NovelToon NovelToon
Transmigrasi Ke Tubuh Selir Yang Tak Di Anggap

Transmigrasi Ke Tubuh Selir Yang Tak Di Anggap

Status: tamat
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Tamat
Popularitas:105.5k
Nilai: 5
Nama Author: inda

Sila, seorang gadis karier dari dunia modern yang tajam lidah tapi berhati lembut, terbangun suatu pagi bukan di apartemennya, melainkan di sebuah istana mewah penuh hiasan emas dan para pelayan bersujud di depannya—eh, bukan karena hormat, tapi karena mereka kira dia sudah gila!

Ternyata, Sila telah transmigrasi ke tubuh seorang selir rendahan bernama Mei Lian, yang posisinya di istana begitu... tak dianggap, sampai-sampai namanya pun tidak pernah disebut dalam daftar selir resmi. Parahnya lagi, istana tempat ia tinggal terletak di sudut belakang yang lebih mirip gudang istana daripada paviliun selir.

Namun, Sila bukan wanita yang mudah menyerah. Dengan modal logika zaman modern, kepintarannya, serta lidah tajamnya yang bisa menusuk tanpa harus bicara kasar, ia mulai menata ulang hidup Mei Lian dengan gaya “CEO ala selir buangan”.

Dari membuat masker lumpur untuk para selir berjerawat, membuka jasa konsultasi percintaan rahasia untuk para kasim.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

Qin Mo tentu saja ikut. Dengan wajah waspada dan tangan selalu dekat dengan pedang.

Mereka menginap di rumah kepala desa. Saat makan malam, hidangan seadanya terhidang. Sayur asin, bubur jagung, dan segelas air bening yang… agak keruh.

Mei Lin mengaduk perlahan. “Apa ini air dari sumur utama?”

Kepala desa tampak ragu. “Ya, tuan. Air sungai besar tak lagi sampai ke irigasi kami. Kami hanya bisa ambil air dari sumur.”

Kaisar diam. Tapi tatapannya tajam.

“Kami dengar sungai besar masih mengalir. Tapi kenapa airnya tak bisa sampai ke desa?”tanya kaisar yang menyamar

Kepala desa menunduk gugup. “Mungkin ada tanah longsor. Atau... roh sungai marah?”

Mei Lin mencubit lengan suaminya—eh maksudnya, Kaisar Pejabat Wu—di bawah meja. “Kalau roh sungai marah, sebaiknya kita cek sungainya langsung.”

Penyelidikan Diam-Diam pun di lakukan

Keesokan harinya, mereka berjalan menyusuri hulu sungai. Tapi semakin mendekat, Mei Lin mencium kejanggalan.

Ada suara gemericik kecil dari hutan samping sungai.

“Qin Mo,” bisiknya. “Kau dengar itu?” tanya Mei Lin

Sang pengawal mengangguk, lalu menyelinap lebih dahulu. Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan wajah masam.

“Yang Mulia. Selir Mei Lin. Kalian harus lihat sendiri.”

Mereka berjalan ke balik rerimbunan pohon dan mendapati sebuah kanal kecil yang dibangun diam-diam. Air dari sungai utama dialihkan masuk ke terowongan buatan.

Mei Lin menganga. “Ini… kanal ilegal?”

Qin Mo menambahkan, “Dibuat dengan batu yang bagus. Butuh tenaga kerja dan biaya. Jelas bukan kerjaan rakyat biasa.”

Kaisar mengepalkan tangan. “Ada pejabat tinggi yang mengalihkan air untuk keuntungan pribadi.”

Mei Lin mengangguk. “Mungkin untuk perkebunan pribadi? Atau tambak ikan?”

Kaisar menoleh pada Mei Lin, senyumnya tipis. “Kau benar. Kita tidak akan tahu kalau datang sebagai rombongan istana.”

Setelah menyelidiki lebih dalam dan mengumpulkan beberapa bukti serta kesaksian diam-diam dari warga desa, Kaisar dan Mei Lin kembali ke istana.

Dua minggu setelah perjalanan itu, seorang pejabat tinggi daerah timur dipecat dan harta kekayaannya disita. Kanal ilegal dibongkar, dan sistem irigasi lama dipulihkan.

Kaisar menerima laporan itu sambil tersenyum kecil. “Berkat saran istri simpanan pejabat rendahan, istana bisa menyelamatkan ratusan sawah.”

Mei Lin yang baru saja masuk membawa teh menyipitkan mata. “Kalau begitu, aku layak dapat gelar.”

“Gelar apa?” tanya kaisar

“Istri simpanan paling berjasa.” jawab Mei Lin dan tertawa

Kaisar ikut tertawa terbahak.

...----------------...

Langit istana mendung sore itu, seakan menyambut kembalinya sosok yang selama ini dirindukan banyak orang… atau ditakuti, tergantung siapa yang ditanya.

Ibu Suri, ibunda Kaisar yang telah lama berkelana ke wilayah barat untuk ziarah dan menyepi, akhirnya pulang ke Istana Langit Jing. Usianya telah lanjut, wajahnya teduh namun memancarkan wibawa yang membuat semua pelayan menunduk lebih dalam dari biasanya.

Kaisar sendiri menyambut dengan haru, mencium tangan ibunya dan memeluk erat.

“Aku rindu, Ibu,” ujarnya tulus.

“Begitupun ibu padamu, anakku,” jawab Ibu Suri lembut.

Namun setelah itu… kabar ganjil mulai berhembus.

Ibu Suri Mogok Makan

Selama tiga hari setelah kepulangannya, Ibu Suri tidak menyentuh satu pun makanan. Para tabib datang dan pergi, menggeleng pelan. Bukan karena sakit. Namun karena…

“Aku… tidak berselera,” katanya pelan kepada Kaisar.

Para koki istana putus asa. Sup mewah, bubur dari beras pilihan, daging yang dimasak lembut—semuanya hanya disentuh ujung sumpit.

Kaisar mulai cemas. “Apa yang bisa membuat selera makan Ibu kembali?”

Ajang Cari Muka Dimulai

Kabar bahwa Ibu Suri tidak makan menyebar bagai api ke seluruh bagian istana.

Selir-selir mulai berdatangan, tak ingin kehilangan kesempatan unjuk bakat—dan tentunya... posisi di hati Kaisar.

Selir Lan membawa ayam rebus yang katanya dimasak dengan air bunga dari gunung selatan.

Selir Ying menyuguhkan kue beras yang katanya resep turun-temurun dari nenek buyutnya yang pernah memasak untuk raja naga.

Selir Hua bahkan menyewa tabib dari luar untuk meracik sup khusus penuh rempah penggugah selera.

Namun hasilnya?

Ibu Suri hanya tersenyum sopan, lalu menggeleng lemah.

“Aku... tidak ingin makan.”

Kaisar yang melihat langsung menjadi makin gelisah. Wajahnya tampak letih.

Mei Lin: Yang Tak Ikut-Ikutan

Di Paviliun Anggrek Putih Selir Mei Lin justru sedang santai mengisi tinta dan menyalin puisi tua sambil sesekali berceloteh dengan Qin Mo dan Lian, sang pengawal.

“Semua orang seperti terjun lomba memasak, padahal Ibu Suri bukan sedang lapar mata, tapi hati,” katanya, mengusap tinta dari ujung jari.

Qin Mo menyeringai. “Kenapa tidak ikut saja, Selir Mei Lin? Siapa tahu buburmu menyelamatkan negara.”

Mei Lin mengangkat alis. “Aku? Tidak suka cari muka. Aku lebih suka cari... akal sehat.”

Namun malam itu, saat melewati aula utama dan melihat Kaisar duduk sendirian sambil mengelus dahi, Mei Lin berhenti. Wajah lelaki itu… tampak sangat lelah. Tak seperti biasanya yang dingin tapi kuat. Kini seperti seorang anak kecil yang khawatir ibunya akan lenyap.

Mei Lin menggigit bibir. “Baiklah. Mungkin sudah waktunya aku... turun tangan sedikit.”

Keesokan pagi, dapur kecil di belakang paviliunnya sibuk.

Mei Lin tidak memasak makanan mewah. Tidak memakai jamur dari lembah barat atau ayam jantan berumur tiga tahun. Ia hanya membuat bubur beras putih lembut, ditambahkan sedikit jahe segar, ditaburi irisan daun bawang, dan minyak wijen tipis.

“Bubur orang sakit,” gumamnya.

Namun yang paling penting, Mei Lin membuatnya sendiri. Dengan sabar. Mengaduk perlahan. Menjaga api kecil. Tidak mengandalkan pelayan.

Ia membawanya sendiri ke ruang Ibu Suri. Menunduk dalam, lalu meletakkan mangkuk di meja kecil.

“Ini bukan makanan mewah, Yang Mulia Ibu Suri,” katanya lembut. “Hanya bubur sederhana yang biasa dibuat ibuku dulu saat aku demam. Tapi... aku membuatnya dengan sabar dan niat agar orang yang kucintai sembuh.”

Ibu Suri memandang wajah Mei Lin. Tak mengenalnya baik, karena selama ini nama selir ini tak pernah menonjol seperti yang lain. Tapi ada sesuatu dari tatapan gadis ini yang terasa… hangat.

Ia mengambil sendok. Satu suap.

Mei Lin menahan napas.

Ibu Suri mengunyah perlahan.

Lalu satu suap lagi.

Dan satu lagi.

Hingga mangkuk itu kosong.

Kaisar yang tiba-tiba masuk tanpa suara langsung tercengang. “Ibu... makan?”

Ibu Suri mengangguk pelan. “Akhirnya... ada rasa yang kutemukan. Rasa... ketulusan.”

Kaisar menatap Mei Lin. Matanya menenangkan. “Kau yang memasak ini?”

Mei Lin menjawab santai. “Kalau dibilang memasak, mungkin terlalu berlebihan. Tapi, ya... aku yang mengaduk.”

Malam itu, Paviliun Mei Lin dipenuhi harum bunga krisan yang dikirim langsung dari taman Kaisar. Dan sebuah surat tulisan tangan Kaisar berbunyi:

"Buburmu sederhana. Tapi menyelamatkan Ibu dan hatiku sekaligus. Terima kasih, Selir Mei Lin.

Mei Lin menutup surat itu, tersenyum tipis. Lalu bergumam sendiri:

“Kalau tahu begini, harusnya aku buka warung bubur saja di istana ini.”

Qin Mo dari luar pintu menyahut, “Kalau itu terjadi, antreannya pasti para menteri!” dan mereka tertawa disana

Bersambung

1
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒋𝒅 𝒑𝒂𝒓𝒂 𝒔𝒆𝒍𝒊𝒓 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒍𝒊𝒉 𝒌𝒆𝒍𝒖𝒂𝒓 𝒅𝒓 𝒊𝒔𝒕𝒂𝒏𝒂
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒋𝒅 𝒔𝒆𝒍𝒊𝒓 𝒈𝒖𝒏𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒂𝒑𝒂 😦
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓𝑿 𝒕𝒖𝒓𝒖𝒏𝒂𝒏 𝑴𝒆𝒊 𝑳𝒊𝒏𝒈
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒂𝒎𝒑𝒖𝒏 𝒅𝒂𝒉 𝑴𝒆𝒊 𝑳𝒊𝒏 🤣
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒔𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒃𝒂𝒃𝒚 𝒏𝒚𝒂 𝒕𝒘𝒊𝒏𝒔 𝒚𝒂 😄😄
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒅𝒆𝒃𝒂𝒚 𝒏𝒚𝒂 𝒃𝒊𝒌𝒊𝒏 𝒉𝒆𝒃𝒐𝒉 𝒏𝒊𝒉 😅😅
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒏𝒈𝒊𝒅𝒂𝒎𝒏𝒚𝒂 𝒃𝒖𝒂𝒕 𝒇𝒓𝒖𝒔𝒕𝒂𝒔𝒊 𝒔𝒆𝒎𝒖𝒂 𝒚𝒈 𝒂𝒅𝒂 𝒅𝒊 𝒊𝒔𝒕𝒂𝒏𝒂 𝒂𝒏𝒕𝒊𝒎𝒂𝒊𝒏𝒔𝒕𝒓𝒆𝒂𝒎 𝒃𝒂𝒏𝒈𝒆𝒕 🤣🤣🤣
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒑𝒆𝒍𝒂𝒚𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒕𝒊𝒂 𝑴𝒆𝒊 𝑳𝒊𝒂𝒏 𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒌𝒐𝒌 𝒈𝒂𝒌 𝒅𝒊 𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂𝒊𝒏 𝒍𝒈 𝒔𝒊𝒉 🤔🤔
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒌𝒆𝒓𝒆𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏𝒏 𝑴𝒆𝒊 𝑳𝒊𝒏 👍👍👍
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒎𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒎𝒆𝒉𝒌𝒂𝒏 𝑴𝒆𝒊 𝑳𝒊𝒏 😏😏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝑴𝒆𝒊 𝑳𝒊𝒏 𝒅𝒊 𝒍𝒂𝒘𝒂𝒏 😏😏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝑩𝒂𝒊 𝑻𝒊𝒂𝒏 𝒈𝒂𝒌 𝒕𝒉 𝒎𝒂𝒍𝒖 😨😰😔
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝑴𝒆𝒊 𝑳𝒊𝒏 𝒋𝒆𝒍𝒊 𝒅𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒌𝒂 𝒌𝒍 𝒂𝒅𝒂 𝒚𝒈 𝒕𝒂𝒌 𝒃𝒆𝒓𝒆𝒔 😊😊
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒕𝒆𝒓𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂 𝑩𝒂𝒊 𝑻𝒊𝒂𝒏 𝒍𝒊𝒄𝒊𝒌 𝒚𝒂 😏😏
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒅𝒓 𝒔𝒆𝒍𝒊𝒓 𝒋𝒅 𝒑𝒆𝒓𝒎𝒂𝒊𝒔𝒖𝒓𝒊 𝒏𝒊𝒉 😅😅
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒋𝒅 𝒃𝒍𝒎 𝒂𝒅𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒎𝒂𝒊𝒔𝒖𝒓𝒊
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒂𝒚𝒐 𝒕𝒖𝒏𝒋𝒖𝒌𝒂𝒏 𝑴𝒆𝒊 𝑳𝒊𝒏 💪💪
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒖𝒏𝒕𝒖𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒍𝒊𝒓 𝑴𝒆𝒊 𝑳𝒊𝒏 𝒔𝒖𝒌𝒂 𝒃𝒂𝒄𝒂
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒔𝒖𝒎𝒑𝒂𝒉 𝒏𝒈𝒂𝒌𝒂𝒌 𝒕𝒓𝒖𝒔 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒂𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒖𝒕 𝒔𝒂𝒌𝒊𝒕 🤣🤣
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝒌𝒂𝒔𝒊𝒉𝒂𝒏 𝒌𝒖𝒄𝒊𝒏𝒈𝒏𝒚𝒂 𝒋𝒅 𝒆𝒙𝒑𝒆𝒓𝒊𝒎𝒆𝒏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!