tapi Domias.”

Ara menggigit bibirnya. Nama itu membuat punggungnya menegang. Elvero memalingkan wajah, seolah merasakan luka lama yang dibuka lagi. Lalu ia berdiri, dan sebelum pergi, ia sempat berbisik pelan di telinga Ara:

“Kael mungkin dingin, tapi dia tidak berbohong.” Elvero menarik napas. “Aku percaya Dia tidak akan menyakitimu”

Ara hanya menatap kosong.

Ketika mereka keluar dari rumah, pagi Argueda tidak sehangat biasanya. Seolah-olah langit pun ikut menahan napas, menyaksikan permainan baru yang dimulai.

Dan tanpa satu pun dari mereka sadari, dari kejauhan—dari jendela tertutup mobil hitam yang berhenti di seberang sekolah bangsawan Argueda—sepasang mata mengamati mereka. Mata yang mengenali langkah Kael, dan memperhatikan lekat-lekat gadis yang berjalan di sampingnya.

Domias tersenyum tipis.

“Menarik sekali… Kael.”

...****************...

Hari itu, langit Argueda cerah, namun panasnya tak sepanas bisik-bisik yang mulai terdengar saat Kael menarik kursi di meja paling ujung taman makan sekolah dan memberi isyarat halus pada Ara untuk duduk.

“Di sini saja,” katanya pendek, datar, namun cukup keras hingga beberapa pasang telinga di sekitar mereka berhenti mengunyah.

Ara menelan ludah, agak ragu, tapi akhirnya duduk. Ia tahu apa yang sedang Kael lakukan: memastikan semua orang melihat bahwa ia duduk bersamanya. Bahwa ia tidak boleh diganggu.

Bahwa Ara milik Kael—setidaknya untuk saat ini.

Dari kejauhan, beberapa murid mulai berbisik.

“Dia duduk dengan Kael?”

“Bukannya dia murid pindahan dari luar?”

“Apa pacar Kael yang baru?”

Sementara itu, Tania duduk tak jauh bersama Elvero, matanya menajam begitu melihat dua orang itu duduk berdua.

“Dia tidak menyia-nyiakan waktu, ya,” gumam Tania pelan, nadanya dingin.

Elvero hanya meneguk air mineralnya tanpa menjawab. Tapi rahangnya mengencang sedikit.

Di sisi lain, Ara menggenggam garpunya terlalu kencang, sementara Kael makan dengan tenang, nyaris angkuh. Pandangannya sesekali menyapu sekeliling.

“Semua orang melihat,” kata Ara pelan. “Apa kau puas?”

“Cukup puas,” balas Kael tanpa menoleh. “Kau ingin lebih banyak perhatian?”

Ara mendesah, menatap makanannya. Ia tahu ia seharusnya marah, merasa dipermainkan. Tapi anehnya, yang ia rasakan justru sedikit… lega.

“Kau sangat tidak menyenangkan,” katanya datar.

“Tapi efektif,” sahut Kael cepat. Kali ini ia menoleh. Matanya menatap wajah Ara langsung, tajam namun tak menghakimi. “Kau tidak didekati siapa pun sejak pagi. Itu kemajuan.”

Ara ingin membantah, tapi… Kael benar.

Dan untuk pertama kalinya sejak ia menginjakkan kaki di sekolah bangsawan ini, Ara merasa tak seperti mangsa. Meskipun pria di depannya ini bukan pelindung yang bisa ia percaya sepenuhnya, tapi…

Setidaknya monster yang satu ini berpihak padanya—untuk sekarang.

“Terimakasih” kata Ara akhirnya. “Meskipun Aku tahu motif utamamu membantuku karena tania. Kau ingin agar Aku tidak terlalu dekat dengan elvero di publik sehingga mengoyangkan posisi Tania di sisi Elvero kan ?. Aku tegaskan, Aku dan Elvero tidak memiliki hubungan apapun seperti yang Kau pikirkan. Kami bersaudara”

Kael mengangkat alisnya perlahan, menurunkan sendoknya ke piring. Tatapannya menajam, seperti sedang menilai kejujuran Ara.

“Oh?” katanya ringan. “Kalau begitu, kenapa kau terdengar sangat ingin meyakinkanku?”

Ara mengerutkan kening. “Karena aku tak suka disalahpahami.”

Kael menyandarkan punggungnya ke kursi, menyilangkan tangan di dada. Udara di sekeliling mereka seakan menegang, meski suara-suara di taman makan terus berdengung di kejauhan.

“Lucu,” gumam Kael akhirnya. “Kau tak suka disalahpahami, tapi tetap memutuskan untuk hidup dengan nama palsu dan identitas baru, bersikap seolah bukan siapa-siapa.”

Ara menegang. Matanya menatap Kael dengan tajam.

“Kau tahu?”

Kael menoleh padanya, tidak tersenyum, tidak juga mengancam. Tapi dinginnya pandangan itu seperti pisau.

“Aku tahu cukup untuk sadar bahwa aku sedang duduk bersama seseorang yang tidak seharusnya ada di sekolah ini dengan nama itu.” Dia mencondongkan tubuh sedikit. “Tapi aku juga cukup tahu bahwa Elvero akan melakukan apa pun untuk melindungimu.”

Ara menggigit bibir bawahnya. Ada sensasi aneh dalam dadanya—campuran dari ketakutan, rasa bersalah, dan sedikit… penasaran. Pria ini tidak sepenuhnya bisa ditebak.

“Jadi,” lanjut Kael pelan. “Aku tak peduli kau dan Elvero saudara atau bukan. Aku tak peduli asalmu dari mana. Tapi kalau aku bisa memastikan kau tidak mengusik keseimbangan yang sedang kuatur, dan kau mendapat perlindungan dariku, maka… kurasa ini kesepakatan yang cukup adil.”

Dia mengambil kembali sendoknya dan mulai makan seolah tidak baru saja mengguncang dunia kecil Ara.

Ara menghela napas, pelan.

“Baik. Tapi jangan pernah memaksaku bersikap lebih dari yang kita sepakati.”

Kael mengangguk kecil. “Aku bahkan tak tertarik.”

Tapi entah kenapa, nada suaranya membuat dada Ara terasa tak nyaman—karena meski ia tak terdengar tertarik…

Dia jelas bukan pria yang bisa diabaikan.

...****************...

“Pegang tanganku,” kata Kael tiba-tiba saat mereka hanya berdua di lorong utama sekolah.

Ara menoleh dengan bingung. “Apa?”

“Lakukan saja,” ulang Kael. Suaranya tenang, seperti biasa. Tapi nadanya tak memberi ruang untuk penolakan.

Tanpa banyak tanya—entah karena terbiasa menerima perintah semacam itu dari masa lalunya, atau karena firasatnya sendiri—Ara meraih tangan Kael. Jemarinya masuk ke sela-sela jemari pria itu, dan untuk sesaat, mereka hanya berdiri diam, saling menggenggam dalam keheningan.

Kael tak berkata apa-apa lagi. Ia mulai berjalan, langkahnya panjang dan penuh arah, sementara Ara mengikutinya dari sisi, tangannya masih berada dalam genggaman pria itu.

Lorong itu tidak sepi. Beberapa siswa bangsawan sedang duduk dan berdiri di sana-sini, berbincang dalam kelompok-kelompok kecil. Tapi yang paling menarik perhatian adalah sekumpulan siswa di ujung lorong—tempat semua pandangan secara alami tertarik.

Di tengah mereka berdiri seorang pria muda dengan postur gagah dan senyum santai yang mematikan: Domias.

Dia tertawa pelan, menyandar santai pada dinding sambil dikelilingi oleh beberapa teman prianya. Namun yang paling menarik perhatian adalah gadis yang berdiri terlalu dekat dengannya. Seusia Ara, dengan rambut gelap bergelombang dan riasan tipis yang membuatnya tampak lebih dewasa. Gadis itu tertawa dan memegang lengan Domias, seolah mengklaim ruang yang belum tentu miliknya.

Dan tepat saat itu, mata Domias bertemu dengan mata Ara.

Seketika, seolah waktu melambat. Senyum Domias tidak pudar, tapi matanya jelas berbicara. Menilai. Mengukur. Mengingat.

Ara spontan menunduk, detak jantungnya berdegup lebih cepat.

Namun Kael tidak berhenti. Ia tidak menoleh, tidak menunjukkan bahwa mereka sedang diperhatikan. Justru ia mempererat genggaman tangannya, mengirimkan sinyal yang kuat: Jangan gentar. Kau bersamaku.

Sebelum Kael dan Ara sempat melewati kerumunan itu, Domias melangkah maju dan menghadang mereka.

“Ternyata gadis itu pacar barumu, Kael?” katanya santai, nada suaranya seperti gurauan, tapi matanya mengunci pada Ara. “Aku kira kau lebih menyukai pria, soalnya kau selalu menempel pada Elvero.”

Kael tak membalas. Tapi Aura di sekitar tubuhnya berubah. Tenang yang tidak nyaman.

“Minggir,” katanya datar. Suaranya seperti batu yang dilempar ke danau tenang—tidak keras, tapi memiliki daya hentak.

Namun Domias hanya tersenyum lebih lebar, seolah ancaman itu hanyalah angin lewat.

“Seleramu boleh juga,” lanjutnya, seakan Kael tak pernah bicara. Tatapannya turun menyisir wajah Ara perlahan, seolah ia sedang menilai barang baru yang pernah disentuhnya. “Dia cantik. Dan bibirnya… sangat manis di bibirku waktu kucicip kemarin.”

Tubuh Ara menegang seketika. Dadanya terasa sesak, seolah udara di sekeliling mereka menghilang. Kata-kata Domias menusuknya lebih dalam daripada yang bisa ia perkirakan. Napasnya terhenti, dan rasa malu serta marah meledak bersamaan di dadanya.

Kael tidak bicara. Tapi jemarinya yang menggenggam tangan Ara kini mengepal kuat.

Dalam sekejap, udara di sekitar mereka menjadi dingin dan berat—seperti badai yang baru akan meletus.

1
Vlink Bataragunadi 👑
hmmmm.... ada yg cemburu?
Vlink Bataragunadi 👑: oooh gitu, siap kak, aku ke sana dulu /Chuckle/
Vidiana A. Qhazaly: Mungkin supaya paham alur yg ini bisa baca di morning dew dulu klik aja profilku
total 2 replies
Vlink Bataragunadi 👑
kynya rameeee, tp awal bab byk kata kiasan yg aku blm ngerti
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!