"Revano! Papa minta kamu menghadap sekarang!"
Sang empu yang dipanggil namanya masih setia melangkahkan kakinya keluar dari gedung megah bak istana dengan santai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sari Rusida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8
Dita datang di waktu yang pas, menurut Risya. Gadis yang berusaha mati-matian terlihat sibuk di depan Revano itu terlihat menghembuskan nafas lega kala melihat Dita datang dengan menggunakan taxi.
Revano segera merogoh kunci mobil yang diminta Dita, menyerahkannya pada Risya. Ragu-ragu gadis itu menerimanya dari Revano.
"A-aku nemenin Dita, ya?"
Revano menatap datar, berfikir sejenak. Dia butuh kelonggaran waktu agar bisa berbicara dengan Reyna, adiknya. Dia butuh kejelasan mengenai bodyguard Tama yang secepat kilat bisa mengetahui keberadaannya saat ini.
Revano mengangguk. "Saat saya sampai rumah, Anda harus segera sampai."
Risya mengangguk cepat, dan dengan kilat ia keluar dari mobil dan segera menghampiri Dita.
"Kok sendiri? Nggak sama bodyguard ganteng kamu itu?" tanya Dita sambil celingukan mencari sosok bodyguard di belakang Risya.
"Nggak. Ayo, buruan. Aku harus ketemu sama Alex," ucap Risya sambil menarik tangan Dita untuk masuk ke dalam taxi.
"Memangnya nggak pa-pa kalau bodyguard kamu nggak ikut? Om Putra bisa marah nanti sama dia. Kan kasihan kalau ganteng-ganteng gitu kena marah," ucap Dita.
"Udah, biasa aja. Jalan, Pak."
Mobil taxi itu meninggalkan tempat yang saat ini tengah berada satu lagi mobil taxi, yaitu yang dinaiki Revano.
Di dalam mobil itu Revano tengah disibukkan dengan handphone-nya. Berkali-kali ia menelfon Reyna --adiknya-- tapi tak kunjung diangkat.
Revano menggeram kesal. Ia meminta supir taxi untuk pergi dari sana, menuju Kafe Melati, tempat Risya saat ini berada.
Saat Revano tengah sibuk memandangi kota itu, handphone-nya berdering. Panggilan dari Reyna masuk ke ponselnya.
"H-hallo, Bang?" Suara Reyna terdengar bergetar dan tersedat-sedat kala mengucapkan itu.
Revano mengernyitkan dahinya. "Kamu nangis, Rey?"
Isakan kecil terdengar dari seberang. "P-papa ... hiks, Papa habis marahin Reyna, Bang."
"Kenapa? Mereka tahu kalau kamu mengetahui posisi Abang sekarang?" tanya Revano dengan wajah memerah.
"N-nggak ... tapi, tapi Papa marah karena Papa curiga aku tahu mengenai Abang pergi dari rumah. Dari semalam Papa hilang kendali, Bang. Papa seperti monster. Hiks," ucap Reyna sedikit tersendat oleh isak tangisnya.
"Oke, oke. Coba kamu cerita pelan-pelan. Tarik nafas, hembuskan perlahan. Cerita sama Abang, apa yang terjadi? Kejadian apa yang terjadi semalam karena Abang kabur?" tanya Revano berusaha menguasai perasaan adiknya.
Setelah sedikit tenang, Reyna mulai bercerita, "Jadi, waktu aku pulang setelah nganterin Abang ke pinggir jalan kemarin, orang rumah semuanya udah kumpul di depan gerbang utama. Papa, Mama, Bang Reno, Bang Rifki, semuanya."
"Bodyguard yang nampak aku pergi sama Abang semalam itu cerita, kalau aku pergi sama Abang."
Flasback on~
"Papa ... Mama ..." Reyna memulai aktingnya saat melihat segerombol orang di depan gerbang, seperti menunggu kehadirannya.
Nathalie langsung berlari dan memeluk tubuh Reyna yang terlihat bergetar. Air matanya terlihat seperti seseorang yang benar-benar dalam keadaan terpuruk. Gadis dua belas tahun itu terlihat menjiwai aktingnya.
"Ada apa, Sayang? Abang kamu di mana? Kamu pergi--"
"Reyna! Di mana Revano?! Kamu membiarkan dia kabur, hah?!" Tama mendekati istri dan anak bungsunya itu. Matanya memerah, rahangnya mengeras, giginya ikut bergemelutuk.
"B-bang V-van, Ma ... hiks, A-abangku ..." Isak tangis Reyna semakin kencang. Tama yang melihat itu berusaha menetralkan emosinya.
"Revano kenapa? Abang kamu kenapa, Sayang? Benar kamu tadi nemenin Abang ke Apartemennya? Kok kamu pulang sendiri? Abang mau sendiri dulu di Apartemen? Abang kamu kenapa, Sayang?" Nathalie berusaha menggali informasi dari gadis yang tengah terisak di pelukannya ini.
"Reyna! Jangan berbohong pada Papa! Katakan! Di mana Abang kamu?!" Walau pun sudah berusaha menahan emosinya sebisa mungkin, Tama masih tetap kelepasan.
"B-bang Van k-mecelakaan, Ma." Tangis Reyna kembali terdengar lebih kencang. Nathalie yang tidak bisa menahan bobot tubuhnya terjatuh, dengan Reyna di atasnya.
"R-revano? Anak Mama ...."
Flasback off~
"Bagaimana keadaan Mama, Rey?" Revano terdengar khawatir.
"Sejak malam tadi sampai sekarang Mama nggak bisa tidur, Bang. Nggak mau makan, cuma mau ketemu Abang. Papa pun langsung membawa banyak bodyguard ke tempat terakhir kita pisah, di sana ada jurang, 'kan? Nah, aku bilang Abang tertabrak mobil dan masuk jurang."
"Semalaman bodyguard itu mencari keberadaan Abang, tapi anehnya ...."
"Kenapa, Rey?" Revano tidak sabar ingin mencari tahu jawabannya. Reyna terlalu menggantungkan ceritanya, Revano ingin segera tahu.
"Ada mobil yang menabrak pohon besar di sana, Bang. Persis di pinggir jurang itu. Abang ... beneran kecelakaan?" tanya Reyna dengan nada pelan.
Revano terdiam sebentar. Mobil Risya memang menabrak pohon agar bisa menghindari kecelakaan dengan Revano. Letak pohon itu juga cukup dekat dengan jurang. Secara tidak langsung, itu benar-benar membantu Revano.
"Abang baik-baik aja. Terus, tadi kenapa kamu nangis?" tanya Revano mengalihkan pembicaraan.
"Papa ... curiga kalau Abang pergi sama aku dan aku sengaja menutupi kenyataan kalau Abang kabur," ucap Reyna kembali dengan nada lirih.
"Kok bisa? Bukannya mobil yang menabrak di pohon itu sudah jelas sebagai bukti kalau Abang beneran kecelakaan dan kemungkinan besar masuk jurang?" tanya Revano sambil memijat pelipisnya pelan.
"Bodyguard bodoh itu lagi. Lagi-lagi dia yang mendapat petunjuk itu. Kepala bodyguard itu! Aku benci dia," ucap Reyna dengan nada ketus.
"Ada apa dengan kepala bodyguard itu?"
"Dia menemukan saksi yang melihat kecelakaan itu. Saksi itu menceritakan secara detail kejadian kecelakaan. Abang pergi ke Surabaya, 'kan? Tempat di mana gadis yang hampir menabrak Abang itu tinggal?" tanya Reyna.
"Kamu ... tahu dari mana?" tanya Revano dengan suara amat pelan.
"Papa. Dia ... entah dapat informasi dari mana, yang jelas, supir taxi yang dikendarai Abang menuju Surabaya dibayar mahal oleh Papa agar mau mengaku. Bukan! Maksudnya mau mengingat, apakah benar dia pernah memberikan tumpangan pada Abang," ucap Reyna.
Revano terdiam. Seharusnya ia tahu ini. Papanya pasti bisa menemukan dia dalam waktu hitungan menit. Komunikasi Tama tersebar luas di mana-mana, Bukan hanya Jakarta.
"Kamu jangan sedih, Abang baik-baik aja di sini. Apa pun yang terjadi, jangan pernah bocorkan keberadaan Abang saat ini," ucap Revano tegas.
"Bang? Bodyguard bodoh itu sudah menemukan keberadaan Abang. Di sebuah kafe yang ada di Surabaya, beberapa menit yang lalu."
Revano mengusap wajahnya yang kebas. Ini sulit. Keberadaannya sudah diketahui, hanya tinggal mencari titik terang.
"Bang? Masih di sana?"
Revano menyahut singkat.
"Bang, ada satu berita lagi yang harus abang ketahui."
Revano menaikkan alisnya. "Apa?"
"Perjodohan itu. Papa ... mengundurnya."
Entah bagaimana, Revano bisa menghembuskan nafas lega. "Kamu serius?"
"Hanya mengundur, bukan membatalkan. Abang harus--"
Terdengar ketukan pintu dari seberang sana, tempat Reyna.
"Bang, Papa manggil. Aku tutup teleponnya. Aku sayang Abang."
Tut.
Revano menyugar rambutnya. Setidaknya ia tidak bertemu bodyguard itu. Belum lebih tepatnya.
Revano memandangi sekitar. Sebentar lagi ia akan sampai di Kafe Melati. Dia tidak akan keluar. Dia akan menunggu di mobil sambil memastikan keberadaan Risya bisa ia pantau. Dia tidak ingin lalai dalam tugasnya.
"Sudah sampai, Tuan."
Revano mengangguk. Pandangannya fokus ke dalam. Bukan, lebih tepatnya parkiran di Kafe Melati. Mobil Putra masih ada, berarti Risya dan Dita belum meninggalkan tempat itu.
Revano berniat turun dan mencari keberadaan Risya. Nona mudanya itu tidak boleh dibiarkan berduaan dengan lelaki yang jelas dilarang keras oleh Putra untuk bersama. Revano juga bisa melihat Alex bukanlah lelaki yang baik.
Gerakan tangan Revano untuk membuka pintu terhenti. Pandangannya tertuju pada keributan yang terjadi di pintu masuk Kafe. Revano memilih membuka jendela mobil dan mengintip dari dalam saja.
"Aku benci kamu, Lex! Aku bela-belain kabur ke luar kota agar bisa terbebas dari kekangan Papa yang minta aku untuk jauhi kamu! Aku bela-belain ngelawan Papa cuma untuk bela kamu! Tapi apa yang kamu kasih?!"
Tangan Risya bergerak menyapu wajahnya. Bukan! Lebih tepatnya, menyapu air mata dari wajahnya.
"Kamu bilang mau nyusul aku ke Jakarta kalau aku udah sampek sana! Aku iya'in waktu kamu bilang minta waktu untuk keluar dari kota ini! Tapi apa, Lex?! Waktu itu kamu gunakan untuk bersenang-senang dengan perempuan jal*ng ini! Aku benci, Lex! Benci sama kamu!"
Dita yang berada di sebelah Risya berusaha mati-matian untuk menenangkan Risya. Namun, tangannya selalu ditepis secara kasar oleh sahabatnya ini.
"Sayang, Desi cuma sepupu aku. Kamu jangan salah paham. Yang kamu dengar ..."
"Yang aku dengar benar! Iyakan?! Bukan cuma aku, Lex, yang denger! Dita! Dia saksi yang juga denger kalau kamu bilang sama perempuan murah*n ini, kamu bakal nikah sama dia saat aku di Jakarta! Dan setelahnya, kamu akan jadiin aku ladang uang, 'kan?!"
"Iya! Bener! Yang lo ucapin memang bener, Bodoh!" Perempuan yang kini tengah berada di sebelah Alex bersuara.
"Kamu ...!"
Sebelum Risya mendaratkan tangan mulusnya di pipi Desi, tangan itu sudah lebih dulu dipegang seseorang dan dibawa pergi dari sana.
"Heh, lo bajing*n! Balikin cewek gue!" Alex mencengkeram pundak lelaki yang hendak membawa Risya pergi itu, Revano.
Bugh!
"Jangan pegang saya."
"Alex! Mulai detik ini, kita putus!"
••••
Bersambung