“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suara Aneh
Tara memiliki firasat tak enak begitu melihat reaksi dua karyawan wanita di hadapannya begitu mereka melihat pria yang kini berdiri di belakangnya.
Ia lalu mau dua langkah lebih dekat ke arah dua karyawati itu. “P_permisi\, Kak\,” ujar Tara memberanikan diri meskipun gugup. “M_mas mas itu memangnya siapa\, ya?”
Dua wanita itu spontan saling pandang dengan mata membulat lebar. “Ha... Mas...?” suara mereka terdengar hampir bersamaan, seperti tak percaya dengan kata yang barusaja keluar dari mulut Tara.
Sementara itu, Dirga yang sejak tadi berdiri santai dengan tangan terlipat di depan dada tampak menyunggingkan senyum tipis.
Salah satu karyawati mencondongkan tubuh ke arah Tara lalu berbisik, “Itu Pak Dirga, salah satu eksekutif di sini.”
Tara mengerjap cepat. “ A_apa...? ujarnya tidak yakin. “M_mas itu... m_maksud saya\, pria itu... eksekutif di sini?”
Kedua wanita itupun mengangguk cepat, keduanya ingin sekali tertawa tapi takut dengan tatapan sang eksekutif.
Wajah Tara seketika memucat. “Matilah aku...” ujarnya seraya menepuk jidatnya sendiri.
Dua karyawati di depan Tara kabur dari tempat itu, tak ingin terseret dalam badai yang mungkin sebentar lagi akan menelan gadis asing di depan mereka.
Sementara Tara tampak menelan ludah, ia lalu memaksakan berbalik ke arah pria itu dengan wajah gugup.
Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil menunduk dalam. “Mas... eh maksud saya Pak... saya... saya minta maaf. Saya benar-benar tidak tahu kalau Bapak itu... bapak itu...
Dirga menaikkan sebelah alisnya menatap Tara. Gadis di hadapannya itu benar-benar konyol.
“Tidak masalah, Nona,” ujarnya dengan suara datar. “Setidaknya hari ini saya dipanggil ‘Mas’ lagi oleh seseorang yang ada di perusahaan ini. Tapi semoga kau tidak mengira saya ini seorang office boy sebelumnya.”
Tara mati-matian menelan ludah. Andai bisa Tara ingin sekali menghilang ke dasar bumi saat itu juga.
Dirga melirik jam di pergelangan tangannya. “Semoga sukses untuk wawancaramu, Nona,” ujar Dirga sebelum melangkah pergi.
Begitu langkah Dirga menghilang di balik pintu lift, Tara masih terpaku di tempatnya selama beberapa detik.
“Ya ampun, Tara. Belum juga jadi karyawan, sudah buat ulah duluan,” gumamnya merutuki dirinya sendiri. Gadis itu menggeleng pelan tak habis pikir dengan kelakuannya sendiri barusan.
Detik berikutnya, Tara menepuk pipinya sendiri seolah sedang menyadarkan diri. Ia lalu berbalik dan berjalan menuju ujung koridor di mana papan penunjuk bertuliskan Human Resources Department terpampang mencolok di dinding kaca.
Sembari melangkah, jantungnya kembali berdetak cepat. Ia berharap kecerobohannya tadi tidak sampai berdampak buruk pada nasibnya hari ini
Berhasil masuk ke ruang tunggu, Tara langsung disambut oleh tatapan mata sekilas dari para kandidat lain yang hari ini juga sama berharapnya seperti dirinya untuk bisa diterima bekerja di perusahaan besar itu.
Sambil menuju ke sebuah kursi kosong, Tara menyapa mereka dengan senyum sopan. Ada yang membalas hanya dengan anggukan, ada yang membalas dengan senyuman, tapi ada juga yang terlihat cuek dan acuh padanya.
Begitu menempati kursinya, Tara kembali memperhatikan mereka satu persatu. Ada yang sibuk membaca berkas, ada yang sedang mengecek tablet, dan satu pria tampak sedang menghafal sesuatu di ponsel.
Tiba-tiba rasa minder menyergap hatinya. Blus putih dan rok hitam yang ia beli susah payah dengan menguras seluruh tabungan hasil kerja paruh waktu mendadak terasa terlalu sederhana setelah melihat penampilan kandidat lainnya.
Tara menunduk, berusaha mengembalikan rasa percaya dirinya seraya memegangi map cokelat yang ia bawa dengan erat di atas pangkuan.
‘Ayolah Tara. Kamu sudah sampai sejauh ini, jangan kalah sebelum mulai,’ batinnya menguatkan diri.
Beberapa menit kemudian, seorang wanita muda yang mengenakan setelan blazer biru muncul dari balik pintu kaca, memberitahu para kandidat bahwa sesi wawancara akan segera dimulai.
Tara dan kandidat lainnya mengangguk sopan. Gadis itu merasakan tangannya dingin dan berkeringat. Kegugupannya seolah meningkat tiga ratus enam puluh derajat. Namun ia tetap berusaha menenangkan diri, tangannya bergerak menyentuh kalung pemberian ayahnya seraya merapal do’a.
*
Beberapa hari kemudian...
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat empat puluh lima menit ketika Tara tampak berlari kecil melewati trotoar menuju gedung perkantoran Zeal Industries.
Ini adalah hari pertamanya bekerja di perusahaan itu setelah dua hari lalu ia mendapatkan surat pemberitahuan bahwa dirinya diterima bekerja di sana.
Sialnya, di hari pertamanya ini, ia justru terlambat bangun karena Fifi menangis semalamam karena putus dari kekasihnya, dan sebagai teman sekamar yang selama ini masih menumpang, Tara pun berusaha menemani serta menghibur gadis itu.
Begitu memasuki lobby gedung, Tara sempat berhenti sebentar di depan kaca untuk merapikan kembali rambutnya seraya menepuk-nepuk wajahnya sendiri.
“Oke, Tara. Ini hari pertama. Jangan panik, jangan buat kesalahan,” gumamnya pelan pada diri sendiri.
Setelah menunjukkan ID card barunya pada petugas keamanan, Tara naik ke lantai tujuh belas. Kini ia sudah tahu cara menggunakan lift, meskipun jarinya sempat gemetar juga saat menekan tombolnya.
Begitu tiba di ruang HRD, pemandangan suasana kerja langsung menyambutnya. Ada yang duduk anteng di depan komputer, ada pula yang mondar-mandir sambil membawa berkas.
“Hey kamu!” panggil seorang wanita agak gemuk dengan potong rambut bob pada Tara. “Kamu karyawan baru, kan?”
Tara mengangguk sopan. “I_iya mbak.”
Wanita gemuk itupun berdiri lalu melangkah menghampiri Tara. “Pak Diksa memintaku mengantarmu ke bagian keuangan.
Tara mengangguk, lalu mengikuti wanita itu menyusuri koridor berdinding kaca yang menampilkan panorama kota.
Tak lama kemudian mereka tiba di depan ruangan bertuliskan Finance Division – Staff Area. Suasana di sana tak jauh berbeda dengan yang Tara lihat di bagian HRD tadi. Sangat sibuk.
Seorang pria paruh baya dengan kemeja biru dan dasi bergaris yang tengah berbicara dengan seorang karyawan di depan laptop langsung menoleh begitu menyadari kehadiran mereka. Ia lalu melambaikan tangan ke arah Tara.
“Kamu karyawan baru itu?” tanyanya begitu Tara berdiri di hadapannya.
Tara mengangguk sopan. “Iya, Pak. Nama saya Tara Anisa,” jawabnya.
Pria itu lalu menjulurkan tangan, menjabat tangan Tara. “Kalau begitu selamat bergabung di tim kami, Tara. Saya Andri Laksmana, manager keuangan di sini.”
Tara menyambut tangan itu sambil tersenyum gugup. “Terima kasih, Pak. Saya senang bisa bergabung,”
“Bagus. Semoga kamu bisa cepat menyesuaikan diri,” ujar pria itu sambil mengangguk. Ia kemudian menunjuk salah satu kubikel kerja yang masih kosong di dekat jendela kaca. “Itu meja kerjamu. Nanti kalau ada yang belum jelas, kamu bisa bertanya pada Rio atau Sena yang duduk di sebelahmu.”
“Baik, Pak,” jawab Tara cepat.
Begitu wanita gemuk dari tim HRD yang mengantarnya pamit, Tara langsung menuju ke meja kerjanya, menata beberapa barang miliknya di sana. Ia sempat melirik kanan-kiri, melihat rekan-rekannya yang lebih senior sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
“Hai,” sapa wanita yang duduk di sebelah Tara. “Aku Sena.”
Tara menoleh lalu tersenyum. “Salam kenal, Mbak. Saya Tara.”
Pria yang duduk di samping Sena pun ikut menyapa Tara dan memperkenalkan dirinya. Rio, itu namanya. Seperti yang isebutkan oleh Pak Andri tadi.
Mengawali karirnya sebagai staff junior di divisi tersebut, sepanjang pagi itu Tara mengerjakan tugas-tugas sederhana. Mulai dari memfotocopy dokumen, membantu menyusun arsip, hingga membantu memasukkan data transaksi ke sistem.
Meski terkesan ringan, Tara tetap berusaha teliti. Ia tidak ingin membuat kesalahan di hari pertamanya bekerja.
Menjelang istirahat jam makan siang, Pak Andri muncul dari ruangannya sambil membawa beberapa map dokumen.
“Tara,” panggilnya
Tara segera berdiri. “Iya, Pak.”
“Antar ini ke ruang Pak Dirga, bilang ke beliau ini perlu di otorisasi secepatnya.”
Mendengar nama Dirga, Tara langsung teringat kejadian memalukan waktu itu. “P_pak Dirga... Pak?” ulangnya.
“Iya,” jawab Andri seraya menyerahkan map-map itu pada Tara. “Dia itu CFO kita. Ruangannya ada di lantai delapan belas, paling ujung kanan.”
Tara menerima map-map itu dengan dua tangan. “Baik, Pak. Saya antar sekarang.”
Begitu Andri kembali ke ruangannya, Tara menatap sejenak map-map di tangannya. Dan akhirnya dengan langkah pelan namun pasti, gadis itu pun meninggalkan ruangan menuju ke lift.
Tak lama kemudian, Tara tiba di lantai delapan belas. Ia melangkah hati-hati sambil memeluk map di dadanya.
“Kenapa aku merinding, ya,” gumam Tara sambil melirik kanan dan kiri.
Begitu tiba di ujung koridor, Tara menemukan meja kerja dengan plakat nama bertuliskan Dini Sabrina di atasnya. Sayangnya meja itu kosong, entah pergi kemana pemiliknya.
Tara menelan ludah, melirik jam bulat kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul sebelas lewat lima menit.
“Harusnya sekretarisnya masih di sini, kan?” gumamnya pelan.
Ia menunggu beberapa detik, menatap pintu kayu besar dengan papan nama tertempel bertuliskan Dirga Hardinata – Chief Financial Officer.
Akhirnya, ia memberanikan diri mengetuk pintu itu pelan.
Tok. Tok. Tok.
Tidak ada jawaban
Tara mengulang mengetuk sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras.
Masih hening.
Gadis itu mulai bingung. Ia memutar tubuh, mencari seseorang untuk ditanyai, namun koridor itu benar-benar kosong.
Setelah beberapa saat menimbang-nimbang, Tara akhirnya menghela napas panjang. Lalu dengan hati-hati ia memutar gagang pintu.
Tidak terkunci
Dengan langkah pelan gadis itu masuk ke ruangan yang tampak sepi itu. “Permisi,” bisiknya lirih. “Maaf Pak, jika saya lancang, masuk tanpa izin.”
Begitu ia masuk sepenuhnya, Tara memperhatikan ruangan itu sejenak. Megah dan luas, mungkin sekitar empat atau lima kali luas kamar kostnya dan Fifi.
Tara menatap meja kaca besar di tengah ruangan. Di atasnya ada laptop yang terbuka, beberapa dokumen sedikit berantakan di sampingnya, dan cangkir kopi yang sudah setengah kosong di sisi lainnya.
Tara melangkah pelan ke meja itu, lalu menaruh map-map yang dibawanya di atasnya.
Namun baru saja ia hendak berbalik, tiba-tiba telinganya mendengar suara samar dari arah pintu sebelah ruangan.
Sesuatu yang seperti...
Tara berhenti seketika. Kedua matanya membulat disertai detak jantungnya yang kian cepat. Ia menajamkan telinga, memastikan apa yang didengarnya.
Suara itu terdengar semakin jelas, kali ini disertai rancauan pria dan wanita yang saling bersahut, membuat bulu kuduk Tara berdiri.
“Oh Tuhan...” bisiknya dengan wajah memucat.