Liana Antika , seorang gadis biasa, yang di jual ibu tiri nya . Ia harus bisa hamil dalam waktu satu bulan. Ia akhirnya menikah secara rahasia dengan Kenzo Wiratama—pewaris keluarga konglomerat yang dingin dan ambisius. Tujuannya satu, melahirkan seorang anak yang akan menjadi pewaris kekayaan Wiratama. agar Kenzo bisa memenuhi syarat warisan dari sang kakek. Di balik pernikahan kontrak itu, tersembunyi tekanan dari ibu tiri Liana, intrik keluarga besar Wiratama, dan rahasia masa lalu yang mengguncang.
Saat hubungan Liana dan Kenzo mulai meluruhkan tembok di antara mereka, waktu terus berjalan... Akankah Liana berhasil hamil dalam 30 hari? Ataukah justru cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi taruhan terbesar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Kenzo segera berdiri, langkahnya cepat menghampiri Claudia, mencoba meredam badai yang sudah jelas akan meledak.
"Apa yang kamu bicarakan, sayang? Aku hanya mengikuti keinginanmu," ucap Kenzo, suaranya tenang namun waspada.
Claudia menyipitkan mata, lalu tersenyum sinis. Dengan langkah percaya diri, ia mendekat, tangannya langsung mengalung di leher Kenzo.
Tanpa aba-aba, Claudia mencium bibir suaminya—dalam, agresif, dan penuh klaim. Semua dilakukan tepat di hadapan Liana, yang masih terduduk diam di sofa, tubuhnya membeku, pandangannya kosong menatap lantai.
Liana menahan napas, perasaannya remuk. Ia seperti seorang pelakor, pelaku dari sesuatu yang hina. Padahal... ia hanya korban dari permainan ini. Tapi siapa yang akan percaya itu? Dunia akan menilainya sebagai wanita perusak rumah tangga.
Claudia tersenyum miring ke arah Liana, menyadari betul keberadaan gadis itu. Tatapannya tajam, menghujam dengan pesan jelas: "Dia milikku."
"Aku menginginkan kamu sekarang, Kenzo," bisiknya mesra namun penuh perintah.
Dengan gemas, Claudia menarik tangan Kenzo dan melangkah ke kamar yang berada tepat di seberang kamar Liana. Sebelum benar benar keluar ia kembali melirik ke arah Liana—tatapan itu kini lebih menusuk, angkuh, penuh kepuasan karena berhasil menegaskan statusnya di depan wanita lain.
Pintu kamar Claudia tertutup.
Liana masih terduduk di sofa kamar, tangan gemetar memegang cangkir teh yang sudah mendingin. Pandangannya kosong, matanya mulai memerah. Ada sesak yang tak bisa ia jelaskan, semacam rasa bersalah bercampur sakit hati, dan rasa hina yang menampar harga dirinya sebagai perempuan.
Ia tahu sejak awal bahwa posisi dirinya hanya sementara. Tapi menyaksikan langsung bagaimana Claudia mencumbu Kenzo di hadapannya, lalu menyeret pria itu ke kamar seolah memperlihatkan trofi kemenangan, membuatnya merasa begitu kecil.
Air mata yang ia tahan akhirnya jatuh juga, membasahi pipinya yang pucat.
"Apa yang sedang aku lakukan..." gumamnya lirih.
Tubuhnya masih terasa lemas. Luka fisik dari malam sebelumnya belum pulih, dan kini luka di hatinya justru lebih menyiksa. Ia menggenggam ujung baju tidurnya, menarik kain itu ke dadanya, mencoba memberikan rasa aman pada dirinya sendiri yang tengah goyah.
Di dalam kamar Claudia dan Kenzo...
Claudia menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur sambil menarik Kenzo untuk ikut. Senyum liciknya masih tersisa, tapi matanya menyimpan kecurigaan.
"Kau terlihat aneh, Kenzo," ucap Claudia pelan sambil mengusap dada pria itu. "Kau seperti menyembunyikan sesuatu."
Kenzo menarik napas panjang, menahan rasa jengah. Ia tahu Claudia memiliki naluri tajam. Jika tidak berhati-hati, semua bisa runtuh.
"Aku hanya lelah, Claudia. Harus membagi urusan kantor ,kamu juga Liana. Kau tahu itu," jawabnya tenang, meski pikirannya melayang pada Liana di kamar sebelah.
Claudia mendorong Kenzo berbaring, menaiki tubuhnya dengan gerakan agresif. "Aku tidak peduli soal urusanmu. Aku hanya ingin suamiku tidak berpaling dari ku, Jangan pikir aku tidak tahu, kamu berubah."
Kenzo memejamkan mata sejenak. Dalam diam, ia mencoba meredam rasa bersalah yang menumpuk. Apa yang ia lakukan pada Liana bukan hanya soal kontrak atau kewajiban. Ada sesuatu yang perlahan tumbuh—dan kini, menyaksikan Liana harus melihat semuanya... hatinya ikut nyeri.
"Aku di sini, Claudia,dan kamu tetap istri ku yang paling aku cintai . Saking cintanya aku sampai mengikuti caramu yang gila ." ucapnya singkat, dan membiarkan wanita itu menuntaskan rasa ingin memiliki yang membara di dalam dirinya.
“ Kamu hanya boleh melaksanakan tugas itu ,tapi tidak Dengan perhatian dengan nya.” claudia bermain main dengan milik Kenzo di bawah sana .
Kenzo memejamkan mata menikmati apa yang claudia lakukan.
“ Apakah ia sudah merasakan punyamu Kenzo ? “.
“ Ya….ah..mm….se ..semalam sudah. bagaimana ia bisa hamil kalau aku tak melakukanya ……”.
Claudia menggila ia menguasai Kenzo dan ia kini yang sepenuhnya mengambil kendali.
Kembali ke kamar Liana…
Waktu berlalu pelan. Liana bangkit, melangkah menuju balkon kecil kamar. Angin laut menerpa wajahnya yang sembab. Ia mengelus perutnya perlahan, berharap ada kehidupan yang mulai tumbuh di sana.
“Ayah…,” lirihnya, memejamkan mata. “Kalau ini jalan agar Ayah bisa tetap hidup… aku akan jalani. Walaupun hati ini luka.”
Ia mendekap dirinya sendiri.
"Kenzo... apa aku akan benar-benar meninggalkan anak yang nantinya aku lahirkan ? Apakah aku sanggup ?" bisiknya lirih, seolah bertanya pada udara.
Kenzo keluar, mengenakan kaos santai dan celana pendek . Saat ini Claudia sedang tidur karena kelelahan. Matanya langsung menoleh ke kamar Liana. Ia ragu untuk mengetuk, tapi akhirnya melangkah perlahan.
Saat pintu kamar dibuka, Liana sudah tak berada di sofa. Ia duduk di lantai, bersandar di dinding dekat jendela, memeluk lututnya sendiri. Wajahnya menunduk.
Kenzo masuk tanpa berkata apa-apa. Ia mendekat, lalu berjongkok di hadapan Liana.
"Liana…"
Liana tidak menjawab.
"Aku minta maaf," ucap Kenzo lirih.
Liana mengangkat wajahnya perlahan. Senyumnya samar, kering, tetapi ia berusaha kuat. "Tidak perlu minta maaf, Tuan. Saya tahu posisi saya… Saya hanya istri bayaran Saya bukan siapa-siapa.”
Kenzo terdiam, terpaku oleh tatapan gadis itu yang tak menyalahkan, hanya menyimpan luka.
"Setidaknya..." bisik Liana, suaranya nyaris tak terdengar, "...setidaknya kalau aku hamil, aku bisa membebaskan ayah ku. Walaupun nantinya aku juga akan berpisah dengan anakku ."
Kenzo menahan napas. Kata-kata itu menghantam jantungnya lebih dari yang ia duga. Ia ingin bicara, menjelaskan… tapi semua terasa rumit dan terlalu dini untuk dijanjikan.
Ia hanya bisa memeluk gadis itu diam-diam, dalam keheningan kamar yang menyesakkan.
*
*
*
RUMAH SANDRA,
Langit masih teduh saat tawa riang terdengar menggema dari ruang tengah rumah bergaya lama itu. Vika, perempuan muda berparas cantik dengan dandanan rapi, menari-nari kecil sambil memegang secarik surat resmi.
“Mamaaa! Aku keterima kerja di Wiratama Corporation!” serunya sambil memeluk sang ibu dengan penuh semangat.
Sandra, ibunya, langsung berdiri dan ikut tersenyum lebar.
“Anak mama memang hebat! Aku tahu, perusahaan bonafit pasti rebutan dapat kamu. Siapa yang bisa nolak lulusan sarjana dengan otak cemerlang kayak kamu?”
Vika tertawa bahagia, lalu menunjukkan email konfirmasi dari HRD perusahaan besar itu.
“Gajinya tinggi, jaringannya luas. Aku resmi jadi bagian dari kerajaan bisnis paling disegani sekarang, Ma!”
Namun, di balik sukacita itu, suasana berubah saat batuk keras , terdengar dari arah ruang belakang. Seorang pria tua, pak hartawan ayah kandung dari Liana, terduduk lemah di kursi tua dekat dapur. Tubuhnya kurus, nafasnya pendek-pendek.
Sandra menoleh dengan tatapan dingin. Senyum bangganya berubah menjadi cibiran penuh kejengkelan.
“Tsk! Dasar nyusahin. Udah tua,lumpuh,hidup lagi, ngerepotin!”
Ia melangkah mendekat dan meletakkan cangkir teh di meja dengan kasar, cukup keras hingga menimbulkan suara nyaring. Lalu, ia memandang Pak hartawan dengan sorot mata tajam.
“Kau pikir aku senang harus ngurusin orang sekarat tiap hari? Gara-gara kamu, uang belanja selalu berkurang buat beli obat! Dasar beban!”
Pak hartawan hanya terdiam. Tubuhnya terlalu lemah untuk membalas. Suaranya tercekat, tetapi sorot matanya menyimpan kesedihan yang dalam.
Vika ikut duduk dan menyilangkan kaki, menatap ayah tirinya dengan jijik.
“Ih, Ma. Mending masukin aja ke panti jompo atau rumah sakit miskin. Rumah kita jadi kayak tempat penampungan. Untung si Liana udah nggak di sini lagi. Malu banget aku kalau ada teman main dan lihat orang tua setengah mati begini di ruang belakang!”
Sandra menyeringai.
“Liana anak mu pun tak lebih dari kamu. Cewek lulus SMA yang sok kuat. Sekarang nasibnya entah bagaimana? Bapaknya di sini, dikasih makan pun gak tahu diri!”
“Sudah lama aku ingin kirim pria tua ini ke luar kota atau ke panti. Tapi itu tak bisa aku lakukan sebelum Liana berhasil dengan tugas nya melahirkan anak untuk orang kaya itu. hanya laki laki tua ini yang bisa membuat Liana menurut .”
Pak hartawan menggigit bibir, menahan amarah. Tangannya yang keriput mengepal pelan di pangkuannya. Ia tahu, sejak Liana pergi untuk dijual , dirinya tak punya pelindung lagi di rumah itu.
Sandra berbalik pada Vika dan merangkul bahunya dengan penuh bangga.
“Tapi lupakan itu. Kita rayakan kamu hari ini. Kamu akan masuk ke Wiratama corporation—kerajaan bisnis yang semua orang takluk padanya.”
“Berbeda dengan mereka yang menyedihkan .”
Vika mengangguk mantap. Sementara itu, dari kursi tuanya, pak hartawan hanya bisa menatap kosong ke luar jendela,berharap putrinya baik-baik saja di luar sana.
Sandra dan Vika melangkah keluar dari rumah, meninggalkan pak hartawan yang masih duduk lemah di kursi kayu tua di dalam rumah. Keringat di dahinya menetes, tapi tak ada yang peduli. Suaranya tercekat, hanya bisa mendesah pelan saat pintu ditutup dengan sedikit hentakan di belakang mereka.
Di luar, beberapa tetangga tengah duduk bersantai di pos ronda kecil yang teduh, membicarakan hal-hal ringan. Sandra berjalan dengan percaya diri, menggandeng lengan Vika yang masih memegang surat penerimaan kerjanya.
“Ibu-ibu, lihat dong anak saya!” seru Sandra dengan nada tinggi dan bangga. “Vika keterima kerja di wiratama corporation, perusahaan besar, bukan kaleng-kaleng!”
Beberapa ibu yang tadinya duduk santai langsung menoleh. Salah satu dari mereka, Bu Retno, berseru kagum, “Wah, hebat sekali, Vika! Susah lho masuk ke sana.”
Vika tersenyum anggun, berusaha tampak rendah hati meski jelas wajahnya memancarkan kebanggaan.
“Iya, Bu… Alhamdulillah lolos seleksi. Ribuan orang daftar, tapi Vika terpilih. Semuanya karena doa Mama juga,” katanya sambil mencium tangan Sandra.
Sandra langsung menimpali, “Ya iyalah, beda sama Liana ,yang lulus SMA aja. Cuma bisa Jadi pembantu. Itu pun kalau masih laku kerja .”
Beberapa tetangga saling melirik, ada yang terdiam, ada pula yang menahan komentar. Nama Liana memang pernah jadi buah bibir, tapi banyak yang tahu betapa gadis itu berusaha keras menolong ayahnya dan rela menanggung beban berat sejak kecil.
Namun Sandra terus berbicara lantang.
“Saya didik Vika ini dari kecil buat jadi sukses, bukan jadi beban! Anak pintar itu hasil kerja keras dan pendidikan, bukan cuma modal muka kasihan!”
Vika tertawa kecil, “Mama lebay deh…”
Di dalam rumah, pak hartawan hanya bisa mendengar samar-samar suara tawa mereka yang menjauh. Matanya berkaca-kaca, hatinya pilu. Dulu, rumah ini tempat ia membesarkan Liana dengan kasih sayang dan kerja keras. Kini, ia hanya menjadi bahan ejekan bagi istri dan anak tirinya sendiri, dan Liana tak ada di sampingnya.
Tangannya yang keriput menggenggam ujung selimut lusuh di pangkuannya. Dalam hati, ia berbisik lirih:
"Liana... ayah rindu kamu, nak. Cepatlah kembali..."