Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Sedikit Lebih Dekat
"Ibu dengar, katanya Lilis kemarin sore ke sini, Man?"
Armand mengerjap. Ia yang sedang duduk santai di kursi meja makan yang terletak satu ruangan dengan dapur bersih tak menduga akan mendengar nama wanita itu kembali disebutkan. Baru saja ingin menoleh ke arah si tersangka utama yang duduk di tengah-tengah pintu, yang menghubungkan dapur bersih dengan dapur kotor, langsung menghentikan niatnya tersebut saat kembali mendengar suara ibunya.
"Kata Lala, Lilis udah capek-capek dandan, tapi malah kamu cuekin." ibu Nur kembali berucap. Sambil membantu mbok Nah mengupas kentang, sesekali ia akan menoleh ke arah putranya yang tingkahnya akhir-akhir ini membuatnya bingung.
Bagaimana tidak bingung? Armand yang biasanya hanya mampir sebentar jika pulang ke desa demi menanyakan kabarnya, kini malah sudah empat hari tak kemana-mana. Palingan sesekali juga ke warung, asalkan Lala pergi bersama Nissa. Selebihnya, putranya itu lebih suka berleha-leha, berbaring di sofa ruang tamu sambil menonton televisi.
Bahkan Armand juga tidak pergi memantau pekerjaan Rizal. Malah si Rizal yang sehari sekali akan datang untuk memberikan laporan.
Ditambah lagi dengan cerita yang didengarnya dari Lala sepulang ibu Nur dari desa sebelah kemarin malam, menjenguk anak bungsu dari salah satu saudaranya yang baru saja melahirkan dan sekalian menginap karena gemas dengan cucu dari saudaranya itu.
Awalnya ingin langsung berbicara dengan putranya itu. Akan tetapi, karena sudah lelah, baru pagi inilah ibu Nur bisa lebih leluasa bicara.
"Iya loh, Bu, dandanan mbak Lilis udah pol maksimal, tapi abang malah pergi ngikutin kami ke warung." Lilis terkikik tertahan. Sambil tetap mengepangi rambut Nissa yang duduk di depannya, sesekali ia akan menoleh untuk melihat dua sosok yang sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri itu.
"Nah... " ibu Nur tak betah berdiam diri. Diserahkannya pisau ke tangan mbok Nah dan kemudian ia berbalik agar bisa menatap langsung putranya yang selalu membuatnya khawatir itu. "Nggak baik loh, Man, bersikap kayak gitu pada seorang gadis. Lilis itu cantik loh, apa lagi dia udah usaha maksimal demi tampil cantik di depan kamu, ya coba dihargai sedikit lah. Ramah sedikit kek, diajak ngomong atau apalah, yang penting hargai usaha dia yang berusaha tampil cantik. Nggak enak ibu, Man, sama pak Lurah, kalau kamu terus bersikap dingin sama putrinya."
"Aku nggak mau kasih harapan apapun sama dia, Bu." cepat Armand menimpali. Ia tak ingin ibunya kembali memiliki alasan untuk menjodohkannya dengan anak pak Lurah itu.
"Seenggaknya bersikap ramah dikit lah sama dia. Hargai'in usahanya itu."
"Gimana mau menghargai kalau tampilannya kayak lenong begitu." Armand mendumel. Pagi yang ingin dilewatinya dengan tenang malah dibuat bete kala nama Lilis kembali disebutkan.
"Lah kok?" ibu Nur melongo bingung. Ia tolehkan kepalanya ke arah Lala yang kini malah terkikik sendiri. "Lenong gimana maksudnya ini, La?" tanyanya tak mengerti.
Lala sendiri tak langsung menjawab. Ia berusaha menenangkan diri agar kikikan gelinya tak berubah menjadi tawa. Dipandanginya Nissa yang masih setia duduk di hadapannya. Karena posisi lantai dapur kotor lebih rendah daripada dapur bersih, makanya Lala bisa lebih leluasa memandangi seraut wajah mungil yang selalu membuatnya gemas itu.
"La... " nada suara ibu memang terdengar lembut, tapi jelas terdengar ingin segera direspon.
Cepat Lala menegakkan posisi duduknya. Dengan kedua tangan masih betah bermain di rambut Nissa, Lala menoleh seraya menjawab, "Syahrini KW 10, Bu."
"Syahrini KW 10?" ibu semakin dibuat bingung.
"Rambutnya dibentuk kayak sarang tawon. Bibirnya merah menyala, sama dengan warna bajunya yang ketatnya bisa buat mbok Nah sesak napas kalau dia makainya. Udah gitu, bedaknya tembalnya minta ampun, mana nggak sama lagi sama warna kulitnya. Pasti butuh banyak cairan pembersih buat ngebersihin mukanya itu." Lala segera merapatkan kedua bibirnya agar tak menyemburkan tawa. Namun kikikan gelinya tak dapat ditahan saat berkata, "Muka abang sepet banget, Bu, waktu itu. Mana mbak Lilis sengaja manja-manjain suaranya lagi. Saya aja mesti berusaha keras supaya nggak ketawa."
Armand kembali mendumel. Ingin sekali dijewernya telinga gadis yang sudah dianggapnya sepertinya saudaranya sendiri itu. Tetapi, dumelannya dengan cepat berganti tatapan terpana kala melihat si mungil tersenyum.
Ya, tersenyum.
Meski si mungil sedang duduk di hadapan Lala, posisinya pun menghadap lurus ke depan, karena rambut si gadis bertubuh mungil itu telah seluruhnya berada dalam genggaman Lala, maka Armand bisa melihat dengan jelas tarikkan di kedua sudut bibir yang merah alami itu.
Armand benar-benar terpesona. Si mungil yang suaranya sangat mahal itu kini tampak semakin cantik dan juga menggemaskan di matanya, sampai-sampai Armand tak bisa berkata-kata.
Usai mendengar cerita Lala yang rupanya tak menceritakan seluruh kejadian yang ada, ibu Nur akhirnya hanya bisa menghela napas. Apa lagi suara tawa pelan dari mbok yang berada di sampingnya, ibu Nur pun pasrah, tak memiliki alasan lagi untuk mulai membicarakan perjodohan dengan putranya yang terlalu cuek itu.
Jujur, untuk masalah dandanan Lilis yang kemarin, ibu Nur tak ingin berkomentar. Tapi, menurut pendapatnya pribadi, Lilis itu menurutnya cantik, asalkan mungkin tak memakai make up berlebihan.
Sungguh, ibu Nur sangat mengkhawatirkan Armand. Andai putri bungsunya masih ada, tentu ibu Nur tidak akan sekhawatir sekarang. Usia Armand sudah melewati masanya untuk bersikap abai. Di saat para sepupunya yang lainnya sudah mempunyai 3 atau bahkan 4 anak di umur segitu, Armand malah masih betah sendiri setelah menyandang status duda.
"Bu... " panggil Armand pelan setelah bisa mengendalikan diri akibat terpesona oleh senyumnya si mungil. Begitu melihat wajah ibunya, tentu ia menyadari adanya perubahan di raut wajah ibunya. "Nggak usahlah pusing mikirin soal jodohnya aku. Kalau memang udah waktunya, aku pasti akan menikah lagi."
"Kapan hal itu baru bisa terwujud, Man?" ibu menghembuskan napas berat. "Ibu ini udah sangat tua, Man. Ibu nggak tau sampai kapan bisa nemanin kamu. Ibu juga pengen ngerasain gimana rasanya gendong cucu ibu sendiri, Man. Waktu ibu gendong anaknya si Alin, ibu rasanya nggak mau ngelepasin anaknya itu dari gendong ibu."
"Do'akan aja yang terbaik ya, Bu." ucap Armand yang sedikit merasa bersalah karena tak bisa segera memenuhi keinginan ibunya. "Ngomong-ngomong, ibu mau dibawain apa nanti dari pasar malam?" tanya Armand untuk mengalihkan rasa sedih ibunya.
Ibu Nur mendengus kesal. Pasrah tak bisa memaksa Armand untuk segera berumah tangga, seraya berbalik untuk kembali membantu mbok Nah menyiapkan sarapan, lembut ibu Nur berucap, "Jagain aja Lala sama Nissa baik-baik. Jangan sampai ada yang berani berbuat yang nggak-nggak sama mereka."
"Nissa nggak usah ikut aja ya, Bu."
"Eh... eh," Lala menyela dengan menggoyangkan jari tulunjuknya di depan gadis mungil yang sangat irit bicaranya itu. "Dedek gemes nggak boleh nolak. Harus ikut pokoknya. Nanti aku belikan banyak makanan yang enak di sana."
"Tapi... "
"Tenang aja, kamu bebas mau beli apa aja di sana. Selama abang juragan yang ngawal kita, ditanggung kita bakalan kenyang. Selain bisa beli apapun yang kita mau, kantong mbak Lala juga bakalan aman."
Perkataan yang diucapkan Lala dengan sungguh-sungguh tersebut membuat Armand mendengus. Tapi tidak halnya dengan ibu Nur dan mbok Nah. Kedua wanita paruh baya itu terkekeh geli dan menggelengkan kepala karenanya.
*****
Sesuai dengan apa yang Lala katakan, gadis itu memang menjadikan Armand sebagai ATM berjalan. Apapun makanan yang dianggap enak pasti akan dibeli. Beberapa boneka kecil nan lucu yang dianggap menarik tak ketinggalan. Yang jadi masalah, selain menjadikan Armand sebagai ATM berjalan, gadis kurang ajar itu juga menjadikannya sebagai pesuruh. Lihat saja kedua tangannya sudah penuh dengan barang-barang serta makanan yang dibeli.
Tapi lihatlah sekarang, gadis kurang ajar itu malah menghilang setelah tadi tanpa sengaja bertemu dengan salah seorang temannya sewaktu masih SMP dulu, serta meninggalkan Armand dengan kantong-kantong belanjaan dan juga...
Si Mungil
Menyadari hal tersebut, tiba-tiba saja Armand merasa tidak ada ruginya juga gadis itu pergi berkeliling bersama temannya itu.
Jadinya 'kan Armand bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama si mungil yang lebih banyak menunduk sejak tadi mereka menginjakkan kaki di area yang dijadikan sebagai pasar malam itu.
Baju terusan selutut berbahan lembut menjadi pilihan gadis yang berjalan beriringan di sebelah kanannya itu. Warna baju yang berwarna kehijauan dengan adanya motif bunga-bunga kecil serta panjang lengannya hampir mencapai siku membuat kecantikan gadis itu makin bertambah.
Tidak ada polesan make up yang menghiasi pipi. Bahkan bibir mungil itu pun tampak menarik meski berwarna merah alami.
"Maaf kalau kami sudah ngerepotin, Juragan."
Kalimat yang diucapkan dengan suara pelan tersebut rupanya masih bisa didengar Armand dengan jelas. Seulas senyum muncul dengan sendirinya di bibirnya saat menoleh ke arah si mungil yang masih setia menundukkan kepala.
"Mbak Lala kemana sih? Kok sampai sekarang belum nyamperin ke sini?"
Gerutuan bernada kesal di akhir kalimat itu malah membuat senyum Armand semakin merekah.
"Ahh...ada untungnya juga kamu pergi, La. Jadinya aku bisa dengerin suaranya si mungil." ucap Armand dalam hati.
"Kalau tau gini, mending aku nggak ikut tadi."
"Jadi, kamu nggak suka berduaan saja sama saya, Nis?"
"Ehh... " Nissa seketika mendongak. Padahal ucapannya tadi diucapkannya dengan sangat pelan, lalu kenapa anak dari malaikat penolongnya itu masih bisa mendengarnya. Seketika menghentikan langkah dan menatap pria yang ternyata juga turut menghentikan langkahnya.
"Kalau kamu memang nggak suka, kita pulang aja sekarang."
"Bukannya gitu, Juragan." cepat Nissa menyergah. Ia tak ingin anak dari penolongnya itu merasa tak dihargai.
Melihat ekspresi pria yang melangkah di sampingnya itu menjadi seakan menyimpan kesedihan, mungkin..., Nissa jadi merasa tak enak hati. Andai saja Lala tak meninggalkan mereka begitu saja di sini, Nissa tentu tak akan menjadi serba salah seperti ini.
Melihat Nissa yang serba salah, plus gadis itu tak sependiam biasanya, Armand harus sekuat menjaga agar ekspresinya yang serius tak berubah menjadi rekahan senyuman lebar di bibir.
Cantik dan makin menggemaskan saja gadis mungil itu di matanya.
"Jangan marah ya, Juragan, saya tidak ada maksud bikin Juragan marah atau pun tersinggung." ucap gadis itu merasa bersalah seraya kembali menundukkan kepala. Namun, sentuhan lembut di puncak kepalanya membuat Nissa perlahan kembali mendongak.
"Saya hanya bercanda aja, Nis." ujar Armand cepat karena tak ingin wajah cantik itu diselimuti mendung. "Saya hanya ingin menggoda kamu saja, soalnya saya senang dengar kamu banyak bicara begini. Biasanya kamu lebih banyak diam. Palingan kalau ngomong, suara kamu kecil sekali. Itu pun hanya dengan Lala ataupun Ibu, baru kamu suaramu itu terdengar. Sampai-sampai saya gregetan sendiri jadinya." tutur Armand menjelaskan.
Ketika Nissa sendiri berulang kali mengerjapkan mata karena tak menyangka pria yang semula dipikirnya sulit untuk didekati atau selalu memancarkan aura dingin itu bisa berbicara selembut itu dengannya, maka Armand harus mengepalkan tangannya demi tak kembali menyentuh kembali puncak kepala gadis yang berdiri di hadapannya itu.
Tadinya, Armand yang tak rela wajah yang cantik nan mungil itu diselimuti mendung berinisiatif memindahkan kantong belanjaan yang berada di tangan kanan ke tangan kirinya. Merepotkan memang. Tapi, demi membuat suasana si mungil kembali membaik, tak berpikir dua kali untuk melakukannya. Memang sekarang suasana hati gadis itu tampak mulai membaik. Kerjapan sepasang mata bulat yang jernih itu juga membuat Nissa tampak begitu menggemaskan di matanya.
Tapi, sekarang Armand menyesal melakukannya. Bukan karena menyesal telah menyentuh puncak kepala si mungil, melainkan karena efek yang ditimbulkan oleh sentuhan itu membuat Armand ingin meletakkan tangannya berlama-lama di sana.
"Minggir dikit dong. Kalau mau pacaran jangan di tengah jalan begini."
Perkataan yang diucapkan salah satu pengunjung di pasar malam tersebut yang ingin lewat membuat Armand menggerakkan sedikit kepalanya sebagai isyarat agar Nissa mengikuti langkahnya.
Setelah berada di tempat yang tak terlalu banyak pengunjungnya, barulah Armand bisa melihat dengan jelas jika pipi ranum tanpa polesan make up itu ternyata telah bersemu merah karena malu.
"Kita tunggu di sini dulu ya." kata Armand pelan. Begitu melihat si mungil mengangguk dengan kepala yang lagi-lagi menunduk, Armand kembali berucap, "Tolong kamu pegangin dulu belanjaan di tangan saya ini. Saya mau kirim pesan ke Lala, supaya dia nggak bakalan repot nyari kita nanti."
Nissa tak mengatakan apa-apa. Tapi, gadis itu langsung menggerakkan tangannya untuk menerima beberapa kantong belanjaan yang berada di tangan kanan pria itu, yang mana membuat tangan mereka bersentuhan hingga menyebabkan Nissa sedikit terperanjat dan kemudian entah apa sebabnya, tiba-tiba saja gadis itu merasakan panas di kedua pipinya.
Sudah tentu Armand kembali melihat rona kemerahan di pipi Nissa akibat tangan mereka tak sengaja bersentuhan. Namun Armand tak mengatakan apa-apa. Ia pun mengambil ponsel dalam saku celana dan kemudian mulai mengetik pesan untuk dikirimkan kepada Lala.
Dan tanpa Armand dan Nissa sadari, dari tempat yang tak terlalu dengan posisi mereka berdiri saat ini, terdapat sepasang mata yang menatap menatap ke arah mereka dengan kobaran kemarahan dalam kedua bola mata. Kedua tangan orang itu mengepal dan sebelum pergi, orang itu masih sempat berucap, "Awas saja!"
Orang itu kemudian melangkah pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Menyebabkan beberapa temannya saling pandang karena bingung dengan apa yang terjadi padanya.
*****
Bab selanjutnya, kita bakalan kenalan sedikit dengan Nissa ya...