Cerita cinta seorang duda dewasa dengan seorang gadis polos hingga ke akar-akarnya. Yang dibumbui dengan cerita komedi romantis yang siap memanjakan para pembaca semua 😘😘😘
Nismara Dewani Hayati, gadis berusia 20 tahun itu selalu mengalami hal-hal pelik dalam hidupnya. Setelah kepergian sang bunda, membuat kehidupannya semakin terasa seperti berada di dalam kerak neraka akibat sang ayah yang memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Tidak hanya di situ, lilitan hutang sang ayah yang sejak dulu memiliki hobi berjudi membuatnya semakin terpuruk dalam penderitaan itu.
Hingga pada akhirnya takdir mempertemukan Mara dengan seorang duda tampan berusia 37 tahun yang membuat hari-harinya terasa jauh berwarna. Mungkinkah duda itu merupakan kebahagiaan yang selama ini Mara cari? Ataukah hanya sepenggal kisah yang bisa membuat Mara merasakan kebahagiaan meski hanya sesaat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rasti yulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TCSD 9 : Kedatangan Juragan Karta
Matahari mulai meninggi. Sinarnya yang terasa sangat terik seolah membakar kulit siapapun yang saat ini berada di bawahnya secara langsung. Sang bayu pun terasa berhembus kencang membelai daun-daun pohon jati yang membuatnya jatuh berguguran. Pada saat musim seperti ini, persediaan air menjadi langka yang mengharuskan mereka menghemat air yang tersimpan di dalam tubuhnya. Dengan menggugurkan daun-daunnya mereka berusaha beradaptasi untuk mengurangi penguapan.
Juragan Karta memandang lahan jati di hadapannya ini dengan tatapan yang dipenuhi oleh kebahagiaan. Pada akhirnya, niatannya untuk mempersunting wanita paling cantik di desanya ini tak lama lagi akan menjadi nyata.
Tidak hanya di mata juragan Karta, di mata orang-orang yang berada di dekat Mara, pasti mereka sependapat jika menjadikan Mara sebagai wanita paling cantik di desa ini. Wajah Mara memiliki perpaduan antara wajah orang pribumi dengan orang Belanda. Hal itu memang karena Paramitha Andadari yang tidak lain adalah ibunda Mara merupakan wanita berdarah Belanda yang sudah lama menetap di desa ini. Memiliki wajah yang ayu, ditambah dengan suara yang begitu merdu, membuat Paramitha Andadari pernah mencapai masa keemasannya dengan menjadi seorang sinden yang begitu terkenal di desa ini. Tidak hanya di desa ini, bahkan di desa-desa yang lain pun Paramitha Andadari adalah satu-satunya sinden yang memiliki daya pikat tersendiri.
Namun keberuntungannya di dunia sinden, berbanding terbalik dengan kehidupan pribadinya. Paramitha yang terpikat oleh pesona sang pemuda tampan bernama Baskara Aji Sadewo yang sama sekali tidak memiliki pekerjaan yang tetap dan hanya mengandalkan warisan dari orangtuanya, justru semakin membuat hidupnya seakan kian tersiksa. Bahkan semua yang sudah mereka miliki habis begitu saja karena kebiasaan berjudi yang dilakukan oleh lelaki itu. Hingga pada akhirnya Paramitha meninggal, mungkin karena sudah tidak sanggup lagi menanggung beban hidupnya.
"Dulu, aku kalah dengan Baskara karena dia lah yang berhasil menikahi wanita yang aku cintai. Namun kini aku tidak akan kalah lagi, karena putri dari Paramitha sebentar lagi akan menjadi istriku." Karta menghisap pipa rokok kuat-kuat kemudian mengepulkan asapnya. "Tidak mendapatkan ibunya, anaknya pun jadi. Aku rasa Mara jauh lebih cantik daripada Paramitha, hahahaha!"
Karta terus terbahak girang. Memiliki tiga istri, sepertinya masih belum cukup untuk lelaki yang bahkan sudah memasuki usia senja itu. Entah apa yang ia gunakan, karena di usianya yang hampir memasuki usia lanjut ini, Karta masih terlihat segar dan bugar.
"Juragan apakah malam nanti jadi bertandang ke rumah bu Tanti?"
Pramono yang merupakan orang kepercayaan Karta tiba-tiba datang mengagetkan lelaki yang tengah larut dalam pikirannya sendiri itu. Ia membalikkan badannya dan terlihat, Pramono sudah berada di balik punggungnya.
"Itu sudah pasti Pram. Nanti malam aku akan bertandang ke rumah Tanti. Tentunya untuk membahas pernikahanku dengan Mara."
"Untuk nanti malam, apa saja yang harus saya persiapkan Juragan?"
Karta terlihat sejenak berpikir. Kedua bola matanya berotasi dan sesekali ia mengepulkan asap dari pipa rokok yang ia hisap.
"Siapkan satu kuintal beras, beberapa macam keperluan dapur seperti minyak, telur, gula, tepung, buah-buahan, pakaian dan jangan lupa beberapa ekor ayam, barangkali Tanti akan memelihara ayam itu untuk kerja sampingan."
Pramono sedikit tersentak dengan apa yang diucapkan oleh sang majikan. "Juragan, apakah nanti malam adalah acara lamaran? Mengapa barang-barang yang di bawa oleh juragan banyak sekali?"
"Ya, bisa dikatakan seperti itu. Malam nanti aku akan secara langsung melamar anak gadis yang merupakan putri semata wayang laki-laki yang dulu menjadi sainganku. Dan kalaupun itu bukanlah lamaran, tidaklah mengapa karena hartaku tidak akan habis hanya untuk membawakan barang-barang itu untuk calon istriku."
"Baik Juragan. Saya akan mempersiapkan semuanya."
"Bagus Pram, persiapkan semuanya dengan sempurna. Aku ingin memanjakan calon istriku, agar dia semakin cinta kepadaku."
"Siap Juragan!"
Pramono mulai mengayunkan kakinya untuk meninggalkan sang juragan. Namun baru beberapa meter ia menggeser tubuhnya...
"Pram!"
Langkah kaki Pramono terhenti. Ia kembali menoleh ke arah sang juragan. "Ya Juragan?"
"Apakah aku tidak terlalu tua untuk menjadi pendamping hidup Mara?"
"Tentu saja tidak Juragan. Meskipun usia juragan Karta sudah hampir memasuki usia senja, namun Juragan masih terlihat awet muda, bahkan perkasa. Masih seperti lelaki berusia empat puluh tahunan."
Pandangan mata Karta sedikit menerawang. "Kira-kira kelak anakku dengan Mara akan mewarisi wajah siapa? Apakah dia akan mewarisi wajah ibunya? Atau aku?"
"Tentu saja wajah juragan dan Mara yang akan berpadu, menjadi sosok anak yang tampan jika laki-laki, dan akan cantik jika perempuan."
"Ya, bisa dikatakan dengan menikahi Mara akan memperbaiki keturunanku Pram."
"Saya sangat setuju Juragan."
"Baiklah. Lekas persiapkan segala sesuatunya Pram. Ingat, jangan sampai terlewat apapun itu."
"Siap Juragan."
***
Mara memandangi hamparan langit luas dengan tatapan menerawang di balik jendela kamarnya. Malam ini terlihat begitu suram, sang rembulan sama sekali tidak mau menampakkan wajahnya. Ia memilih untuk bersembunyi di balik awan. Sedangkan para kerlip bintang, mereka juga memilih untuk bersembunyi, tidak sedikitpun memperlihatkan kilauannya.
Hati Mara layaknya langit malam ini. Suram tanpa secercah sinar harap yang menerangi. Hatinya berkecamuk, memikirkan apa yang akan terjadi di malam hari ini. Dan mungkin malam ini adalah akhir dari hidupnya sebagai seseorang yang memiliki kebebasan karena mulai malam ini, ia akan resmi dipinang oleh juragan Karta.
"Mara, bersiaplah! Sebentar lagi juragan Karta akan segera tiba!"
Suara Tanti yang berada di luar kamar membuat Mara tersadar dari lamunannya. Kini sudah tidak ada lagi yang dapat ia lakukan selain hanya terus mengikuti kemana arus takdir menyeret tubuhnya.
"Nak, ini adalah kesempatan terakhirmu. Pergilah dari sini!"
Baskara yang sedari tadi duduk manis di belakang sang anak, berucap lirih. Hatinya seakan ikut bergemuruh melihat keadaan sang anak yang seperti ini. Malam ini, meskipun sang anak terlihat begitu cantik dengan setelan kebaya berwarna putih, namun itu semua tidak dapat menutupi kesedihan mendalam yang begitu terlihat di raut wajahnya.
Mara berjalan mendekat ke arah sang ayah. Ia mengambil posisi jongkok dan kemudian meraih jemari tangan sang ayah. "Mara tidak akan pergi, Ayah. Jika Mara pergi, keselamatan Ayah bisa terancam. Mara tidak ingin hal buruk terjadi kepada Ayah."
"Nak, Ayah mohon. Pergilah dari tempat ini. Biarkan Ayah melakukan sesuatu untuk kebahagiaanmu Nak, karena selama ini Ayah belum sempat untuk membahagiakanmu."
"Ayah, Mara pernah berjanji akan selalu menjaga Ayah. Dan jika saat ini Mara meninggalkan tempat ini, itu sama saja Mara mengingkari janji Mara sendiri."
Baskara menggeleng. "Tidak Nak. Dengan kamu lari dari tempat ini, yang akan membuat Ayah berbahagia di akhir kehidupan Ayah. Pergilah dari tempat ini Nak. Izinkan Ayah untuk menebus semua dosa-dosa yang pernah Ayah lakukan terhadapmu dan juga terhadap ibumu!"
"T-tapi Yah...."
Ucapan Mara terhenti setelah ia mendengar suara sepatu kuda yang begitu memekak telinga. Mara kembali berdiri di balik jendela, dan terlihat beberapa andong telah berhenti di depan rumahnya. Dan andong-andong itu membawa beberapa barang yang secara khusus dibawakan oleh juragan Karta untuknya. Wanita itu hanya tersenyum getir. Ternyata raga yang ia miliki akan ditukar dengan barang-barang itu.
Sementara itu di halaman depan, Tanti dan juga Puspa sudah menyambut kedatangan juragan Karta dengan senyum yang merekah. Kedua wanita itu tiada henti tersenyum lebar karena sebentar lagi mimpi-mimpi mereka menjadi orang kaya akan segera menjadi kenyataan. Pastinya dengan tiga hektar kebun jati yang dijanjikan oleh juragan Karta.
"Selamat datang di gubug kami ini Juragan!"
Dengan suara lembut, Tanti memberikan ucapan selamat datang untuk tamu agungnya. Karta yang berada di hadapan Tanti, hanya memutar kedua bola matanya, menatap lekat bangunan yang ada di depannya ini.
"Ini memang benar-benar gubug dan tidak layak disebut sebagai rumah. Apakah suamimu begitu miskin, hingga tidak dapat memberikan rumah yang layak untuk calon istriku?"
Tanti hanya mengulas sedikit senyumnya. "Ya memang seperti inilah keadaan kami, Juragan. Namun dengan niatan juragan Karta mempersunting Mara, pastinya akan bisa merubah nasib kami ini."
Tanti berkali-kali memuji Karta, ia berpikir dengan seringnya ia memuji lelaki tua di hadapannya ini, bisa membuat Karta merasa senang. Dan bisa jadi, ia akan lebih banyak mendapatkan sesuatu dari Karta yang jauh lebih banyak lagi.
Karta tersenyum tipis. "Kamu tidak perlu khawatir, setelah aku menikahi Mara, aku akan membangunkan untuk kalian sebuah rumah mewah."
Wajah Tanti dan Puspa semakin berbinar. Tidak menyangka jika mereka akan mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda seperti ini dengan menjadikan Mara sebagai istri juragan Karta.
"Lalu bagaimana dengan lahan jati yang kemarin Juragan janjikan? Apakah saat ini saya sudah bisa mendapatkannya?"
Tanpa malu-malu, Tanti menanyakan apa yang telah dijanjikan oleh Karta. Rupanya wanita paruh baya itu sudah tidak sabar ingin segera menikmati imbalannya.
Karta sedikit terbahak. "Pram, ambilkan map coklat yang tadi aku bawa."
Dengan patuh Pramono mengambil map berwarna coklat yang dimaksud oleh sang Juragan, setelah itu ia berikan kepada Karta.
"Ini lahan jati seluas tiga hektar yang aku janjikan kepadamu!" Ucap Karta seraya menyerahkan map coklat itu kepada Tanti.
Buru-buru Tanti menerima map coklat itu dan melihat isinya. Matanya terbelalak, tatkala melihat sebuah sertifikat kebun jati seluas tiga hektar sudah beralih menjadi namanya.
"Juragan... I-ini?"
"Ya, aku tidak pernah ingkar dengan apa yang telah aku janjikan. Sekarang lahan jati itu sudah sah menjadi milikmu."
Tanti meraih tangan Karta dengan sedikit menundukkan kepalanya. "Terimakasih banyak Juragan, terima kasih." Tanti menjeda sejenak ucapannya. "Kalau begitu mari silahkan masuk Juragan. Pastinya Juragan sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan Mara, bukan? Akan saya panggilkan Mara."
"Ya, memang itu maksud dan tujuanku datang kemari."
"Emmmmm Juragan!"
Karta menoleh ke arah Pramono yang tetiba memanggilnya. "Ada apa Pram?"
"Bagaimana kalau saya saja yang memanggil Mara? Untuk berjaga-jaga kalau saja Mara akan melarikan diri."
Karta terlihat menimbang perkataan tangan kanannya ini sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. "Benar juga apa katamu Pram. Baiklah bawa Mara ke hadapanku saat ini juga."
Pramono mengangguk. "Ibu Tanti, di mana letak kamar Mara? Biarkan saya yang memanggilnya."
"Ada di dekat dapur Pram. Lekas lah bawa Mara kemari!"
"Baik!"
Pramono melangkahkan kakinya menuju arah dapur. Sedangkan Tanti, Karta dan Puspa duduk di ruang tamu sembari menunggu kedatangan Mara sembari berbincang-bincang.
Di dalam kamar sang ayah, Mara terduduk lemas di atas ranjang. Kali ini ia benar-benar menantikan sebuah keajaiban yang bisa membawanya keluar dari rumah ini.
"Ssstttt Mara!"
Suara lirih seseorang mengusik jiwa Mara yang tengah larut dalam pikirannya sendiri. Ia menoleh ke arah pintu. "Anda siapa?"
Pramono mendekat ke arah Mara. "Tenang, jangan takut. Aku akan membantumu pergi dari tempat ini."
Ucapan dari Pramono seketika membuat Mara terperanjat. "M-maksud Anda?"
"Sudah, nanti bisa aku jelaskan kepadamu. Sekarang yang paling penting kita pergi dari tempat ini terlebih dahulu!"
"T-tapi Ayah saya?"
"Jangan khawatir. Aku akan menggendong ayahmu. Dan kita bisa sama-sama pergi dari tempat ini sekarang!"
Tanpa membuang banyak waktu, Pramono berjongkok di hadapan Baskara. Ia meminta Baskara untuk segera naik ke punggungnya. Setelah semua posisi sudah aman, ketiga orang itu mengendap-endap keluar dari rumah lewat pintu dapur.
Dengan hati-hati mereka melangkahkan kaki agar pergerakan kaki mereka tidak terdengar. Dan pada akhirnya mereka dapat keluar dari rumah dan mulai berlarian menembus pekatnya malam.
Sedangkan di ruang tamu, Karta merasa begitu gelisah karena yang sedari tadi dinanti, tak kunjung datang jua. Karta bangkit dari posisi duduknya "Antarkan aku ke kamar Mara!"
Tanti menurut. Ia kemudian berjalan di depan Karta untuk menuju kamar sang anak tiri. Ketika Tanti membuka pintu kamar, betapa terkejutnya ia karena ia tidak melihat satu orang pun berada di dalam kamar ini. Hanya ada sebuah kursi roda yang yang sama sekali tidak ada pemiliknya.
Karta yang melihat kamar ini dalam keadaan kosong hanya bisa mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras dan raut wajahnya nampak seperti seseorang yang tengah menahan amarah.
"Dasar penghianat kamu Pram!!!"
.
.
. bersambung...
mengecewakan😡