Niatnya mulia, ingin membantu perekonomian keluarga, meringankan beban suami dalam mencari nafkah.
Namum, Sriana tak menyangka jika kepergiannya mengais rezeki hingga ke negeri orang, meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil – bukan berbuah manis, melainkan dimanfaatkan sedemikian rupa.
Sriana merasa diperlakukan bak Sapi perah. Uang dikuras, fisik tak diperhatikan, keluhnya diabaikan, protesnya dicap sebagai istri pembangkang, diamnya dianggap wanita kekanakan.
Sampai suatu ketika, Sriana mendapati hal menyakitkan layaknya ditikam belati tepat di ulu hati, ternyata ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isyt : 27
Kedua tangan Ambar refleks menutupi telinga dan sebagian wajah, matanya terpejam kala tadi melihat tangan besar itu terayun.
PLAK!
“Jangan pukul adikku!” Septian menahan rasa sedikit sakit pada pundak yang terkena pukulan tangan. Dia memeluk Ambar melindungi sang adik dari belakang.
Didorongnya tubuh ringkih, bergetar agar menempel pada dinding tembok. Septian berdiri memandang benci pada wajah memerah yang tangannya masih terangkat. “Aku diam saja saat kamu perlakuan kejam, tapi jangan harap tetap diam ketika adikku hendak kamu kasari!”
Hilang sudah tak bersisa, tertinggal kebencian mulai mendarah daging. Dia tidak lagi memiliki sekerat rasa hormat, apalagi rasa sayang.
Semua terdiam, terkejut sekaligus mulai was-was. Septian bukan lagi anak delapan tahun, umurnya hampir mencapai dua belas tahun.
Direbutnya lagi kado yang dipegang Eli, anaknya Triani. “Kalau kalah itu ya terima saja, bukannya merebut hak milik orang lain. Masih kecil tapi sikap serta sifatmu jelek sekali!”
Hadiah tadi diberikan ke Ambar. Sang adik langsung berlari ke teras, dia teringat pesan ibunya jika ada tanda-tanda kekerasan harus berteriak.
Baru saja Ambar mau menjerit, Dimas datang dengan berlari tergopoh-gopoh.
Mendengar derap langkah tergesa-gesa, Dwita keluar. Tubuhnya kaku seketika, lalu dia mendekati Ambar – meletakkan tangan pada pundak. Jari jempolnya menekan belakang leher sang keponakan yang tertutup kerah baju.
“Ambar kenapa?” Dimas mendekat, suaranya membuat orang di dalam rumah terhenyak.
Mulut Eli dibekap neneknya agar suara tangis teredam.
“Mas Dimas mau kemana, kelihatannya buru-buru?” Dwita menyahuti pertanyaan tadi.
Dimas berdiri tepat di bawah teras rumah, melirik Ambar yang menatap memohon. Ia pun paham, mencoba bertahan sampai Septian yang tadi berlari pulang, keluar dari dalam.
“Aku mencari Septian, apa dia sudah pulang? Tadi aku dititipi amanah dari guru ngajinya.”
“Apa itu, Mas? Nanti tak sampaikan ke_” belum selesai kalimatnya, Septian keluar dari dalam rumah.
“Kenapa, Lek?”
Melihat keadaan Septian baik-baik saja, Dimas pun merasa lega. “Katanya nanti masuk ngajinya lebih cepat. Biar cukup waktu untuk latihan acara khatam Al-Qur'an.”
Ya, sebelum bulan puasa tahun depan – Septian sudah khatam Al-Quran, sementara Ambar masih Iqro.
Walaupun mereka mengalami ketidakadilan, diperlakukan semena-mena, tapi semangat menimba ilmu di bangku sekolah serta agama tetap membara. Hal tersebut juga dijadikan pelarian, karena cuma disana Ambar serta Septian merasa aman, jauh dari jangkauan para manusia tirani.
“Aku tak mandi dulu ya, Lek. Abis itu langsung pergi ngaji bareng Ambar.”
“Ya sudah, jangan sampai terlambat. Nanti kalian disusul sama pak Ustadz nya, kan malu!” nadanya sedikit mengancam, aslinya memberikan peringatan kepada sosok yang mengintip dibalik kaca jendela gelap.
Septian mengangguk, menarik lengan Ambar sampai tangan Dwita terhempas. “Cepat mandi, Dek! Terus ganti baju, lalu kita pergi ngaji.”
Ambar masuk kedalam rumah menuju kamar dekat dapur, kado tadi dia peluk erat.
Dimas berbalik badan, dia yakin untuk saat ini kedua anaknya Sriana aman.
Si sulung masuk lagi, melengos melewati tanpa memperlihatkan adab sopan santun.
Wiyah, dan Netira atau lebih akrab dipanggil nek Ita – saling melirik. Mereka sama-sama terkejut, sedikit was-was melihat sikap Septian yang biasanya pendiam, mengalah, tadi mulai menunjukkan pemberontakan.
Agung sendiri bersikap masa bodoh, memilih masuk kamar. Dia letih, ngantuk, disebabkan kalau malam jarang tidur, ikut mengelola tempat karaokenya.
***
Lima hari sudah berlalu, tiba-tiba Triani memanggil Sriana.
“Ada apa to, Mbak? Aku belum selesai nyuci kamar mandi.” Sri membuka sedikit daun pintu.
“Lelet banget kerjamu! Dari setengah jam lalu masa belum juga kelar.” Triani yang sedang mengunyah buah apel, menghina adik sepupunya.
“Buruan Sri! Nyonya nyuruh kita ganti baju bagus, mau diajak makan di restoran. Cepat sana selesaikan pekerjaanmu, terus urus nenek! Aku mau macak (dandan) dulu.” Dia melenggang pergi menuju lantai atas, tidak jadi berangkat ke pasar.
Sambil mengeringkan lantai yang tadi baru dia bilas setelah disikat bersih, batin Sriana penuh tanda tanya.
“Nggak biasanya Nyonya ngajak makan di restoran.” Bergegas dirinya menurunkan lengan baju dan celana, lalu keluar dari kamar mandi.
Bila triani sibuk membubuhkan bedak pada wajahnya, maka Sriana tidak kalah sibuk mengurus nenek. Mengganti pakaian khusus jalan-jalan, sampai menyiapkan keperluan lainnya.
“Sana kamu ganti baju!” Nenek menepuk pundak Sriana yang tengah bersimpuh, memakaikannya kaos kaki.
“Sebentar lagi, Nek.” Sriana beranjak, membuka lipatan kursi roda, mengunci ban agar tidak bergerak.
Wanita yang terlihat sedikit berbeda dari dua minggu lalu itu membopong nenek, mendudukkan di kursi roda. Kemudian mendorong alat bantu itu sampai ruang tengah, baru setelahnya dia berlari kecil naik ke lantai atas untuk berganti pakaian.
***
“Alhamdulillah,” Sri tengah bercermin, tersenyum senang melihat banyaknya bekas jerawat mulai kering, dan tidak ada lagi muncul yang baru.
Kulit tubuhnya pun jauh lebih sehat, segar, serta rambut tidak lagi banyak rontok sampai bagian depan seperti botak.
Efek obat jerawat yang entah bagaimana caranya sampai terminum oleh Sriana – bukan saja merusak kulit wajah, rambut serta kulit badannya pun terkena imbasnya.
Kini, perlahan-lahan bukti kesembuhan itu mulai tampak, meskipun terbilang sangat lamban, tapi Sriana puas akan hasilnya.
Karena itu juga, Triani yang memang tidak begitu teliti, malas memperhatikan sampai detail, melewati perubahan adik sepupunya. Terlebih saat ini musim dingin, sehari-hari badan Sriana terbungkus rapat oleh baju tertutup.
.
.
Bukan cuma anak nenek paling kecil bersama suaminya yang ikut makan di restoran. Ada juga putranya bobo nomor dua, datang sendirian.
Di atas meja bulat, terhidang makanan lezat, sebagian boleh dimakan oleh Sriana serta Triani – bebas daging Babi.
Nenek minta foto-foto dulu sebelum menyantap hidangan. Baru setelahnya baru makan.
“Makanlah yang banyak.” Nyonya menyumpit potongan ayam panggang, menaruh di piring Sriana lalu Triani.
Kedua pembantunya langsung mengucapkan terima kasih. Mulai makan sambil mendengarkan obrolan di sekitar mereka.
Tidak terasa hidangan terdiri dari Ayam panggang, Bebek panggang, mie dimasak campur Lobster, sayur brokoli diberi jamur serta seafood, dan sebagai penutup ada bakpao isi kacang hijau – hampir habis dimakan.
Mereka semua terlibat obrolan ringan, para majikan sangat ramah kepada kedua pekerjanya, sesekali Sriana tersenyum kala digoda sopan.
“Dulu saya pernah minta ke kamu ambilkan kaos kaki, tapi malah dirimu bawakan kain lap,” putra kedua nenek terpingkal-pingkal saat mengingat bagaimana Sriana belum bisa bahasa, sedangkan satu kosa kata bisa berbeda artinya, tergantung sedang membicarakan apa.
Wajah Sriana memerah, ya malu ya lucu. Awal masuk ke rumah nenek, dia mendapatkan banyak kesulitan saat diajak komunikasi.
***
Tepat pukul dua belas siang, mobil milik putra kedua nenek sudah berhenti ditepi jalan depan hunian ibunya.
Triani ingin cari muka, bergaya hendak membopong nenek, tapi langsung di larang sang nyonya. Berakhir melenggang seorang diri.
Kursi roda nenek di dorong oleh putri kandungnya. Mereka semua masuk ke dalam rumah.
“Triani ….”
Yang dipanggil langsung menoleh, dia baru saja mau ke dapur, berdiri di dekat meja televisi. “Ya, nyonya?”
“Bereskan semua barang milikmu! Lima jam lagi, pesawat yang akan mengantar kamu pulang ke Indonesia, berangkat.”
“A_pa? Ke … napa?”
.
.
Bersambung.
semoga berhasil
kacublik bikin para penghuni rumah Sri Podo teler sek Yo Ben Tian Ambar berhasil sek
semoga berhasil ambil Semua yg berharga,🤲🤲🤲
ada paparazi
lek Dimas?
naaaaaa kaaannnn
sudah lama hubungan mereka