Di sebuah pulau kecil di Jeju, Lee Seo Han menjalani kehidupannya yang sunyi. Ditinggal kedua orang tuanya sejak remaja, ia terbiasa bergulat dengan kesendirian dan kerasnya kehidupan. Bekerja serabutan sejak SMA, ia berjuang menyelesaikan pendidikannya sendirian, dengan hanya ditemani Jae Hyun, sahabatnya yang cerewet namun setia.
Namun musim panas itu membawa kejutan: Kim Sae Ryeon, cahaya yang menyinari kegelapan hidupnya. Perlahan tapi pasti, Seo Han membuka hatinya untuk merasakan kebahagiaan yang selama ini ia hindari. Bersama Sae Ryeon, ia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang mencintai dan dicintai.
Tapi takdir berkata lain. Di puncak kebahagiaannya, Seo Han didiagnosis mengidap ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit langka yang secara perlahan akan melumpuhkan tubuhnya. Di hadapan masa depan yang tak menentu dan ketakutan menjadi beban, Seo Han membuat keputusan paling menyakitkan: mengorbankan cintanya untuk melindungi orang tersayang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahmad faujan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PANGGILAN DARI MASA LALU
Pagi hari. Matahari mulai mengeluarkan sinar yang berusaha menyelinap masuk lewat sela-sela tirai jendela kamar. Terlihat Seo Han yang sudah bangun, ia masih terduduk terdiam seperti sedang mengumpulkan nyawanya.
"Ahh, badanku sakit semua, kayak habis pikul mobil tronton," batinnya sambil berjalan ke arah kamar mandi.
Saat ia selesai mandi dan mulai mengenakan pakaian, drett... drettt... ponselnya bergetar di nakas.
Ia buru-buru mengambil ponsel sambil mengancing bajunya. Ia melihat nomor tidak dikenal. Lalu, dengan langkah pelan ia mengangkatnya.
"Halo," katanya dengan hati-hati.
Tiba-tiba terdengar suara amarah seseorang yang sudah sampai puncaknya.
"Dasar anak bodoh! Kenapa kamu mengganti namamu, hah? Kamu pikir Ayah setuju? Ayah mencari Lee Arsya Reynard di mana-mana dan ternyata kamu sudah mengganti nama!"
Seluruh tubuh Seo Han menegang. Kemarahan itu, suara masa lalu yang berwibawa itu, langsung merasuk ke tulang-tulangnya. Suara Seo Han berubah dingin, menusuk dan penuh kebencian yang dipendam. "Kenapa baru menelepon sekarang? Aku pikir Anda sudah lupa dengan saya. Lagian itu masa lalu, tidak usah dibahas lagi dan sudah terjadi. Dan ingat, aku sendiri yang pegang kuasa, bukan Anda, paham?" jawabnya sedikit meninggi, lalu membanting tombol tutup telepon.
Napasnya memburu. Ia merasakan darahnya mendidih, memenuhi teluruh rongga dadanya. Ia ingin berteriak. Ia melempar ponsel ke kasur karena sedikit kesal, namun malah terpental yang membuat ponsel jatuh sampai ke lantai.
"Kenapa harus sekarang? Kenapa setelah aku mulai merasa tenang?" desisnya.
"Dasar anak bodoh! Kamu pikir kamu kaya, main buang-buang barang?" katanya sambil mengambil ponsel. Ujung jarinya merasakan retakan dingin yang menjalar di permukaan kaca. "Tuh kan, layar retak," keluhnya dan memandangi layar ponsel yang retak.
Retakan itu tampak seperti gambaran hatinya saat ini: tertutup, tapi rapuh dan rusak di baliknya.
Tanpa pikir panjang, ia memasukkannya ke saku celana dan berjalan keluar rumah.
...----------------...
Di kota Seoul, di sebuah perusahaan swasta milik ayahnya, Lee Yeong Jun menutup ponsel dan meletakkannya di meja. Wajahnya tampak jauh lebih tua, dipenuhi penyesalan.
"Ayah tahu pasti kamu marah dengan Ayah, Nak, tapi Ayah punya alasan untuk itu semuanya, Nak," gumamnya, suaranya serak menahan beban.
Asisten di samping hanya bisa diam.
"Kosongkan semua jadwal, dan tolong belikan saya tiket ke Jeju," kata Lee Yeong Jun kepada Asisten Park Woo Jin.
"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu," jawab Pak Woo Jin, keluar ruangan meninggalkan Lee Yeong Jun, seorang ayah yang sangat bersalah karena ia meninggalkan anak sendiri selama ini.
"Tunggu Ayah di sana, Nak, Ayah akan minta maaf kepadamu," katanya sambil memandangi fotonya bersama Rey saat hari kelulusan SD.
...----------------...
Seo Han mengunci rumahnya lalu berjalan keluar.
Ia selalu menyapa tetangganya dan orang lewat dengan sopan dan penuh senyum. Ia memaksa senyum itu terbit, memasang topeng Le Seo Han yang ramah.
"Selamat pagi," sapanya ramah sambil tersenyum.
Para tetangga dan orang lewat juga menyapa balik. "Pagi juga, Nak Seo Han."
Ia melanjutkan berjalan ke rumah Jae Hyun karena Jae Hyun menyuruh mampir dulu. Udara panas karena musim panas belum berakhir.
"Udaranya sangat enak," katanya sambil mendongak kepala agar matahari bisa menyinari wajahnya.
Setelah beberapa menit, akhirnya ia sampai di depan pagar rumah Jae Hyun. Ia membuka pintu pagar rumahnya, lalu mengetuk pintu.
Tok... tok...
Pintu terbuka memperlihatkan Jae Hyun yang sudah berdiri siap dengan kedua tangan penuh dengan kotak. Jae Hyun terlihat segar dan penuh energi pagi hari.
"Nih buat kamu," katanya sambil menyerahkan kotak makanannya.
"Apa ini?" tanya Seo Han, suaranya masih terdengar sedikit tegang.
"Sudah, dibawa saja nanti juga tahu. Ya sudah, ayo ke warung, ibu aku sudah menungguku kayaknya."
Jae Hyun melihat sekilas ekspresi Seo Han yang aneh, ada bayangan gelap di balik mata Seo Han, sesuatu yang tidak pernah dilihatnya. Namun ia memutuskan untuk mengabaikannya. Ia tahu, ada hal yang belum diceritakan Seo Han, tetapi ia tidak akan memaksa.
"Ayo," jawab Seo Han, memaksakan senyum tulus. Kehangatan Jae Hyun, bahkan dari kotak makanan sederhana, selalu berhasil meredakan badai di hatinya.