bijak dalam memilih bacaan!
"Kamu... siapa?" bisik Zeya lirih, tangan kirinya memegangi kepala yang berdenyut hebat.
Pria itu tersenyum lembut, menatapnya seolah ia adalah hal paling berharga di dunia ini.
"Aku suamimu, sayang. Kau mungkin lupa... tapi tenang saja. Aku akan membuatmu jatuh cinta lagi...seperti dulu."
*****
Zeya, seorang mahasiswi kedokteran, tiba-tiba terbangun di dunia asing. Ia masih dirinya yang sama,nama, wajah, usia..tak ada yang berubah.
Kecuali satu hal, kini ia punya suami.
Ares Mahendra. Dosen dingin yang terlalu lembut saat bicara, terlalu cepat muncul saat dibutuhkan… dan terlalu mengikat untuk disebut sebagai “suami biasa.”
Zeya tidak mengingat apa pun. Tapi dokumen, cincin, dan tatapan Ares terlalu nyata untuk disangkal. Ia pun mulai percaya...
Hingga satu rahasia terkuak,zeya bukan istri nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azida21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Percaya Tanpa Sebab, Mencintai Tanpa Alasan
“Kepalaku… pusing sekali.”
Zeya mengerang pelan begitu membuka matanya. Dunia terasa lambat. Pandangannya sempat buram sebelum akhirnya perlahan menjadi lebih jelas atap kamar putih, cahaya hangat yang menyelinap dari celah tirai, dan aroma lembut yang entah kenapa terasa familiar.
Tangannya mengusap pelipis, berusaha meredakan denyut tak nyaman yang berdegup di kepala.
“Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” gumamnya pelan, lebih seperti bertanya pada diri sendiri. “Kenapa aku merasa… seperti kehilangan sesuatu?”
Ia memejamkan mata sejenak. Ada kekosongan yang mengganggu. Perasaan aneh yang menempel erat di dalam dada,seperti lubang kecil yang tak bisa dijangkau. Seolah ia baru saja kehilangan sesuatu yang penting… tapi ia tak tahu apa.
“Kenapa aku nggak bisa mengingat apa pun?” bisiknya, kali ini lebih lirih.
Zeya perlahan menoleh ke samping. Di sebelahnya, seorang pria tengah tertidur. Lelaki muda, tubuhnya tinggi dan bahunya lebar. Wajahnya teduh, bahkan saat dalam tidur. Garis rahangnya tegas, hidungnya tinggi dan simetris, dan bulu matanya,panjang dan lentik, hampir seperti lukisan. Rambutnya sedikit berantakan, tapi entah kenapa justru menambah kesan alami dan hangat.
“Laki-laki ini…?”
Ia menatapnya tanpa berkedip, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Suamiku?”
Pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibirnya, pelan. Tak ada yang menjawab, tentu saja. Tapi perasaan aneh itu tak kunjung hilang. Di balik kebingungan dan kekosongan yang menyelimuti pikirannya, ada satu hal yang justru tumbuh pelan-pelan: rasa nyaman. Rasa hangat. Dan… rasa cinta yang muncul tanpa alasan.
Zeya mengangkat tangan, sedikit ragu, lalu menyentuh pipi lelaki itu. Kulitnya hangat. Lembut. Begitu nyata. Ia mengusapnya pelan, seperti sedang memastikan apakah semua ini bukan mimpi.
“Dia… tampan sekali,” ucapnya, nyaris kagum. “Apa benar dia suamiku?”
Ia memejamkan mata sesaat, berusaha menggali ingatannya, tapi tak ada yang muncul. Hanya satu perasaan yang tersisa: rasa memiliki.
“Aku ingat betul kalau aku punya suami,” bisiknya. “Dan… perasaanku bilang, ini dia. Laki-laki ini adalah suamiku.”
Ia duduk perlahan, menyibak sedikit selimut, lalu memandang sekeliling kamar. Ruangan itu cukup luas. Rapi. Hangat. Di sisi ranjang, ada meja kecil dengan dua gelas,satu kosong, satu masih terisi setengah. Di atasnya ada jam dan foto dalam bingkai yang belum sempat ia lihat.
Zeya kembali menatap lelaki di sebelahnya. Ia masih tertidur, napasnya teratur, dada bidangnya naik turun perlahan.
“Hari sudah pagi…”
Ia menunduk, menggigit bibir.
“Apa aku harus membangunkan dia?”
Wajahnya berubah ragu. “Kalau aku bangunkan… apa dia akan marah?”
Ia menunduk lagi, kali ini lebih bingung dari sebelumnya.
“Kalau nggak dibangunin, nanti dia terlambat pergi kerja…” gumamnya.
Tapi kemudian pikirannya berputar lagi.
“Dia kerja, nggak, sih?” keningnya mengernyit. “Kenapa aku nggak ingat… apa pekerjaan suamiku?”
Ia menarik napas dalam-dalam. Dada kirinya terasa berat. Ada banyak pertanyaan, tapi tak satu pun yang punya jawaban.
“Aku merasa ada sesuatu yang salah,” gumamnya.
Ia melihat lagi wajah lelaki itu.
“Tapi… kenapa aku bisa secinta ini padanya?”
Ia menyentuh pipinya sekali lagi, kali ini lebih lembut, dan tanpa sadar senyum tipis muncul di wajahnya.
“Perasaanku bilang, aku mencintainya. Meskipun aku nggak ingat siapa dia, meskipun aku nggak tahu apa pun tentang kami… tapi aku tahu aku mencintainya.”
Ia menghela napas, menunduk pelan, dan menyandarkan dagunya di lutut yang ditarik ke dada.
“Lucu, ya. Bisa mencintai orang tanpa tahu alasannya.”
Matanya kembali menelusuri wajah lelaki itu,dari dahi hingga rahangnya yang tegas. Sorot matanya melembut.
“Kalau dia bukan suamiku… kenapa aku merasa kehilangan kalau jauh darinya?”
Perasaan itu terlalu kuat untuk diabaikan.
Seakan tubuhnya sendiri mengenali lelaki ini. Seakan jiwanya mengikat pada pria itu,bukan karena logika, tapi karena naluri.
Zeya memejamkan mata, lalu berbisik nyaris tak terdengar, “Kalau benar kamu suamiku… tolong jangan tinggalkan aku .”
Ia membuka matanya perlahan, dan tersenyum kecil, meski ada kabut di benaknya.
Meski ia belum tahu siapa dirinya sebenarnya,satu hal sudah cukup jelas baginya saat ini:
Ia tak ingin lelaki itu pergi menjauh darinya.