Kirana, seorang siswi SMA dengan kemampuan indigo, hidup seperti remaja pada umumnya—suka cokelat panas, benci PR Matematika, dan punya dua sahabat konyol yang selalu ikut terlibat dalam urusannya: Nila si skeptis dan Diriya si penakut akut. Namun hidup Kirana tidak pernah benar-benar normal sejak kecil, karena ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan arwah yang tak terlihat oleh orang lain.
Saat sebuah arwah guru musik muncul di ruang seni, meminta bantuan agar suaranya didengar, Kirana terlibat dalam misi pertamanya: membantu roh yang terjebak. Namun kejadian itu hanyalah awal dari segalanya.
Setiap malam, Kirana menerima isyarat gaib. Tangga utara, lorong belakang, hingga ruang bawah tanah menyimpan misteri dan kisah tragis para arwah yang belum tenang. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya yang kadang justru menambah kekacauan, Kirana harus menyelesaikan satu demi satu teka-teki, bertemu roh baik dan jahat, bahkan melawan makhluk penjaga batas dunia yang menyeramkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8
Malam harinya, mereka semua diam-diam berkumpul di ruang UKS. Kirana membawa buku catatan tua dari perpustakaan yang berhasil diselamatkan. Nila membawa lilin. Radith menyiapkan kamera polaroid.
“Kita mau ngapain?” tanya Jalu gugup.
“Memanggil yang ingin bicara,” jawab Kirana datar.
“Yang... yang mana?” Jalu makin panik.
“Yang selama ini terus bilang 'balikin'.” Kirana menyalakan lilin.
Mereka membentuk lingkaran, meletakkan foto hitam-putih di tengah.
“Kalau ada arwah yang ingin menyampaikan sesuatu, tolong tunjukkan lewat cahaya lilin,” ujar Kirana dengan suara dalam.
Sesaat ruangan hening. Tiba-tiba lilin mulai bergetar, apinya goyah, lalu mendadak padam.
Ruangan gelap gulita.
BRUK!
Seseorang jatuh. Disusul jeritan Nila.
“APA ITU?! ADA YANG MEGANG TANGANKU!!”
Cahaya dari kamera Radith memotret sesaat. Sekilas tampak bayangan hitam berdiri di belakang Kezia.
Semua berteriak, tapi tak bisa keluar karena pintu UKS terkunci sendiri.
“INI KAMU YANG DATANG?” teriak Kirana.
Tiba-tiba dari jendela muncul tangan berlumuran darah menggores kaca membentuk tulisan:
"MIRA... KORBAN... BUKAN PELAKU."
Semua terdiam. Diriya bergumam pelan, “Siapa Mira?”
Kirana menjawab dengan napas tercekat, “Itu nama salah satu siswi yang wajahnya dicoret di foto…”
Malam itu, mereka akhirnya berhasil keluar setelah pintu terbuka sendiri. Radith mengecek kamera dan hasil foto polaroid.
Tampak bayangan hitam dengan wajah setengah melepuh... berdiri di antara Kezia dan Diriya.
Jalu mencoba bercanda sambil gemetar, “Yaelah… cakepan tuyul di rumah nenek gue dari ini.”
“Jalu!” tegur Kezia, menahan tawa sambil tetap takut.
Meski ketakutan, sejenak mereka tertawa kecil di tengah horor itu. Meringankan beban dan ketegangan. Tapi semua kembali serius saat Radith membuka satu-satunya halaman lain dari buku tua itu yang selamat.
Ada coretan:
"Tiga teman tak bersalah. Tapi satu di antara mereka... menyimpan rahasia yang seharusnya dikubur."
Semua saling pandang.
“Tiga teman? Kita?” tanya Kezia.
“Tapi kita ada empat,” ujar Diriya.
Radith menatap Kirana dengan pucat begitu juga dengan Jalu
Kirana menatap semua temanya, “Aku rasa rahasia itu mungkin masih tersimpan… dan kita harus menemukannya sebelum arwah Mira mengamuk lebih parah.”
Di kejauhan, lonceng tua di menara sekolah berbunyi sendiri.
Padahal sudah jam sebelas malam.
Mereka semua langsung berlari keluar dari sana
Keesokan harinya
Hari Senin datang dengan mendung tipis menggantung di langit. Langkah-langkah murid SMA Pradipta, terdengar bergema di koridor yang basah sisa hujan semalam.
Tapi Kirana merasa hari itu lebih sunyi dari biasanya, seperti ada suara yang hilang... atau mungkin terlalu banyak suara yang tak terdengar.
“Kirana,” panggil Kezia pelan, “Jalu dan Radit aneh deh hari ini. Dari tadi mereka diem aja. Bahkan nggak ketawa pas si Bima jatuh nyungsep di taman.”
Diriya mengangguk, menyusul sambil menatap ke arah dua anak laki-laki yang duduk di pojok kelas. Jalu menatap keluar jendela dengan mata kosong, sedangkan Radit sesekali mencoret-coret sesuatu di buku catatannya.
Nila menarik napas, “ sejak kita berhasil keluar dari UKS semalam mereka sudah aneh"
Kirana diam. Ia juga merasakan perubahan itu. Apalagi sejak mimpi-mimpi anehnya semakin jelas. Sosok tiga gadis berseragam SMA terus datang—Liana, Anindya, dan Mira. Kadang menangis. Kadang marah. Dan malam tadi... mereka bertiga menunjuk ke arah dua sosok laki-laki yang wajahnya mirip—Jalu dan Radit.
Saat istirahat, Kirana memutuskan untuk mengajak Jalu bicara empat mata.
“Kamu pernah kenal seseorang bernama Mira?” tanyanya tiba-tiba.
Jalu yang sedang meneguk air minum langsung terdiam. Tangannya gemetar sedikit.
“Kamu bicara a...Pa ?” tanya Jalu gugup
“Dia datang padaku,” ujar Kirana tenang. “Juga Liana dan Anindya.”
Radit yang mendekat langsung meraih lengan Jalu. “Kirana, jangan tanya lebih jauh... Ini bukan urusan kalian.”
“Tapi kalian sudah jadi bagian dari kelompok ini. Kalian lihat hantu itu juga, kan?” sahut Diriya sambil mendekat.
Radit menghela napas panjang. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya sebuah foto lusuh. Terlihat tiga gadis berdiri di depan toko antik, wajah mereka penuh senyum. Di belakang mereka, samar, tampak dua anak laki-laki. Satu mengenakan jaket hitam—wajahnya seperti Jalu. Satu lagi memegang kamera—seperti Radit.
“Itu kalian...” gumam Kezia.
“Bukan,” ujar Jalu akhirnya. “Merka ayah ayah kami, tapi mereka bukan pelaku... tapi mereka tahu siapa dalangnya. Dan sekarang... mereka semua datang menuntut kebenaran.”
"Sayangnya ayah kami sudah meninggal, tapi sebelum meninggal mereka memberi tau sesuatu pada kami dan kebetulan ayah kami adalah sahabat dan kami di beri tau" jelas Radith putus asa
Mereka semua terdiam karena shock
Malam harinya, Kirana bermimpi lagi. Kali ini ketiganya, Mira, Liana, dan Anindya. Berdiri mengelilingi pohon beringin tua di belakang sekolah. Mereka tidak menangis.
“Ayah Jalu... tahu siapa yang menyebabkan kami terjebak,” bisik Mira. “Dia bukan pelaku, tapi dia menyaksikan semuanya.”
“Katakan pada semua orang,” desis Liana. “Toko itu bukan sekadar tempat menyimpan barang... Tapi menyimpan jiwa kami.”
Pagi harinya, Kirana dan sahabat-sahabatnya mendatangi kembali toko antik itu. Jalu dan Radit ikut, walau terlihat gelisah dan pucat
“Kalau kita mau mengakhiri semua ini,” ujar Kirana,
“kita harus tahu... siapa yang memulai.” lanjut Kirana
Angin pagi itu berembus dingin dari jendela toko antik yang perlahan mereka buka. Matahari nyaris tak sanggup menembus debu yang menggantung di udara. Semua diam sesaat, seolah tempat itu baru saja menghembuskan napas panjang setelah lama tertidur.
Dan di saat itulah, di antara debu dan rak-rak tua, mereka menemukan buku harian berwarna biru dengan nama: Pak Wibowo guru lama mereka yang sudah pensiun... dan pernah menjadi kepala toko antik itu sebelum menjadi guru sejarah di sekolah.
Bersambung
semangat Thor berkarya itu tidak mudah salam sehat selalu ya Thor 💪👍❤️🙂🙏
lanjutkan Thor semangat 💪 salam sehat selalu 👍❤️🙂🙏