Sepeninggal kedua orang tuanya, Dennis harus menggantungkan hidupnya pada seorang janda kaya bernama Vivianna. Sehari-harinya Dennis bekerja menjadi asisten pribadi Si Tante, termasuk mengurusi pekerjaan sampai ke keperluan kencan Tante Vivianna dengan berbagai pria.
Sampai akhirnya, Dennis mengetahui motif Si Tante yang sesungguhnya sampai rela mengurusi hidup Dennis termasuk ikut campur ke kehidupan cinta pemuda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Aku tidak bisa tidur malam ini.
Mungkin karena terlalu capek memperbaiki segala hal-hal yang patah dan rusak di rumah ini, atau mungkin karena aku teringat rumah lamaku.
Tempatku setiap hari pulang dan menyapa ayah-ibuku.
Rasanya aneh saat sekarang aku menyadari kalau aku ini sendirian. Aku berbaring di kamar yang berbeda, suasana berbeda, aroma yang berbeda.
Terbesit di pikiranku tadi kalau aku mungkin akan sedikit merombak tempat ini menjadi lebih bergaya ‘aku’. Agar aku bisa menganggap tempat baru ini sebagai rumahku. Agar aku tidak merasa asing.
Aku sudah izin ke Tante Vivianna dan diperbolehkan, makanya aku mengambil kamar di lantai dua.
Juga dengan alasan privacy karena aku kini merasakan adanya perbedaan dalam diriku.
Mengenai lawan jenis.
AH, betapa nyaman dipeluk wanita dewasa.
Dalam sekejab aku bagai dituntun untuk membalas kelembutan tangannya.
Aku bahkan tidak mengenali diriku lagi.
Tentu aku tahu batasan, aku bukan anak kecil lagi. Dan tidak seharusnya aku main peluk saja kepada seseorang yang aku belum tahu benar keadaannya.
Aku bahkan tidak tahu dia berbohong atau jujur.
Benarkah ia memang seperti yang diceritakannya?
Juga bagaimana bisa dia akhir-akhir ini selalu ada dan menolongku tanpa pamrih.
Aku tidak tahu motifnya yang sebenarnya.
Terus terang saja, aku merasa bagai ‘dipelihara’.
Jadi karena dia sudah mengeluarkan banyak uang untukku, kurasa tidak ada ruginya membalas sentuhannya dan diam saja ketika dia berbuat sedikit ‘nakal’ padaku.
Asalkan aku tidak memulainya duluan...
Tapi rasanya aku ingin memulainya duluan.
Aku pun menarik nafas panjang dan duduk di pinggir ranjang.
Kuusap kepalaku dan kulemaskan rahangku yang dari tadi menegang.
Di mataku ini masih terbayang jasad kedua orang tuaku. Apalagi kalau aku sendirian seperti ini tanpa pengalih perhatian.
Dan kulirik tasku.
Kuambil sebungkus rokok.
Dan aku keluar kamar untuk menuju beranda.
Sambil memastikan di sekitarku tidak ada dirinya.
Ketahuan pun tak masalah sebenarnya, tapi aku ingin menunjukkan kesan anak baik-baik dan penurut kalau di dekatnya.
Karena hidupku kini bergantung padanya.
Sama seperti yang selama ini kutunjukkan kepada kedua orang tuaku, kalau aku adalah anak baik-baik, berprestasi, dengan sikap kalem yang tidak neko-neko.
Karena dulu hidupku masih bergantung ke kedua orang tuaku.
Anggap saja aku ini dalam mode bertahan hidup. Silakan kalau kalian menganggapku bermuka dua, atau munafik.
Bahkan Bahar saja tidak tahu sisi gelapku.
Tapi mungkin sebenarnya orang tua dan saudara-saudara ayah ibuku tahu bagaimana aku. Karena sejak kecil aku ini biang onar. Merasa paling berkuasa, karena anak tunggal dari keluarga kaya. Aku memukuli sepupu-sepupuku sambil babak belur, bahkan ada yang kujorokin dari tangga. Karena mereka mengejekku dengan hal yang remeh seperti aku dibilang sok hebat.
Ya aku memang hebat kok.
Kubungkam mereka dengan kekerasan.
Sampai sekarang mereka tak berani padaku.
Padahal aku sudah bersikap sekalem ini loh.
Pantas saja Pakde dan Bude bersikap begitu padaku. Pada ayah dan ibuku. Kami dianggap sombong.
Aku sudah berusaha meredam adrenalinku dengan naik gunung, menggeluti sesuatu yang sifatnya olah tubuh, atau sekedar menyibukkan diri dengan ekstrakulikuler sekolah. Karena kalau aku terkumpul di satu kelompok, pasti aku akan menindas mereka habis-habisan.
Entah dari mana sifatku ini berasal, yang jelas berteman dengan Bahar adalah salah satu upayaku untuk meredam emosiku.
Anaknya positif Vibe banget soalnya.
Hal ini juga yang membuatku menerima pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di rumah Tante. Karena kau ingin kesibukan yang bisa mengalihkan perhatianku dari sesuatu yang negatif, yang sudah lama kuidap. Emosi labil dan kekerasan. Atau bahasa psikologinya, Anger Issue. Dan saat ini aku dalam posisi Anger Management. Mengelola emosi.
Kematian kedua orang tuaku untungnya lebih membuatku sedih daripada marah. Juga penasaran, kenapa mereka berbuat begitu.
Rasanya seluruh sendi-sendi ototku langsung lumpuh melihat mereka dalam posisi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya bisa terjadi.
Dan nyatanya, semakin aku sembuh dari rasa shock, semakin berbahyaa keadaanku.
Aku sudah mulai merasakannya.
Kemarahan mulai sedikit-sedikit mengambil alih pikiranku.
Aku tak ingin lari ke minuman keras lagi, fatal akibatnya. Aku dipenjara seminggu karena berbuat onar. Untung saja itu orang yang jadi korbanku nggak mati. Ayahku merogoh kocek yang cukup dalam untuk mengeluarkanku dari penjara. Aku tak mau lagi.
Kuhembuskan asap putih itu mengarah ke bawah, sambil berpikir aktivitas apa yang harus kulakukan besok? Katanya Tante mau membawaku ke kantornya, untuk mendampinginya karena dia banyak rapat besok. Jadi banyak yang harus dibawa.
Sambil merokok aku mulai mencari informasi mengenai apa saja kebutuhan wanita sebenarnya. Tante Vivianna kalau dilihat dari penampilan, ia ingin selalu terlihat cantik. Apakah aku harus membawa semua isi meja riasnya? Atau beberapa pasang sepatu?
Atau-
“Nakal ya kamu.”
“Hya!!” spontan aku berteriak.
Ya jelas aku teriak, ada wanita dengan gaun tidur putih menerawang tiba-tiba sudah ada di belakangku! Tapi wajahnya secantik sinar mentari.
Kenapa di jam selarut ini Tante Vivianna masih dengan bibir merahnya? Bukannya lazimnya semua make up dihapus sebelum tidur ya seperti ibuku?
“Hihi, kok kaget...” dia cekikikan menertawakanku.
Aku memicingkan mata.
Ini beneran Tante atau kunti? Kok sikapnya manis terhadapku?
Untuk membuktikan dia bisa terbang atau menghilang, atau memang benar manusia, aku harus melakukan sesuatu.
Dan dia tidak marah aku pegang rokok.
“Hm...” aku menggeram karena sedang berpikir. Lalu kuulurkan tanganku dan kucengkeram lehernya.
Kuancam dia.
“Passwordnya apa kalau kamu beneran Vivi?” geramku.
Dia tampak ternganga dan melotot mendengarku. “Apa-apa’an sih kamu, Dennis?! Password apa?!” Ia meronta sambil berusaha melepaskan tanganku.
Ya memang tak ada password, tapi jawaban itu tidak membuatku puas.
“Ngaku aja kamu kunti kan? Malem-malem gini coba buat nyamar?!” seruku sambil mendorongnya ke dinding.
“Haah?! Udah gila kamu!!” seru Tante Vivianna.
“Tapi... kamu cantik juga. Kuperkosa aja gimana?”
“Den-“
Sebelum dia bicara lebih jauh, kugendong di bahuku dan kubawa dia ke kamarku.
Kalau dia hilang ya beneran setan. Kalau dia bisa diapa-apain ya beneran manusia. Yang mana pun aku tetap untung.
Aku bisa mendengar teriakannya yang histeris. Tapi duniaku serasa di alam mimpi. Semua terasa kabur dan buram.
Kujepit dia di ranjang. Kubuka kaosku dan kutahan kedua tangannya di atas kepalanya.
“Kamu setan tercantik yang pernah kulihat...” Aku terkekeh sambil membelai pahanya dan menjilat rahangnya. “Dan manis.” Desisku saat kurasakan ada rasa manis di lidahku.
“Apa kamu succubus?” tanyaku.
Dia kembali berteriak-teriak padaku, kakinya menendang-nendang.
“Kalau kamu beneran Vivi, kamu pasti tahu passwordnya.” Sahutku sambil mengecup puncak dadanya.
“Rahayu yang membunuh Doni! Password itu kan yang kamu mau?!” jeritnya.
Aku diam.
Kalimatnya terasa aneh di benakku.
Tapi entah bagaimana tubuhku rasanya mati rasa dan mulai berkunang-kunang, “Apa?” tanyaku meminta konfirmasinya lebih jelas.
“Ibumu yang membunuh ayahmu! Terus dia bunuh diri! Kamu juga mau dibawanya tapi tak sempat, karena Doni menyelamatkanmu lewat temanmu Bahar!”
Aku masih diam terpaku.
Apa lagi ini?
Aku sadar peganganku mengendur.
Makanya sosok cantik di bawahku ini bisa langsung membebaskan dirinya.
Dan-
PLAKK!!
Menampar pipiku.
Rasa tamparannya terasa sama dengan tempo hari.
Oke, jadi ini beneran Tante Vivianna, bukan jurig.
memancing di danau keruh
dan boom dapat ikan 🤣😂