Kemampuan dan kelebihan yang membawa pada kesombongan.
Jangan pernah berpaling dan melupakan Sang Penguasa Subuh. Selalu rapalkam dalam hati 'Ilmu, Kebijaksanaa, dan Rendah Hati.' Jangan sampai tergoda oleh para pembisik, mereka pandai menggelincirkan keteguhan hati manusia.
Ketika dunia sudah mulai kehilangan keasliannya, banyak terjadi kejahatan, hal menyimpang, bahkan normalilasi terhadap hal yang tidak normal. Sebuah suku tersembunyi yang masih memegang erat sejarah, mengutus anak terpilih yang akan kembali membuka mata dunia pada siapa mereka sebenarnya.
Perjalanan Warta Nalani yang membawa sejarah asli dunia dimulai dengan usahanya harus keluar dari hutan seorang diri. Banyak hal baru yang ia temui, teman baru, makanan baru, dan juga kesedihan baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon godok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desa Rusa (8)
Butuh waktu lama untuk Zai dan Hidra untuk bangun dari tidur siangnya. Pada malam hari ketika bulan sudah terlihat bulat sempurna, Zai dan Hidra akhirnya berhail terbangun dengan kondisi kepala yang sangat pening. Mungin karena memakan bawang bombay utuh sekaligus, mungkin. Seperti apa Nalani katakan kepada Ahal, ia pun mengantar sang Kakak dan orang baru saja mereka selamatkan ke rumah utama. Kini keduanya -Zai dan Hidra- duduk berhadapan dengan Ahal. Setelah mengantar Nalani segera undur diri, ia tidak mau ikut terlibat dalam hal aneh lagi.
Setengah jam sudah mereka berbincang, tak dirasa hari sudah semakin dingin, bahkan bulan pun sudah semakin terang, menggantikan tugas matahari. Walau sebenarnya ia hanya pemantul matahari. Bahkan saat malam hari, Mata hari tetap bekerja, mendukung teman-temannya.
Tawa nyaring Ahal menggelegar ke seluruh sudut ruangan,"Ah, jadi begitu. Kau suka dengan makanan khas desa kami, ya. Padahal itu hanya bawang yang dibakar dengan beberapa rempah. Senaang rasanya orang luar menyukai selera kami."
Hidra mengangguk malu. Ia tidak tau kalau teriakan deklarasinya sebagai 'Orang Hutan' terdengar sampai keluar rumah. Bahan para tetangga juga mendengar.
"Ini sudah cukup malam. Nak Hidra, istirahat saja lagi, perjalanan dri kota pasti sangat melelahkan. Zai, tolong besok ajak Hidra keliling desa, ya," Ahal pun pergi meninggalkan rumah utama bersama dengan Zai dan Hidra.
Esok pagi saat aroma embun mulai menyelimuti desa, Hidra yang memang sudah terbiasa bangun pagi sedang berdiri di teras rumah Zai. Menyapa beberapa orang yang berlalu lalang, tidak jarang para wanita muda menghampirinya dan memberi bebrapa cemilan pagi. Wajar, Hidra ini parasnya bisa dibilang cukup mumpuni untuk menjalani hidup dalam dunia penuh standar kesempurnaan.
Terdehar suara decakan dri arah belakangnya, Zai datang dengan dua gelas teh hangat. Gelas di tangan kiri ia sodorkan untuk Hidra yang diterima tanpa sungkan. "Seolah kau pemilik rumah ini," Ucap Zai sinis, agak menyindir Hidra yang dari tadi bersikap ramah pada warga sekitar.
Hidra terkekeh, "Aku ini mau balas budi," sombong Hidra. "Tuh, liat!"
Si pendatang asing itu menggerakan dagunya, menunjuk ke arah meja bambu yang ada di dekat pintu masuk. Ada pisang barangan, kue lapis, kue sarang semut, dan beberapa cemilan lainnya. Hidra melirik ke arah Zai, satu sudut bibirnya terangkat, membuat aura kesombongan itu semakin meningkat. Zai mendengus, bukannya marah atau apa, ia justru mengulurkan tangannya yang terkepal, bibirnya meniru senyuman sombong milik Hidra. Dan keduanya melakukan tos dengan tangan terkepal.
Selesai menghabiskan semua makanan hasil jual tampang Hidra, Zai akhirnya mengajak untuk keliling desa. Hidra cukup teragum dengan desa yang memiliki banyak rumah sederhana dengan bangunan dari bilik bambu. Ia bertanya pada dirinya, kenapa tidak meggunakan bahan yang tersedia melimpah di belakang desa ini. Tapi, pertanyaan itu dia pendam, hanya untuk perdebatan tanpa ujung dalam benak.
Zai menghentikan langkahnya, "Oi, lihat di sana," tangannya menunjuk ke arah kiri Hidra.
Saat Hidra menoleh,
Tak!
Bola ukuran sedag berbahan dasar rotan tepat menghantam keningnya. Anak-anak kecil yang sedang bermain segera menghampiri Hidra, memberondongi dengan banyak permintaan maaf. Bahkan, ada yang hampir akan bersujud -si pelaku penendang bola- yang segera dihentikan oleh Hidra.
Hidra berjongkok, mensejajarkan tinggi dengan anak-anak, "Nggak apa-apa kok adik-adik. Ini bukan salah kalian." Hidra tersenyum lembut kepada anak-anak yang sepertinya hampir menangis itu. Ia mendongak, menatap sinis Zai, "Ini salah paman itu, jadi jangan nangis, ya. Paman itu yang harusnya nangis dan minta maaf-"
plak!
Sebuah tamparan ringan mendatar di lengan Hidra. Ia segera menoleh, mendapati anak-anak yang kini menatapnya tajam, seperti menyimpan dendam.
"Jangan sakiti pelatih kami!!!"
Plak!
Plak!
Plak!
Tamparan bertubi-tubi Hidra dapat sampai dirinya terjungkal kebelakang. Zai? tanpa ada niat menhentikan ia justru tertawa dengan gembira. Beberapa penduduk desa yang melintas saling berbisik, melihat Hidra dipukuli oleh tentara bocah.
Terdengar bisikan halus menyapa telinga Hidra, "Emang ya, orang kota nggak bisa dilihat dari tampang aja."
'Apa-apaan?!' runtuk Hidra dalam hati. Mau dimana pun, orang-orang hanya ingin menerima sisi sempurna seseorang.
Ia memlih pasrah, tubuh jenjangnya terbaring memandang langit pagi yang terlihat sangat cerah. Sudah lama sejak terakhir kali ia melihat langit cerah dipagi hari. Bukan berarti di kota tidak bisa melihat langit. Tapi, mungkin karena banyak jumlah pabrik dan kendaraan berbahan bakar fosil yang membuat langit cerah tidak sama seperti apa yang ia lihat saat dirinya kecil.
Merasa sudah cukup melakukan pembalasan untuk membela sang 'pelatih', para anak kecil itu mengambil bocah yang sempat terlupakan dan kembali bermain di area sebelumnya.
Zai berjongkok di samping Hidra, "Jangan tidur di sini. Mau aku tunjukan tepat yang bagus untuk bersantai?"
Tatapan penuh selidik Hidra layangkan, takutnya dirinya lagi-lagi dijadikan badut untuk menghibur pria di hadapnya ini. Tapi, melihat alur wajah Zai terlihat sedang tenang. Tidak ada tanda-tanda mencari masalah atau hal yang membawa sial lainnya, ia memutuskan untuk mengikuti Zai. Masuk kedalam hutan jati, kembali ketempat di mana dirinya pingsan. Agak sedikit was-waas dengan kehadiran rusa, tapi, rasa penasaran Hidra tentang, 'keindahan di balik semak-semak kembali bangkit.' Dan saat mereka membuka celah untuk melalui semak belukar,
"Yahh, sungai pada umunya," keluh Hidra. Ia berjalan lebih dulu mendahului Zai. Pandangannya tidak lepas dari sungai dangkal dengan lebar kira-kira 3 meter yang dihuni oleh beberapa bebatuan besar. Kalau yang seperti ini, ia sudah sering lihat. Setidaknya, sungai ini lebih jernih dari sungai lainnya. Ia bahkan bisa meilihat dasar sungai yang dipenuhi oleh kerikil dan ada beberapa udang besembunyi.
"Jangan murung begitu, coba dulu rasa airnya!" ujar Zai.
Rasa antusias Hidra sudah hilang, malah bisa dibilang, setitik kekecewaan muncul di hatinya. Membuat suasana diri Hidra jari sedikit murung. Dengan lesu, ia berjongkok di pinggi sungai, menyerok air itu dengan tangan yang ia kuncupkan.
Baru seteguk air melewati tenggorokannya, mata Hidra membulat sempurna.
"Segar! Air di sini sangat segar!" tidak hanya meminum, Hidra bahkan sampai menenggelamkan kepalanya ke dalam sungai selama beberapa menit. Mengeluarkan kepala dari air lalu mengibasnya ke kanan dan kiri bak pemeran iklan pembersih rambut.
Zai tersenyum tipis, "Aku dengar," ucapan Zai membuat Hidra segera menoleh. Dengan senyum lebar, Hidra menanti hal mengejutkan lainnya, "Sungai sering dipakai para rusa sebagai tempat mereka melahirkan. Katanya, arus sungai dapat membantu mereka."
Hidra terdiam, ia membekap mulutnya yang kini terasa mual. Tangan kiri yang terbebas memeluk perutnya erat. Tubuh Hidra terjatuh, tertidur meringkuk dengan pandangan kosong. Bayang-bayang rusa mengisi kepalanya.
'Apa... aku akan jadi makhluk setengah rusa?' sedihnya dalm hati. Dan kini, dikedua pelupuk mata Hidra sudah ada air mata menggenang.
Zai tertawa terbahak sampai ia tidak kuat untuk menopang diri. Ia jatuh terduduk, tawanya semakin lebar melihat air mata Hidra mulai menetes.
"Orang kota itu pintar-pintar, tapi banyak yang mereka takuti, ya."
Zai mengambil krikil kecil melemparkannya pelan dan mendarat di bahu Hidra. "Aku bercanda, palingan para rusa itu hanya numpang minum di sini."
butuh waktu sekitar... sepuluh? tidak, satu! Satu jam bagi Zai untuk meyakinkan pada Hidra bahwa sungai itu baik-baik saja. Kalau benar dipakai sebagai tempat bersalin, tidak mungkin sungainya akan terlihat jernih dan sesegar itu.
Setelah kembali membentuk mental Hidra, mereka akhirnya kembali berjalan menyusuri tepian sungai. Setengah jam mereka berjalan, di depan, Hidra tidak lagi melihat jalanan. Ah, ada. Tapi jalanan itu berada di bawah mereka. Jurang. Ia melihat lamat-lamat kedalam jurang. Cukup terjal dan tidak terjamah siapapun. Tidak ada tumbuhan, hanya segelintir air mengalir dari sungai di sampingnya. Ini hanya sungai dangkal, tentu tidak akan menjadi air terjun. Kalau dari dalam jurang, mungkin lebih terlihat seperti tembok menangis karenaa di aliri aliran air dari atas.
"Oi, kemari!" panggil Zai yang sudah berdiri di balik semak-semaki di sisi kanan mereka.
Hidra berjalan menghampiri Zai, matanya kembali di buat melebar. Di balik semak itu, tidak lagi terhubung dengan hutan jati melainkan sebuah tangga dari bebatuan berjalan menurun.
"Kau duluan? aku duluan?" tanya Zai. Hidra mempersilakan Zai sebagai tour guidenya, disamping karena ia tidak tau jalan, ia juga harus tetap waspada dengan orang asing.
Samapi di anak tangga terakhir, tanah yang mereka injan agak lembab. Saat mendongak ke atas, Hidra akhirnya paham, tangga itu membawa mereka menuju dasar jurang. Tidak terasa begitu lama, padahal dari atas jurang terlihat sangat dalam. Mungkin karena tangga yang agak memutar, berbelok dibeberapa tempat membuatnya tidak sadar bahwa mereka sudah mengeluarkan banyak langkah.
Benar saja, ujung dari sungai telihat seperti tebing yang dialiri air tipis dari bawah sini.
Hidra mengikut langkah Zai yang memasuki sebuah gua. Gua pendek yang dari mulutnya saja sudah terlihat cahaya lain, menadakan jalan keluarnya tidak terlalu jauh.
Hidra memijakan kaki dibagian sisi lain gua. berbagai macam tumbuhan buah tropis, pepaya, rambutan, mangga, yang sedang berbuah matang memanjakan pandangannya. Di sisi kiri, berderetan dengan bagian mulut Gua, terdapat banyak tanaman rempah, bumbu dapur. kunyit, jahe, kencur, lada, pala, dan sereh. Langit yang cerah terlihat semakin cerah dari bawah sini, semakin menawan oleh guratan-guratan sayap para burung yang beterbangan.
"Loh, Mas ajak orang asing ini kemari?" Nilani, yang teryata sedang memakan pepaya dan berbagai buah lainnya di saung kecil usang di tempat itu menghampiri keduanya.
"Dia terlihat stress di desa," ejek Zai. Hidra tidak merespon, ia masih terpesona oleh harta karun mewah ini.
"Orang kota mudah stress, ya," Nilai memotong pepaya yang ia bawa, memberika setengahnya untuk Hidra. "Ini."
Hidra menerima buah pepaya berwarna merah yang besarnya hampir seukuran bayi yang baru saja lahir. Baru satu gigitan, tapi lagi-lagi matanya dibuat terbelalak karena kenikmatan yang ada. Rasa manisnya tidak menyengat tapi sangat menyegarkan.
"Penduduk lain tidak ada yang tau tempat ini. Diam-diam, ya," Zai berjalan menuju saung tempat sebelumnya Nilani bersantai. Ia merebahkan diri, menatap langit dari atap saung yang mulai bolong-bolong. Ulah burung, kalau kata Nilani.
Nilani kembali ke saung, duduk di samping kakaknya dan lanjut memakan buah-buahan yang ia petik. Hidra, masih dengan potongan buah pepaya di tangan, ia memilih untuk berkeliling. Sepertinya, setengah potong pepaya pemberian Nilani dapat mengganjal perutnya hingga sore nanti.
'Satu buah pepaya di tambah buah-buahan lainnya. Hebat sekali wanita itu bisa makan semuanya.'
Hidra melihat pohon-pohon dengan teliti. Mereka tumbuh dengan baik, sangat baik. dari kondisi batang yang kokoh, daun lebar yang berkilau, sampai buah yang segar. Mungkin karena mata air murni. Bagi Hidra, buah bagus itu buka tetang ukuran, tapi terasa segar atau tidak. Tapi, dibanding dengan buah, saat ini, bagianya, dapat dizinkan melihat harta karun milik kedua kakak beradik itu adalah suatu anugerah.