Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.
Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.
Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.
Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.
Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 – STAYCATION
Kamar Embun malam itu tampak seperti kapal karam yang baru diseruduk badai. Tumpukan baju berserakan di atas kasur seolah sedang melakukan demonstrasi, hoodie menggantung setengah jatuh dari lemari, sementara koper kecil terbuka lebar di ujung ranjang seperti mulut ikan paus yang menunggu diisi.
Di tengah kekacauan itu, Embun malah duduk bersila, diam tak bergerak, hanya menatap ponselnya yang entah kenapa… sepi-sepi aja malam ini. Tidak ada notifikasi. Tidak ada getaran.
Hanya layar gelap yang memantulkan wajahnya sendiri—wajah seorang perempuan yang sedang sibuk pura-pura tidak menunggu siapa pun.
Nggak ada notifikasi masuk. Nggak ada pesan salah kirim lagi. Tapi entah kenapa… justru itu yang bikin kepalanya ramai.
Ia mendesah panjang dan menjatuhkan tubuhnya ke kasur, membiarkan baju-baju menggunung menindih punggungnya. “Kenapa ya HP kalau ditunggu malah diem,” gumamnya lemas.
Padahal besok pagi ia dan dua sahabatnya, Lona dan Bia, akhirnya akan merealisasikan rencana liburan yang sudah mereka cicil dari jauh hari. Bukan trip mendadak, bukan pelarian tiba-tiba.
Ini liburan resmi yang sudah mereka jadwalkan, diperdebatkan di grup chat, direvisi tiga kali, dan baru bisa terwujud sekarang karena jadwal kerja mereka bertiga sering bentrok.
Rencananya sederhana: satu malam staycation di Puncak, Bogor—cukup dekat, cukup tenang, dan yang terpenting… cukup jauh dari hiruk pikuk kantor dan urusan hati yang mulai ribet (ya, termasuk bagian salah kirim itu).
Embun mengangkat sedikit tubuhnya dan menatap koper yang masih kosong.
“Besok liburan, tapi isi kepala gue malah bukan packing… tapi nunggu chat,” keluhnya pelan sambil menutupi wajah dengan bantal.
Di luar jendela, angin malam berembus lembut, membawa aroma hujan sisa sore tadi. Namun di dalam kamar, suasana tidak lebih tenang daripada isi hati Embun — berantakan, riuh, dan penuh pertanyaan kecil yang tidak mau diam.
Embun menarik napas panjang, kemudian menjatuhkan diri ke kasur. “Kenapa sih gue jadi mikirin suara random itu?” gumamnya, pandangannya menerobos langit-langit kamar.
Embun spontan menutup wajah pakai bantal dan berteriak pelan. “Duh! Tolong deh, otak gue kenapa sih!?”
Embun memutar tubuhnya malas-malasan di atas kasur yang sudah tidak terlihat bentuknya. Baju-baju memakan seluruh permukaan, dan koper kecil di ujung ranjang masih polos tanpa satu pun pakaian masuk.
“Besok liburan…” gumamnya sambil menatap langit-langit. “Tapi suasana kamar lebih kayak habis perang saudara.”
Ia meraih ponsel, masih tanpa notifikasi. Tidak ada chat baru dari Ari dan Dion. Dan tentu saja… tidak ada pesan dari si Mr. Don’t Know.
Embun memanyunkan bibir. “Tumben banget dia diem…” Namun saat ia meletakkan lagi ponselnya di dada—
TING!
Embun memantul dari kasur seperti popcorn jatuh ke minyak panas.
“ASTAGA!” Ia meraih ponsel itu terlalu cepat, hampir menjatuhkan seluruh tumpukan baju.
Layar menyala.
Mr. Don’t Know: Kamu lagi sibuk atau pura-pura sibuk? Soalnya biasanya kamu heboh jam segini.
Embun langsung duduk tegak, jantung berdegup seperti drum marching band. “Ya Tuhan… timing-nya kenapa selalu pas banget?!” katanya sambil menahan tawa dan panik bersamaan.
Ia mengetik cepat:
Embun: Lagi packing besok mau liburan. Tapi kamar gue kayak kapal tenggelam, sumpah.
Belum sempat ia menutup layar— TING!
Mr. Don’t Know: Kapal tenggelam tapi masih sempet balas chat. Hebat. Liburannya sama siapa?
Embun kaget sampai menjatuhkan kaos yang sedang ia pegang. “Ya Tuhan… kenapa pertanyaannya bikin deg-degan gini…”
Ia menggigit bibir, lalu mengetik:
Embun: Sama sahabat gue. Liburan sehari doang.
Lalu ia menatap pesannya sendiri lama-lama. “Kok gue jelasin panjang sih?” katanya sambil menutup wajah.
Saat ia hendak melanjutkan packing— BRRTT BRRTT BRRTT
Layar ponsel tiba-tiba berganti jadi video call dari dua nama yang tidak bisa dibohongi:
BIA 💙 dan LONA 💅🏻🔥 — Incoming Group Video Call —
“HAH? JAM SEGINI?” teriak Embun panik, ia berdiri buru-buru—dan tersandung tumpukan jeans. Ia jatuh ke kasur lagi sambil berteriak kecil. Dengan tangan gemetar ia menggeser tombol accept.
Begitu wajah kedua sahabatnya muncul di layar, Embun berharap bisa menyelam ke dalam kasur dan tidak keluar lagi.
Lona langsung menjerit, “EMBUUUUUUN???! APA ITU DIBELAKANG LO? KAMAR APA KAPAL KARAM?!”
Bia, tanpa ekspresi tapi mematikan, menambahkan, “Gue nggak yakin itu kamar. Lebih kayak lokasi bencana.”
Embun menutup kamera separuh dengan tangan, malu campur stres. “GUE LAGI PACKING! Besok kan kita berangkat!”
Lona mendekat ke kamera, mencoba melihat lebih jelas. “Packing? Bun… itu bukan packing. Itu tragedi.”
Bia menghela napas lembut. “Lo udah masukin sesuatu ke koper?”
Embun melihat koper kosongnya. “…Kaos kaki sebelah.”
Lona langsung menabrakkan kepalanya ke bantal. “Aku tak sanggguppp…” ucapnya seperti bernyani sebait lagu.
Tapi sebelum Embun bisa membela diri— TING!
Chat masuk lagi. Embun melirik cepat. Sial. Sangat sial.
Mr. Don’t Know: Have fun besok. Jangan heboh sendiri ya.
Embun mencelos. Pipinya memanas. Lona melihat perubahan ekspresi itu cepat sekali.
“EH EH EH TUNGGU—” Lona menunjuk layar, suaranya meninggi. “MUKA LO! Itu muka orang baru dibales crush!”
Bia mengangkat satu alis. “Nomor salah kirim?”
Embun langsung panik. “BUKAN! Maksudnya—iya—engg—aduh pokoknya JANGAN BAHAS DULU!”
Lona teriak: “ASTAGA DIA DIBALES COWOK MISTERIUS LAGI—”
Embun buru-buru mematikan video call. Call Ended.
Ia menghempaskan diri ke kasur, menutup wajah dengan bantal, dan mengeluarkan suara teredam, “Gue malu… gue malu banget…”
Setelah dua detik keheningan— Ia mengangkat ponsel perlahan. Menatap chat itu lagi.
Have fun besok. Jangan heboh sendiri ya.
Dan senyum itu muncul. Perlahan. Tidak bisa ditahan. Tiba-tiba kekacauan kamar tidak terasa seburuk itu.
“Gila… kenapa hati gue kayak es krim yang meleleh,” bisiknya pelan.
**
Sabtu siang menjelang sore, udara kota masih menyisakan panas yang lengket ketika suara klakson pelan terdengar di depan rumah Embun. Mesin SUV hitam milik Bia melambat dan berhenti mulus di halaman, menebarkan aroma AC mobil yang baru dinyalakan.
Dari jendela penumpang, kepala Lona nongol sambil memakai kacamata hitam besar macam seleb Hollywood yang tersesat.
“Cepet, Bun! Jangan kayak kucing baru bangun tidur!” teriaknya sambil melambaikan tangan seperti supir travel yang sudah hampir putus asa.
Embun keluar sambil menenteng totebag, jaket tebal, dan botol minum. Rambutnya dikuncir seadanya, wajahnya masih setengah ngantuk, tapi bibirnya terangkat begitu melihat kedua sahabat tercintanya itu.
“Udah-udah, gue cuma telat lima menit,” katanya sambil terkikik.
“Lima menit buat lo tuh kayak lima tahun buat dunia, Bun,” sahut Bia dari balik kemudi. Suaranya tetap datar dan elegan, tapi ada senyum yang jelas tertahan di sudut bibirnya.
Embun masuk ke kursi belakang, langsung selonjorin kaki seperti sudah resmi pindah rumah ke mobil itu.
“Ngopi belum?”
“Belum. Tapi Lona udah overdosis gula,” jawab Bia sambil jalan pelan keluar dari gerbang rumah.
Lona menoleh cepat, dramatis seperti spanduk promo diskon.
“Gue tuh nggak kebanyakan gula,” protesnya penuh pride. “Gue cuma HAPPY karena akhirnya bisa kabur dari deadline majalah politik yang bikin otak gue gosong. Lo bayangin, Bun, seminggu penuh bahas isu kabinet sama analisis politik dalam negeri! Siapa yang masih punya kewarasan setelah itu?”
Embun ngakak sampai suara seatbelt bunyi.
“Kasihan banget, Lo. Makanya minggu ini lo healing, bukan debat politik.”
Begitu kota makin tertinggal, pemandangan berubah: gedung-gedung diganti pepohonan tinggi, udara makin sejuk, dan jalanan mulai menanjak. Kabut tipis turun pelan, seolah menyambut mereka ke dunia lain yang lebih tenang.
Playlist Lona menguasai mobil — lagu-lagu pop 2000-an yang mellow tapi entah kenapa berubah jadi soundtrack komedi karena tiga kepala ini tidak bisa diam.
Tiba-tiba Lona menunjuk layar mobil seolah menemukan harta karun.
“EH! Ini lagunya cocok banget buat Bia!” katanya penuh semangat.
Ia menaikkan volume sambil bernyanyi dramatis:
“Aku tak bisa bila kau tak di sisiku~”
Embun langsung ngakak.
Bia hanya melirik lewat spion. Minimalis tapi sangat mematikan.
“Lona,” katanya pelan. “Lo pengen gue parkir di jurang, ya?”
Lona langsung panik. “Eh jangan! Gue belum bayar cicilan kamera!”
Setengah panik, setengah ngakak, setengah drama.
Embun ikut tertawa keras sampai matanya berair. “Lo berdua kenapa sih hari ini chaotic banget—gue belum siap mental.”
Bia menghela napas pelan, akhirnya ikut tersenyum.
“Sabar. Ini baru mulai, Bun. Perjalanan kita masih panjang.”
Dan benar saja—suasana mobil langsung berubah jadi campuran tawa, sarkasme, dan komentar-komentar absurd yang hanya keluar ketika tiga perempuan ini berada dalam mobil yang sama.
Mobil terus melaju menembus udara yang makin dingin, sementara kabut tipis mulai muncul di antara pepohonan pinus. Lagu mellow 2000-an berganti ke lagu upbeat yang Lona pilih seenaknya.
Setelah puas mengganggu Bia dengan drama lagu patah hati, Lona mendecak sambil menatap ke luar jendela. Lalu—tanpa aba-aba apa pun—lehernya berputar perlahan ke arah kursi belakang tempat Embun duduk. Ada sorot mata penuh niat.
Embun yang sedang sibuk mengatur posisi duduk langsung merasa ada bahaya mendekat.
“…Apa?” tanyanya pelan.
Lona menaikkan kacamata hitamnya ke atas kepala. Senyumnya... licin. Licin banget.
“Bun…” suaranya turun satu oktaf. “Gue mau nanya sesuatu.”
“Jangan,” sahut Embun cepat, refleks memegang sabuk pengaman seolah itu pelindung diri.
Bia, yang dari tadi fokus nyetir, melirik lewat spion. “Sudah dimulai.”
Lona memutar badannya, sekarang menghadap penuh ke Embun seperti wartawan infotainment menemukan gosip panas. “Cuma mau nanya,” katanya sambil memonyongkan bibir manisnya, “chat lu sama Mr. Don’t Know gimana??”
Embun langsung tersedak udara. “Lona…” suaranya melemah seperti baterai mau habis. “Gue mohon… jangan mulai di mobil ini.”
“Terlambaaat.” Lona menepuk dashboard mobil, membuat Bia hampir buang setir ke kiri.
“Lo tuh, Bun,” lanjut Lona dengan semangat, “udah kayak kucing jatuh cinta. Senyum-senyum, cek HP tiap dua menit, terus kalau ada notifikasi langsung melompat kayak popcorn masuk minyak panas.”
Embun menutup wajah dengan kedua tangan. “Ampun, sumpah… gue cuma lagi… chatting biasa.”
“Biasa?” Lona langsung memekik dramatis. “Biasa apaan? Lo kemarin mandi aja ketar-ketir nunggu balasan! Biaaa, lo tau nggak, ini orang sampe keluar kamar mandi setengah busa cuma buat ngecek HP!”
Bia menghela napas dalam. “Gue bukan terkejut sama ceritanya,” katanya kalem, “tapi sama fakta bahwa gue udah nggak kaget sama kelakuan Embun.”
“BIAAA!!” Embun teriak lirih.
Lona makin menjadi. “Dan… yang lebih menarik adalah…” Ia menatap Embun seperti detektif menemukan bukti kriminal. “Lo sekarang prioritasnya diaaaaa. Ari sepi. Dion punah. Tapi cowok salah nomor itu? LAGIIIIII terngiang-ngiang di otak lo.”
Bia menambahkan, kini dengan nada tenang tapi menusuk, “Lo bahkan belum tahu nama dia, kan?”
Embun memeluk totebag-nya erat, seperti memegang bayi. “…Belum,” katanya lirih.
Lona menepuk paha. “YA ALLAH! Biaaa… dia jatuh cinta sama suaraaaa!”
Bia tersenyum tipis. “Suaranya memang bagus?”
Embun menatap ke luar jendela, pipinya panas. “…Lumayan.”
Lona teriak lagi. “LUMAYAN KATANYA! Padahal kemarin pas gue denger voice note-nya lo langsung pucet biru terus senyum merah muda!”
Embun menutup wajah. “Gue malu…”
Tapi Bia menimpali dengan lembut, “Nggak apa-apa. Jatuh hati itu normal. Mau salah nomor kek, salah pintu kek… hati tuh kalau ketemu orang yang pas, ya nyangkut.”
Lona mengangguk dramatis, tangannya di dada. “Iya, Bun. Hati lo lagi laper… dan cowok itu ngasih cemilan kecil tiap pagi.”
Embun terdiam. Lalu perlahan—pelan banget—senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Senyum yang tidak berhasil ia tahan.
Dan Lona langsung teriak lagi. “TUH KAN! SENYUM ITU LOOHHH! BIA LIAT NIIHHH!!”
Bia hanya menggeleng sambil tetap fokus menyetir. “Udah, Lo. Kasih dia bernapas. Kita baru nyampe separuh jalan.”
Tapi di kursi belakang, Embun masih memeluk totebag-nya dan menatap ponsel di pangkuannya.
Satu chat dari seseorang yang bahkan belum ia lihat wajahnya… entah kenapa terasa lebih hangat daripada matahari sore di luar jendela.
**
Udara sore di Puncak menyentuh wajah mereka seperti tamparan lembut—segar, lembap, dan sedikit menusuk dingin. Kabut tipis mulai turun, menggantung di antara pohon-pohon pinus dan melingkupi deretan cabin hotel yang berdiri berjajar di lereng bukit. Aroma tanah basah bercampur kayu pinus memenuhi udara, bikin suasana terasa seperti dunia lain yang jauh dari hiruk pikuk Jakarta.
Tawa—dan keluhan—tiga perempuan itu langsung memecah keheningan alam saat mereka turun dari mobil.
Bia membuka aplikasi peta di ponselnya sambil mengernyit serius. “Ehm… jadi, kamar kita itu namanya Cabin Sakura Hill — Top View.”
Embun baru menurunkan koper kecilnya dari bagasi, memandang ke arah bukit yang menjulang di depan mereka. “Top view? Seberapa ‘top’ sih maksudnya?”
Lona mengikuti arah pandangan Embun… dan detik berikutnya wajahnya berubah drastis. Mata melebar. Bibir terbuka. Seluruh jiwa menolak realita.
“OH. MY. GOD.” Dia menunjuk ke atas bukit. “Itu bukan top view, itu Mount Everest versi mini! Siapa sih yang booking? HA? SIAPA?”
Bia angkat tangan santai sambil nyengir cool. “Gue. Biar dapet sunrise yang estetik. Bisa buat konten lo, Lo.”
Lona fix meledak. “BIAAAA!”
“Gue pengin liburan, bukan program survival! Ini namanya lo menjebak gue masuk acara ‘Naik Bukit, Turun Derajat’!”
Embun ngakak sampai harus memegang koper untuk penyangga hidup. “HAHHAHA Lonaaa… belum mulai aja udah drama. Nanti juga adem kok pas nyampe atas.”
“Wait, gue cek-in dulu. Kalian tunggu sini,” ujar Bia sambil merapikan jaketnya dan berjalan ke arah resepsionis cabin hotel.
Embun dan Lona menunggu di area lobby luar yang terbuat dari kayu, sambil memandangi kabut tipis yang turun dari arah bukit. Suasana hening, hanya suara angin dan beberapa tamu lain yang lewat.
Sekitar lima menit berlalu sebelum Bia kembali — langkahnya mantap, satu tangan menggenggam keycard dan map kecil berisi petunjuk arah.
“Oke, kita dapet,” katanya sambil menunjuk ke atas bukit. “Kabin Sakura Hill, yang paling atas.”
Embun mengangguk, sementara Lona langsung mengerang dramatis.
“Astaga… kita jalan ke sana kaaahh?” Namun tetap saja ia mulai melangkah mengikuti kedua sahabatnya.
Mereka pun mulai berjalan menaiki jalur setapak menanjak menuju kabin mereka, koper-koper kecil ditarik dengan penuh perjuangan sementara kabut dan udara dingin mulai menyelimuti.
Lona menyeret kopernya—sayangnya rodanya nyangkut batu pertama yang dia temui. “Adem dari mana?! Gue baru mulai nanjak aja udah mau menyerah pada hidup!”
Bia menepuk bahunya sambil berjalan santai, jaketnya berkibar anggun seperti model outdoor magazine. “Ayolah, Lo. Fotografer profesional kayak lo masa kalah sama bukit kecil?”
“GUE PROFESIONAL KAMERA, BIA! BUKAN PENDAKI GUNUNG!” teriak Lona tidak terima. Dan Embun nyaris jatuh saking ngakaknya.
Perjalanan mendaki cabin itu memakan waktu lima belas menit—penuh suara keluhan Lona, napas ngos-ngosan, tawa Embun, dan komentar datar Bia yang entah kenapa selalu kena di momen paling tepat.
Tapi ketika mereka akhirnya sampai di depan cabin… Lona langsung collapse dramatis di tangga depan.
Cabin-nya cantik luar biasa—kayu coklat tua, jendela besar dari lantai ke langit-langit, atap segitiga dengan lampu-lampu kuning kecil menggantung. Kabut turun pelan di belakangnya, bikin suasana makin magis.
“Gue nggak mau turun lagi,” ujar Lona lemas sambil menatap langit kosong. “Sekali ini aja gue bangga jadi kaum rebahan… di ketinggian.”
Bia dan Embun kompak tertawa, suara mereka menggema lembut di area lereng bukit. Bia membuka pintu cabin dan melambaikan tangan.
“Tapi liat deh pemandangannya!”
Embun melangkah masuk ke balkon kecil, matanya membesar. Lampu-lampu kota jauh di bawah berkelip seperti bintang terbalik. Kabut tipis membuat semuanya tampak lembut dan sureal.
“Wow…” Embun menghembuskan napas tak percaya. “Ini… indah banget.”
Bia berdiri di sebelahnya, kedua tangannya masuk kantong jaket. “Worth it, kan? Capek lo kebayar.”
Dari tangga, terdengar suara datar penuh sikap: “Capek kebayar, betis gue nggak.”
Embun menoleh sambil ngakak. “Lo tenang aja, nanti malam gue pijitin asal lo jangan ngoceh terus.”
Lona langsung bangkit seperti zombie mendapat harapan baru. “DEAL!” Wajahnya masih masam, tapi matanya sudah terang dan semangat.
Mereka masuk ke cabin sambil tertawa, membawa koper, jaket, dan energi khas persahabatan yang cuma mereka bertiga punya. Di luar, langit mulai gelap. Tapi di dalam cabin—hanya dengan lampu gantung kayu, aroma kayu hangat, dan suara tawa mereka—suasananya terasa jauh lebih terang. Puncak malam itu menjanjikan cerita baru.
Dan mereka siap menuliskannya.
*
Cabin kayu itu terasa hangat begitu mereka masuk. Lampu gantung bernuansa amber memantulkan cahaya lembut ke seluruh ruangan: dinding kayu pinus, sofa abu-abu yang empuk, dan selimut tebal tersampir rapi. Aroma lilin vanila yang disediakan pihak cabin langsung memenuhi udara.
“Tuh kaaan,” ujar Bia puas sambil menaruh ransel di sofa. “Estetik, cozy, dingin, dan nggak ada suara klakson. Perfect.”
Lona menjatuhkan diri ke karpet bulu dekat kasur. “Gue mau rebahan sambil nunggu betis gue balik dari alam baka.”
Embun tertawa sambil membuka koper dan mulai mengeluarkan pakaian. “Koper lo isinya apa sih? Kenapa kayaknya berat banget tadi?”
Lona mengangkat tangan tanpa daya. “Kamera. Tripod. Lensa. Ringlight kecil. Kabel charger. Baju cuma dua.”
Bia langsung memijat pelipis. “Gue ngerti kenapa koper lo lebih berat dari hidup gue.”
Embun menata baju di lemari kecil dekat jendela, sementara Bia menyusun skincare dan charger di meja rias cabin. Lona masih tergeletak seperti ikan asin habis dijemur.
“Bun, gue butuh spa,” rengek Lona. “Pijat betis minimal satu lagu slow.”
“Boleh,” jawab Embun sambil tertawa. “Tapi lo janji jangan koar-koar kalau sakit.”
“NGGAK—” Lona berhenti dua detik. “Mungkin iya. Tapi gue janji setengah hati.”
Embun menggeleng geli.
Tiba-tiba— TING!
Suara notifikasi memantul jelas di ruangan sunyi itu.
Refleks, Embun yang sedang melipat hoodie langsung tegak seperti alarm kebakaran menyala. Ponselnya yang ia letakkan di kasur bergetar pelan.
Lona, meski rebahan setengah mati, refleks mendongak.
“HEH. HEH. Itu pasti Mr. Don’t Know!”
Bia menoleh dari meja rias. “Mukanya langsung berubah.”
Embun meraih ponsel dengan hati-hati, hampir gugup. Layarnya menyala:
**Mr. Don't know :**Udah nyampe?
Embun menggigit bibir bawahnya, pipinya hangat.
Bia memiringkan kepala. “Udah. Cekikikan.”
Lona bangkit sambil melotot kepo. “BUN BUN BUN CEPET BALAS!”
Embun menepis tangan Lona. “Ya elah sabar, napas dulu.”
Ia mengetik pelan:
Embun: Udah nyampe. kamar-nya cakep banget, tapi lutut kita hampir pensiun dini.
Langit langsung balas.
Mr. Don’t Know: Senang dengernya. Have fun. Jangan lupa pakai jaket soalnya dingin di sana.
Embun menatap layar lamaaaa… Ada sesuatu yang terasa lembut dari pesannya kali ini.
Lona langsung memelintir tubuh ke arahnya. “KENAPAAA LO SENYUMNYA PELAN GITU?? INI SENYUM BAPER NIH!”
Bia duduk di ujung kasur. “Balas apa?”
Embun mengetik kecil sambil menahan malu
Embun: Dinginnya kalah sama lo yang suka ngasih kalimat random.
Send.
Lona menggeliat kegirangan. “YESSS!!! INI DIA KEMBALI!!! FLIRTING MODE: ACTIVATED!”
Embun menutup wajahnya pakai bantal. TING!
Mr. Don’t Know: Hati-hati. Jangan sampai kebiasaan.
‘Mati gue’ jerit embun dalam hatinya. Dia jatuh ke kasur, berguling sambil menjerit dalam bantal. Bia cuma geleng-geleng melihatnya.
“Gue nggak nyangka… Embun bisa jadi gini gara-gara salah nomor,” kata Bia lirih tapi geli.
“FATE, baby,” sahut Lona. “Takdir tuh kreatif.”
Setelah unpacking selesai (dengan Lona mengeluh 70%, Bia mendisiplinkan lemari, dan Embun bolak-balik cek HP), mereka akhirnya duduk di balkon kecil cabin.
Udaranya dingin, menusuk tulang tapi nikmat. Kabut turun makin tebal, mengelilingi mereka seperti selimut alami. Lampu-lampu di lembah jauh berkelip-kelip seperti bintang jatuh yang tersesat.
Masing-masing memegang mug cokelat panas. Uapnya naik perlahan, menghangatkan hidung.
Lona berselimut tebal sambil merapat ke kursinya. “Gue cinta tempat ini. Kayak setting drama Korea versi low budget tapi vibes-nya mahal.”
Bia menyeruput cokelat panas. “Daripada drama Korea, lebih kayak reality show ‘Cari Jodoh Lewat Kesalahan Teknis’.”
Embun memutar mata sambil nyengir. “Sialan amat lo pada.”
Lona mencondongkan tubuh dengan tatapan licin. “Ayo, Bun. Cerita dari awal. Dari voice note pertama sampai chat terakhir yang bikin lo gulung-gulung di kasur tadi.”
Embun menghela napas… lalu tertawa kecil. “Ada apa sih sama gue? Tadi gue mandi aja senyum-senyum. Ini normal nggak sih?”
Bia menjawab tanpa menengok, tapi suaranya hangat. “Normal. Jatuh hati itu gitu.”
Lona menambahkan, “Dan jangan lupa, jatuh hati sama cowok misterius itu aesthetic banget. Gue dukung 178%.”
Embun memeluk mug-nya—hangat, manis, menenangkan. Matanya memandang lampu kota jauh di bawah. “Gue cuma takut… kalo ini cuma salah paham. Salah nomor. Salah ekspektasi.”
Bia menatapnya, lembut. “Kalau salah pun… setidaknya proses jatuhnya indah.”
Lona menjentikkan jari. “Asal jangan jatuh di bukit tadi, bisa beda cerita.”
Tawa mereka pecah serempak, menggema di antara kabut malam. Embun menatap ponselnya sekali lagi, senyum kecil muncul di ujung bibirnya.
Di tempat yang jauh dari kota, dingin, kabut, dan hiruk pikuk dunia, ia merasakan sesuatu yang jarang ia rasakan.
*
tbc