Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Areta dipaksa menjadi budak nafsu oleh mafia kejam dan dingin bernama Vincent untuk melunasi utang ayahnya yang menumpuk. Setelah sempat melarikan diri, Areta kembali tertangkap oleh Vincent, yang kemudian memaksanya menikah. Kehidupan pernikahan Areta jauh dari kata bahagia; ia harus menghadapi berbagai hinaan dan perlakuan buruk dari ibu serta adik Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Dokter yang melihat ketegangan (dan kecanggungan) di ruangan itu hanya bisa tersenyum simpul sambil memeriksa grafik medis terakhir.
"Baiklah, Tuan De Luca. Melihat stabilitas kondisi Anda dan semangat Anda yang luar biasa pagi ini, saya menyatakan Anda boleh pulang sore ini."
Mendengar itu, mata Vincent langsung berkilat tajam.
Tanpa membuang waktu, ia menoleh ke arah Jonas yang berdiri siaga di dekat pintu.
"Jonas, siapkan jet pribadi sekarang. Pastikan semua rute sudah aman. Kita berangkat untuk bulan madu malam ini juga," perintah Vincent dengan nada mutlak, kembali ke mode pemimpinnya yang tak terbantahkan.
Areta yang masih berusaha menetralkan degup jantungnya dan rona merah di wajahnya, seketika mengernyitkan kening. Ia menatap suaminya dengan tatapan tidak percaya.
"Jadi, kita benar-benar akan bulan madu? Vin, kamu baru saja lepas dari maut beberapa hari lalu!" protes Areta.
Vincent menganggukkan kepalanya dengan pasti.
Ia meraih tangan Areta, menariknya lembut agar mendekat.
"Aku sudah berjanji, bukan? Aku tidak pernah menarik kembali kata-kataku. Selain itu, aku butuh tempat di mana hanya ada kau dan aku, tanpa gangguan dokter, perawat, ataupun musuh-musuhku."
Areta menghela napas, menyadari bahwa mendebat Vincent saat pria itu sudah memiliki keinginan adalah hal yang sia-sia. "Lalu ke mana kita akan pergi?"
Vincent tersenyum misterius. "Itu kejutan, Sayang. Yang perlu kau tahu, di sana kau tidak akan bisa lari ke mana-mana selain ke pelukanku."
Sebelum mereka benar-benar meninggalkan rumah sakit, aura dingin Vincent kembali menyelimuti ruangan.
Ia memberi isyarat kepada Jonas untuk mendekat, sementara Areta sibuk mengemas barang-barang pribadinya ke dalam tas.
"Jonas," panggil Vincent dengan nada rendah yang mengandung ancaman murni.
Jonas membungkuk hormat, menunggu perintah.
"Ya, Tuan?"
"Aku tidak ingin perjalanan bulan maduku terganggu oleh pikiran tentang tikus-tikus itu," ucap Vincent sambil menatap tangannya yang kini sudah bebas dari infus.
"Cari siapa yang berani menarik pelatuk itu. Aku tidak peduli siapa di belakangnya entah itu saingan bisnis atau bagian dari masa lalu yang belum tuntas."
Vincent berhenti sejenak, matanya berkilat tajam.
"Aku ingin saat aku menginjakkan kaki kembali di rumah setelah bulan madu, pelakunya sudah berada di ruang bawah tanah dalam keadaan hidup atau mati. Harus ada jawaban yang pasti."
Jonas menganggukkan kepalanya dengan tegas, memahami bahwa kegagalan bukanlah pilihan jika menyangkut nyawa tuannya yang hampir melayang kemarin.
"Saya mengerti, Tuan. Seluruh unit intelijen kita sudah bergerak. Saya pastikan jawabannya akan siap saat Anda kembali."
Vincent kemudian menoleh ke arah Areta yang sedang memperhatikan mereka dengan tatapan cemas.
Seketika, ekspresi keras di wajah Vincent melunak kembali. Ia tidak ingin istrinya ketakutan akan dunia gelap yang ia pimpin.
"Ayo, Areta. Lupakan soal penembakan itu untuk sementara," ajak Vincent sambil mengulurkan tangannya.
"Waktunya kita pergi ke tempat di mana hanya ada suara ombak dan hanya ada kita berdua."
Mobil mewah melaju tenang menuju bandara pribadi.
Di kursi belakang, Vincent duduk dengan satu tangan merangkul pundak Areta, sementara tangan lainnya menggenggam jemari istrinya.
Meski lukanya masih sering berdenyut, kehadiran Areta di sisinya terasa seperti obat bius yang jauh lebih kuat dari apa pun.
Vincent menyadari ada yang tidak beres. Areta tampak jauh lebih diam dari biasanya, pandangannya kosong menatap keluar jendela, dan wajahnya terlihat sedikit pucat.
"Apa ada sesuatu?" tanya Vincent lembut, memecah keheningan.
"Kamu memikirkan Clara? Atau kau takut pergi jauh bersamaku?"
Areta tersentak, lalu menoleh dan menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Tidak, Vin. Aku hanya sedikit lelah karena kejadian di rumah sakit tadi."
Sebenarnya, Areta sedang berjuang hebat melawan rasa gejolak di perutnya.
Rasa mual yang luar biasa tiba-tiba menyerang, membuat ulu hatinya terasa seperti diaduk-aduk.
Ia merasakan sensasi asam naik ke tenggorokannya, namun ia sekuat tenaga menelannya kembali.
"Jangan sekarang"batin Areta cemas.
Ia tidak ingin membuat Vincent khawatir, apalagi membatalkan rencana bulan madu yang sudah dipersiapkan pria itu dengan susah payah di tengah kondisinya yang belum pulih. Ia ingin memberikan momen tenang bagi suaminya.
"Wajahmu pucat, Areta. Tanganmu juga dingin," gumam Vincent, kini menyentuh pipi Areta dengan kening berkerut cemas.
"Jonas, kecilkan AC-nya. Nyonya kedinginan."
"Aku baik-baik saja, Vin. Sungguh," Areta mencoba tersenyum, meski senyum itu terlihat dipaksakan.
Ia menyandarkan kepalanya di dada Vincent, berusaha mencari posisi nyaman agar rasa mualnya mereda, sambil menghirup aroma parfum maskulin suaminya yang biasanya menenangkan namun kali ini, aroma itu justru membuat perutnya semakin bergejolak.
Jet pribadi mewah itu sudah menunggu dengan mesin yang menderu halus di landasan pacu.
Vincent, meskipun masih berjalan dengan sedikit kaku, tetap bersikap protektif dengan merangkul pinggang Areta saat mereka menaiki tangga pesawat.
Di dalam, kemewahan jet itu luar biasa, kursi kulit yang bisa direbahkan menjadi tempat tidur, pencahayaan hangat, dan pelayanan kelas satu. Namun, bagi Areta, semua kemewahan itu terasa berputar.
Bau interior pesawat yang khas dan aroma hidangan pembuka yang sudah tertata di meja kecil membuat perutnya benar-benar memberontak.
"Duduklah, Sayang," ujar Vincent sambil membantunya duduk di kursi yang paling nyaman.
"Hanya butuh beberapa jam untuk sampai ke pulau itu. Kamu bisa tidur selama perjalanan."
Areta hanya mengangguk lemah, tangannya meremas ujung blusnya, berusaha mengalihkan rasa mual yang semakin menjadi-jadi.
Ia memejamkan mata rapat-rapat saat jet mulai lepas landas. Tekanan udara saat take-off membuat kepalanya pening.
Vincent terus memperhatikan istrinya. Ia merasa ada yang aneh; Areta biasanya tidak sependiam ini jika menyangkut perjalanan jauh.
Ia meraih tangan Areta, mengecup punggung tangannya dengan lembut.
"Jika kamu merasa tidak enak badan, katakan padaku. Kita bisa meminta pilot putar balik," bisik Vincent dengan nada serius.
Areta membuka matanya sedikit, menatap wajah suaminya yang kini bersih tanpa brewok.
"Tidak, jangan. Aku hanya butuh sedikit udara segar dan mungkin air putih dingin."
Vincent segera menuangkan air mineral dingin dan memberikannya pada Areta.
Di tengah perjalanan menuju pulau pribadi mereka sebuah surga tersembunyi yang hanya dimiliki oleh keluarga De Luca.
Areta mulai bertanya-tanya dalam hati. Mual ini, pusing ini mungkinkah ini bukan sekadar kelelahan?
Penerbangan selama beberapa jam itu terasa sangat sunyi.
Areta akhirnya menyerah pada rasa peningnya dan tertidur pulas di bahu tegap Vincent.
Vincent sendiri tidak membiarkan matanya terpejam; ia terus mengawasi wajah istrinya yang tampak gelisah dalam tidurnya, sesekali mengusap keringat kecil yang muncul di dahi Areta.
Saat jet pribadi mendarat dengan mulus di landasan pacu pribadi pulau tersebut, hari sudah mulai senja.
Vincent membangunkan Areta dengan lembut, namun istrinya itu tampak sangat linglung.
Dengan sabar, Vincent menggandeng tangan Areta menuruni tangga jet dan berjalan menuju mobil mewah yang sudah menunggu di pinggir landasan.
Namun, baru beberapa langkah menuju pintu mobil, tubuh Areta mendadak limbung.
Wajahnya pucat pasi, dan keringat dingin membasahi seluruh lehernya.
Sebelum Vincent sempat bertanya, mata Areta terpejam rapat dan ia langsung jatuh pingsan di pelukan suaminya.
"Areta!! Sayang!!" teriak Vincent panik.
Tanpa membuang waktu, Vincent membopong tubuh mungil istrinya dengan gaya bridal style, mengabaikan rasa perih di dadanya sendiri yang sebenarnya belum pulih total.
Ia masuk ke dalam mobil dan memerintahkan sopirnya melaju secepat kilat menuju villa mewah miliknya.
"Cari dokter! Siapa pun dokter yang ada di sekitar pulau ini, bawa ke villa dalam sepuluh menit atau aku akan meratakan tempat ini!" perintah Vincent lewat ponselnya kepada anak buahnya dengan suara yang menggelegar penuh amarah dan ketakutan.
Sesampainya di villa, Vincent membaringkan Areta di ranjang utama yang besar.
Tak berselang lama, seorang dokter pria paruh baya yang tinggal di resor terdekat datang dengan terengah-engah.
Saat dokter itu mulai memeriksa denyut nadi Areta dan menyentuh keningnya untuk mengecek suhu tubuh, rahang Vincent mengeras.
Ia berdiri tepat di samping ranjang dengan tangan yang terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
Matanya berkilat penuh kecemburuan dan amarah; ia sangat tidak suka melihat ada lelaki lain sekalipun itu seorang dokter yang menyentuh kulit istrinya.
"Hati-hati dengan tanganmu, Dok," geram Vincent dengan suara rendah yang mengancam.
"Lakukan tugasmu dengan cepat dan katakan padaku apa yang terjadi padanya."
Dokter itu tampak berkeringat dingin, namun ia tetap berusaha profesional.
Setelah melakukan pemeriksaan singkat dan mengecek beberapa gejala, dokter itu menoleh ke arah Vincent dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Tuan Vincent, sepertinya istri Anda tidak sakit," ujar dokter itu perlahan.
"Lalu kenapa dia pingsan?!" bentak Vincent tak sabar.
"Jika melihat dari tanda-tandanya, saya rasa Nyonya sedang mengandung. Namun, untuk memastikannya, kita harus menunggu beliau sadar dan melakukan tes lebih lanjut."
Vincent terpaku. Cengkeraman tangannya yang tadi mengeras seketika melemas.
Ia menatap Areta yang masih tak sadarkan diri dengan pandangan yang kosong, seolah dunianya baru saja berputar 180 derajat.
lanjut Thor💪😘