Rama dan Ayana dulunya adalah sahabat sejak kecil. Namun karena insiden kecelakaan yang menewaskan Kakaknya-Arsayd, membuat Rama pada saat itu memutuskan untuk membenci keluarga Ayana, karena kesalahpahaman.
Dalih membenci, rupanya Rama malah di jodohkan sang Ayah dengan Ayana sendiri.
Sering mendapat perlakuan buruk, bahkan tidak di akui, membuat Ayana harus menerima getirnya hidup, ketika sang buah hati lahir kedunia.
"Ibu... Dimana Ayah Zeva? Kenapa Zeva tidak pelnah beltemu Ayah?"
Zeva Arfana-bocah kecil berusia 3 tahun itu tidak pernah tahu siapa Ayah kandungnya sendiri. Bahkan, Rama selalu menunjukan sikap dinginya pada sang buah hati.
Ayana yang sudah lelah karena tahu suaminya secara terbuka menjalin hubungan dengan Mawar, justru memutuskan menerima tawaran Devan-untuk menjadi pacar sewaan Dokter tampan itu.
"Kamu berkhianat-aku juga bisa berkhianat, Mas! Jadi kita impas!"
Mampukah Ayana melewati prahara rumah tangganya? Atau dia dihadapkan pada pilihan sulit nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8
Rama menegang. Kalimat Istrinya itu sukses menampar wajahnya.
Dada Ayana bergemuruh, serta pacuannya lebih terasa cepat. Tak membiarkan Rama menjawab, Aya kembali menumpahkan rasa sesag dengan cercaan.
"Kenapa sih, jika pas butuh makan gitu... Mas Rama nggak telfon saja Mbak Mawar, biar dia yang melayani Mas Rama makan! Masakan saya nggak enak, Mas! Nggak berkelas seperti keluarga Mbak Mawar! Tapi kenapa sih, Mas Rama tetap saja menuntut sepiring nasi dari tangan saya?!" Ayana masih mencoba tersenyum meski air matanya sudah luruh tanpa dapat ia tahan.
Rama tercekat. Ia mematung menatap istrinya menangis saat ini. Tanganya terkepal tak mampu sekedar menghapus air mata Ayana. Bahkan, untuk menelan salivanya saja Rama begitu kesusahan.
Dan baru kali ini ia merasa perih melihat tangisan Ayana. Tangisan yang selalu ia perbuat sejak dulu.
"Mbak Mawar memang lebih segalanya di banding saya, Mas! Tapi saya lah yang setiap harinya memasak untuk Mas Rama. Setiap pagi juga saya yang menyiapkan segala kebutuhan Mas Rama. Saya yang mengurus anak Mas Rama tanpa Zeva tahu jika Mas Rama Ayah kandungnya. Dan semua itu saya yang melakukan! Tapi kenapa? Kenapa sikap manis Mas Rama hanya Mbak Mawar yang dapat? Sebagai istri SAH... Wajar nggak sih Mas, kalau saya juga sakit melihatnya?" Ayana mengerjab beberapa kali, membiarkan air matanya luruh dengan cepat.
Rama tidak mendebat atau membantah. Ia berlalu menuju dapur paviliun begitu saja, dan membiarkan Ayana tergugu dalam tangisnya.
Ayana menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Membiarkan tangisannya reda dengan sendirinya.
Sementara Rama, pria itu masih berdiam di dapur dengan beberapa kalimat Ayana yang berputar dalam kepalanya. Karena ia sudah tak tahan dengan perutnya yang sejak tadi keroncongan, kini Rama langsung membuka laci dan mengambil dua bungkus merk mie instan.
Hanya di paviliun itulah ia dapat menikmati semangkuk mie instan lezat buatan Ayana. Dan malam ini, Rama berniat membuatnya sendiri.
Selang beberapa menit itu, dan Ayana masih terdiam mengontrol kembali emosionalnya.
Tiba-tiba saja Ayana mencium aroma lezat dari mie instan itu.
Tak!
Rama datang meletakan nampan yang berisikan dua mangkuk mie instan beserta dua gelas air putih.
"Kamu juga pasti belum makan 'kan? Sekarang cepat makan dan temani saya makan disini!" ucap Rama sambil meletakan satu mangkuk tadi didepan istrinya.
Ayana membuang muka, "Saya sudah kenyang! Mas Rama makan saja sendiri!"
Rama menatapnya dengan kedua alis bertaut. Wajahnya sudah menekuk, lalu menjawab, "Saya sudah membuatnya untukmu! Suka tidak suka, kamu harus memakannya!" tekannya dengan mata tajam.
"Bisa nggak sih, Mas... Kamu berkata sama saya selembut saat Mas Rama bekata sama Mbak Mawar-"
"Makan! Jangan banyak bicara!" sentak Rama namun cukup pelan. Ia tahu jika Zeva dan Bu Ratih sudah terlelap. Jadi tidak ingin menimbulkan huru hara.
Ayana terdiam. Ia menarik mangkuk mie tadi dan mulai menyendokan kuah mie itu untuk ia sruput. Bukan kenikmatan yang tertelan, melainkan rasa perih. Dada Aya bak terhimpit batu besar, terasa sesak ketika mie tadi melewati tenggorokannya. Usianya begitu jauh dibawa Rama. Terpaut 7 tahun dari usianya 29 tahun, membuat emosi Ayana terlihat belum begitu stabil sepenuhnya.
Akan tetapi, apa dia salah hanya menginginkan sisi lembut dari suaminya?
Tanpa terasa, buliran bening itu juga ikut mengalir begitu saja. Ayana sama sekali tidak menikmati rasa segar ataupun rasa manis yang tersaji. Semuanya terasa menyakitkan seolah Rama menyajikannya dengan hati yang telah pria itu potek.
Bahkan isakan kecil masih sesekali keluar dari mulut Ayana. Wajahnya datar, senyumnya tak lagi menyamai. Ia hanya menelan kasar mie itu.
Rama sudah menyelesaikan semangkuk mie tadi. Pria itu menenggak sedikit demi sedikit segelas air putih itu hingga tatas. Sebelum bangkit, ia sempatkan menatap Ayana yang masih terisak sambil memakan mie tadi.
Namun tak lama itu Rama bangkit. Pria itu berjalan keluar dan langsung melenggang pergi begitu saja.
Ayana masih terus memakan mie tadi, hingga ia tak mampu manahan rasa sesag itu. Ia tak mampu mnyelesaikan makannya hingga akhir. Rasanya terlalu menyakitkan harus menikmati panasnya semangkuk mie tadi. Rasanya panas bahkan sampai membakar ulu hatinya.
*
*
Di dalam kamar, Rama tidak langsung tidur. Ia duduk di teras balkon, masih tetap menatap kearah Paviliun. Rama dapat melihat aktivitas Ayana, sebab salah satu korden disisi tempat Paviliun masih terbuka.
Pria itu duduk, menikmati sebatang rokok sambil terus menatap aktivitas Ayana yang baru saja selesai membersihkan dapur akibat kekacauan yang ia timbulkan saat memasak tadi.
Dan barulah, setelah semuanya selesai Ayana beranjak kearah korden dan menutup pintu kaca itu. Ayana juga mematikan lampu utama, dan hanya menyisakan lampu temaram agar tidak sepenuhnya gelap.
Entah mengapa, bersamaan itu hati Rama juga mendadak hampa dan senyap.
Drttt!
Dering gawai diatas meja sebelahnya membuat lamunan Rama buyar. Rama hanya melirik sekilas gawai itu yang terdapat nama Mawar dengan emoticon bunga mawar di sisi nama sang kekasih.
Bukannya tertarik untuk mengangkat, Rama hanya membiarkan saja, mengambilnya dan membawanya masuk kedalam kamar. Pria itu menonaktifkan ponselnya, melemparnya di atas sofa begitu saja, lalu segera merebahkan tubuhnya diatas ranjang besar.
Beberapa kali memejamkan matanya, lagi-lagi Rama terjaga. Ia hanya mampu memandang langit-langit kamarnya saja, seolah ucapan Ayana berputar diatas sana.
"Masakan saya nggak enak, Mas! Nggak berkelas seperti keluarga Mbak Mawar! Tapi kenapa sih, Mas Rama tetap saja menuntut sepiring nasi dari tangan saya?!"
Rama kembali bangkit. Ia duduk diatas ranjang sambil meraup kasar wajahnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan perasaanku? Kenapa aku sekarang nggak tega melihat wanita itu menangis?" lirihnya berbicara sendiri.
Selagi Rama mencoba memastikan perasaanya, berbeda dengan Mawar saat ini.
Wanita cantik berusia 28 tahun itu merasa kesal sebab beberapa panggilannya kepada sang pujaan sama sekali tidak terjawab satupun. Apalagi saat ini ponsel Rama sudah tak aktif lagi.
"Ih... Rama kemana sih? Katanya dia mau sleep call sama aku. Kok sekarang jadi nggak aktif hpnya?! Padahal, aku mau nunjukin reverensi beberapa gaun buat lamaran nanti. Gemes banget deh." Kesalnya menggerutu.
Setelah itu ia menenggelamkan wajahnya pada bantal.
Ceklek!
Nyonya Imelda masuk dengan senyum tipisnya, "Kenapa belum tidur, Maw?"
Mawar bangkit. Ia melipat kedua kakinya sambil memangku bantal tadi. "Mah, ini lo, Rama... Dia nggak jawab panggilan video call aku," kesalnya.
Nyonya Imelda agak sedikit berpikir. Ia tidak menjawab ungkapan hati putrinya, tapi lebih mengingat sesuatu tentang acara pertemuan tadi.
"Maw... Sebentar deh, perasaan tadi Mamah lihat pelayan cantik itu. Siapa sih namanya, Mamah lupa?"
Mawar juga ikut mengerutkan dahinya. Tak lama itu menjawab, "Maksud Mamah, si Ayana?"
"Iya, Maw... Ayana! Tadi Mamah kasian deh, sempat denger para pelayan di rumah Rama yang ngasih desert itu, tau nggak, Maw... Mereka pada mengolok-olok si Ayana itu."
"Maksud, Mamah? Apa Mamah denger?" Mawar menyipitkan matanya.
Nyonya Imelda kembali mengingat, saat ia baru mau ke kamar mandi, namun tak sengaja mendengar kejadian itu. "Mamah nggak jelas sih dengernya. Yang jelas, hidup Ayana kayaknya berat banget Maw, disitu!"
Mawar juga kembali mengingat percakapan singkatnya dengan Ayana beberapa jam lalu.
"Mah, Mamah tau nggak, kalau Ayana sudah memiliki anak?! Dan... Katanya, usianya udah 3 tahun. Tapi... Kok Tante Anita nggak pernah cerita-cerita ya, secara 'kan... Ayana anak pelayan disana."
Bu Imelda langsung mengusap lengan putrinya, "Udah ah, kok malah jadi bahas yang nggak jelas. Kamu cepat tidur, Maw! Besok bukanya kalian akan fitting baju buat lamaran?!"
"Ya udah, deh... Good night, Mah!" Mawar mencium pipi ibunya sekilas, sebelum Bu Imelda bangkit dan keluar.
****
Pagi harinya, di kediaman Tuan Ibrahim.
Ayana semalaman tampak kurang tidur, sebab Zeva selalau terbangun dan mungkin saja itu karena rasa nyeri yang di timbulkan oleh kakinya. Bocah kecil itu semalaman merintih sakit, dan hal itu membuat Ayana sedikit-sedikit terbangun.
Rencananya, pagi ini ia akan ke rumah sakit untuk memeriksakan kaki putranya. Namun sebelum itu, Ayana sudah membuat janji dengan Dokter Devan, Dokter spesialis tulang.
Sejak tadi Zeva minta di gendong, dan membuat Ayana tidak bisa beraktivitas di rumah utama seperti biasanya.
Tepat pukul 07.00 keluarga besar Bu Anita tengah melakukan sarapan bersama.
Akan tetapi, sejak tadi Rama duduk dengan cemas, dan hanya menatap sepiring nasi goreng di depannya dengan tatapan hambar. Wajah Rama sejak tadi tidak tenang, seakan tengah menunggu, namun ia juga tidak tahu apa yang sedang ia nantikan.
Mungkin saja karena Ayana.
Sebab Istrinya itu sejak ia duduk, belum juga datang membuatkannya segelas teh hangat, atau sekedar menemaninya sarapan.
"Mas Rama kenapa deh, kalau setiap makan, mesti makanannya di lihatin mulu. Ini enak lo, Mas! Bikinan Bik Sumi, iya 'kan Mah?" celetuk Milya sambil menyuapkan nasi goreng tadi dalam mulutnya.
Bu Anita sejujurnya juga tahu mengapa putranya selalu mogok makan jika tidak ada Ayana.
"Rama... Sebentar lagi kamu akan menikah dengan Mawar! Jadi, hilangin ketergantungan makanmu itu dari si Babu! Besuk itu Mawar yang berganti menyiapkan semuanya dan mendampingi kamu!"
Rama hanya menatap malas dengan desahan nafas dalam. "Nggak bisa, Mah! Meskipun nanti ada Mawar, tapi aku nggak bisa makan jika bukan dari tangan Ayana sendiri!"
Bu Anita menggeram. Sorot matanya menajam kearah Rama.
"Bik Sumi, kemana Ayana kok belum kesini?" tanya Rama ketika Bik Sumi menuangkan air dalam gelas masing-masing.
Setelah semuanya siap, Bik Sumi menatap putra Majikannya dengan serius, "Putranya sedang rewel, Den! Tadi malam saja nggak bisa tidur, nangis terus! Mungkin, itu karena efek nyeri dari sakit kakinya."
Kedua mata Rama terbuka saking shocknya. "Apa? Separah itu? Kenapa nggak langsung di bawa ke rumah sakit saja?"
Mendengar putranya bersikap berlebihan seperti itu, rupanya membuat Bu Anita menggeram.