Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
“Tatapan sama ekspresi wajah ibu Aira benar-benar beda banget. Biasanya dia bakalan senyum kalau lihat aku … tapi sekarang nggak sama sekali. Sorot matanya bahkan kayak nunjukin rasa benci sama jijik ke aku … huft … bakalan susah ke depannya ini ….”
Azka menghela napas panjang beberapa kali, mengusap wajahnya cukup kasar, sambil terus-menerus berusaha untuk berfokus pada materi pembelajaran yang sedang dijelaskan oleh Aira di depan kelas sana—meskipun dirinya sangatlah kesulitan karena selalu teringat kejadian kemarin kala matanya melihat sosok Aira.
Cowok itu sesegera mungkin menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menghilangkan semua ingatan tentang kejadian yang telah melibatkannya bersama sang dosen yang terus-terusan masuk serta berputar-putar di dalam benaknya.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, lantaran atensi Azka seketika teralihkan ke arah kanan saat tiba-tiba saja mendengar suara bisikan seorang cewek tengah memanggilnya dari sana.
Dari tempatnya duduk sekarang, Azka dapat melihat sosok Rhea tengah menatapnya dengan menunjukkan ekspresi penuh kekhawatiran. Ia sedikit memiringkan tubuh ke arah tempat sang sahabat berada—ketika melihat sebuah kode tangan yang telah diberikan olehnya.
“Ada apa?” tanya Azka dengan suara begitu sangat pelan, sembari matanya masih berfokus ke arah depan—memperhatikan Aira yang begitu sangat bersemangat saat sedang menjelaskan materi pembelajaran.
“Lu juga lagi ada problem, kah, sama ibu Aira? Kok, gue lihat-lihat ekspresi dia waktu natap lu beda kayak biasanya … Sekarang kayak lebih dingin sama sedikit ada emosi,” bisik Rhea tepat di telinga Azka, seraya tangan kanannya tetap berfokus menulis beberapa hal penting dari setiap penjelasan yang telah Aira berikan.
Azka sontak terdiam seribu bahasa saat mendengar bisikan dari Rhea. Ia menggigit bibir bawahnya cukup kencang sambil pelan-pelan mulai kembali mendudukkan tubuh di tempat semula dengan posisi yang benar— seolah di dalam hati sedang berusaha mencari jawaban yang tepat untuk diberikan kepada sang sahabat.
Detik demi detik berlalu, Azka masih terus diam, membuat Rhea semakin mengerutkan kening dengan sorot mata dipenuhi oleh rasa penasaran serta kekhawatiran sangat tinggi. Ia ingin kembali membuka suara, tetapi sesegera mungkin mengurungkan niat dan memilih untuk berfokus pada tulisannya, saat merasa bahwa materi pembelajaran pada hari ini telah sampai pada bagian paling penting.
Meninggalkan tempat Azka berada sekarang, di depan kelas, Aira berusaha mati-matian menahan rasa nyeri yang masih terus menyerang bagian paling sensitif pada tubuhnya. Bahkan, ia beberapa kali menggigit bibir bawah sangat kencang serta mengepalkan kedua tangan—berusaha sedikit meredakan rasa sakit itu agar tidak menimbulkan kecurigaan dan tanda tanya dari para mahasiswa serta mahasiswinya.
“Tahan Aira, tahan … tinggal beberapa menit lagi … habis itu kamu bisa pulang dan istirahat lagi,” batin Aira, menghentikan sejenak aktivitasnya untuk menghirup udara segar sebanyak yang dirinya bisa.
Setelah membatinkan akan hal itu, Aira kembali melanjutkan aktivitasnya sambil berusaha mengukir senyuman manis—senyuman yang selalu dirinya tunjukkan kepada para mahasiswa serta mahasiswinya agar mereka merasa nyaman saat mendengarkannya berbicara.
Sekitar lima menit berlalu, Aira pada akhirnya selesai menjelaskan materi pembelajaran pada hari ini. Ia secara perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian melangkahkan kaki menuju meja dosen yang berada di sisi kanan, lantas mulai mendudukkan tubuh di sana sebelum menatap para mahasiswa serta mahasiswinya yang masih sibuk menulis.
“Jadi, materi pembelajaran pada hari ini sampai di sini dulu … apa ada sesuatu yang belum jelas? Atau ada hal yang mau ditanyakan tentang semua hal yang sudah saya bahas?” ucap Aira, merubah tatapan serta ekspresi menjadi sangat datar saat sorot matanya tanpa sengaja menangkap wajah tampan milik Azka.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, karena Aira segera kembali mengukir senyuman manis sambil mengalihkan pandangan ke arah kanan saat tiba-tiba saja mendengar suara seorang mahasiswi tengah memanggil namanya.
Mahasiswi itu berdiri dari tempat duduk sambil mengangkat tangan kanan, sebelum pada akhirnya membuka suara untuk menanyakan beberapa bagian yang belum dirinya pahami tentang materi pembelajaran pada hari ini.
Aira mendengarkan pertanyaan dari mahasiswi itu dengan sangat saksama. Ia menyingkirkan serta menyelipkan beberapa helai rambut yang menutupi indera penglihatannya ke belakang telinga kanan, lalu mulai membuka suara untuk memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Beberapa menit berlalu, sesudah menjawab pertanyaan dari mahasiswinya itu, Aira menutup kelas pada hari ini kala sudah tidak lagi ada pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya. Ia secara perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian bangun dari atas tempat duduk, memasukkan semua peralatan mengajarnya ke dalam tote bag berwarna hitam miliknya, lantas mulai melangkahkan kaki keluar dari dalam ruangan kelas dengan begitu sangat pelan—menahan agar rasa sakit serta nyeri pada bagian bawahnya tidak semakin menjadi-jadi.
Sepeninggal Aira, Azka mengembuskan napas begitu sangat panjang, lalu membenturkan kepalanya dengan cukup keras ke atas meja, seakan berusaha untuk menghilangkan semua hal yang terus-menerus masuk serta menyerang dirinya secara membabi-buta.
“Akhirnya selesai juga … benar-benar aneh sama akward banget tadi, Sialan,” batin Azka, tanpa sadar menggigit bibir bawahnya sangat kencang, hingga membuat darah mulai keluar dan mengalir ke dalam mulutnya.
Namun, itu tidak berlangsung lama, karena Azka sesegera mungkin kembali mengangkat kepala saat tiba-tiba saja mendengar suara Rhea tengah memanggilnya sambil memberikan tepukan pelan pada punggungnya. Ia sontak menoleh ke arah kanan, sedikit melebarkan mata saat mendapati wajah sang sahabat yang begitu sangat dekat dengan dirinya.
“Lu kenapa? Mau gue cium?” tanya Azka.
Mendengar hal itu, Rhea segera menjauhkan wajah mereka berdua, kemudian memberikan tepukan cukup kencang pada lengan Azka.
“Ngaco … walaupun lu ganteng dan banyak cewek yang mau sama lu … gue nggak semurahan itu, ya, sampai nyerahin first kiss gue ke lu,” kata Rhea, melipat kedua tangan di depan dada sambil mulai mengerucutkan bibir mungilnya.
Azka refleks terkekeh pelan saat mendengar perkataan dari Rhea, membuat ingatan bersama Aira secara perlahan-lahan mulai menghilang—walaupun tidak bisa sepenuhnya. “Ya lagian … ngapain coba deket-deket gitu. Gue kira lu pengin minta cium.”
Rhea menghela napas panjang—antara merasa kesal dan juga malu kepada sahabatnya itu—lanta memutar bola matanya secara dramatis. “Azka, kalau gue memang mau minta cium sama lu … gue pasti udah ngomong dari awal. Gue bukan tipe cewek kode-kode nggak jelas … dan lu tahu akan hal itu.”
Azka tertawa kecil, lalu bangun dari atas tempat duduk sambil menggendong tasnya. “Iya, iya. Gue lupa lu itu manusia direct.”
“Bukan lupa, tapi otak lu lagi korslet gara-gara kebanyakan mendem masalah sendirian,” ucap Rhea, sembari sedikit menyipitkan matanya.
Azka terdiam sejenak saat mendengar hal itu, lantas sesegera mungkin merangkul leher milik Rhea dan mulai melangkahkan kaki keluar dari dalam ruangan kelas. “Nggak usah bahas hal itu. Gue lagi males ungkit-ungkit masalah lagi … lebih baik sekarang lu temenin gue makan siang … soalnya anak-anak pasti baru aja masuk kelas sekarang.”
Rhea menghela napas panjang saat mendengar hal itu, lalu menganggukkan kepala pelan sebagai jawaban—membiarkan Azka terus-menerus merangkul serta menuntunnya keluar dari dalam ruangan kelas—tidak memperdulikan tatapan penuh rasa iri yang sedang diberikan oleh para cewek di sekitar mereka.