Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.
Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.
Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.
Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aji di Samosir
Aji kaget. Karena tahu-tahu ia sudah berada di Pulau Samosir. Tempat inilah yang seharusnya ia tuju bersama-sama dengan Bonar, dkk.
Ia kini berada di rumah bolon milik salah seorang tetua, yang bernama Regar. Sebut saja seperti itu. Karena orang-orang di kampung ini, meski tahu nama aslinya, lebih sering menyebutnya sebagai Regar. Dari orang-orang kepercayaan Regar inilah, Aji tahu nama tempat yang ia datangi adalah Samosir.
"Kau memang sudah ditunggu, Aji," kata Jenari, salah seorang warga, dan termasuk dari sekian orang kepercayaannya Regar. "Tahu-tahu kau sudah muncul. Bagaikan sihir saja."
Pandapotan menimpali, "Bahkan, kurasa, bah, dia lebih sakti dari dukun-dukun yang ada si Samosir ini."
"Hematutu..." yang lainnya menimpali. Yang ini, si kecil ini, lebih sering dipanggil Ucok.
Ucok tergelak kecil sambil menutup mulutnya, matanya membulat penuh takzim memandangi Aji. Bocah itu jelas belum genap belasan tahun. Akan tetapi cerita-cerita tentang orang “yang muncul dan hilang seperti kabut pagi” sudah lebih dulu sampai ke telinganya.
Aji sendiri masih berusaha menyesuaikan napas. Lantai rumah bolon yang terbuat dari papan kayu terasa dingin di telapak kakinya. Bau kayu tua, asap perapian, dan sedikit aroma kemenyan menyatu di udara. Ia menoleh ke sekelilingnya. Dilihatnya, tiang-tiang besar menopang atap tinggi yang menjulang seperti perahu terbalik. Ukiran-ukiran gorga berwarna merah, hitam, dan putih menatapnya seperti mata-mata sunyi masa lalu.
“Aku,” Aji mengusap wajahnya. “Aku tidak bermaksud datang sendiri. Harusnya aku bersama Bonar, Batubara, dan yang lainnya.”
Regar, tetua yang duduk bersila di depan perapian, membuka mata pelan-pelan. Rambutnya sudah memutih, tapi punggungnya masih tegak. Tatapannya tajam, menembus, seolah langsung menyentuh sesuatu di balik dada Aji.
“Kau memang selalu datang sendirian saat yang lain belum siap,” ujar Regar tenang. Suaranya serak, tetapi setiap kata jatuh dengan bobot berat. “Begitulah orang-orang yang dipilih oleh waktu.”
Aji mengernyit. “Dipilih oleh waktu?”
Jenari melangkah lebih dekat. “Tetua Regar sudah lama berbicara tentangmu, Aji. Tentang seorang anak dari Yawadwipa yang di tubuhnya bersarang pintu-pintu.”
“Pintu?” Aji menelan ludah.
“Ke zaman lain. Ke tempat lain. Bahkan ke dunia yang bukan lagi dunia manusia,” sambung Pandapotan, kali ini suaranya tak lagi bercanda.
Aji terdiam. Kata-kata itu terlalu dekat dengan pengalaman yang selama ini ia pendam sendiri. Lubang hitam. Tarikan mendadak. Kehilangan arah. Dan kini, hilangnya Sari.
“Sari adikku hilang,” ucap Aji lirih namun tegas. “Dan setiap kali hal buruk terjadi, rasanya selalu bermula dari aku."
Ucok yang semula ceria ikut menunduk. Regar menghela napas panjang, lalu meraih tongkat kayu kecil yang bersandar di sampingnya. Tongkat itu tidak tinggi, tetapi penuh ukiran halus seperti jalur sungai berkelok.
“Anak muda,” kata Regar, “di tanah Batak, kami percaya bahwa dunia ini berlapis-lapis. Ada Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru. Tidak semua orang bisa melintas di antara lapisan itu. Tapi mereka yang bisa… sering membawa masalah besar untuk orang-orang sekitar mereka.”
“Begu ganjang?” Aji spontan bertanya.
Regar mengangguk pelan. “Itu salah satu nama yang paling dikenal. Tapi makhluk yang menculik manusia tak selalu berwujud sama. Ada yang lahir dari dendam, ada yang tumbuh dari ambisi manusia sendiri.”
Aji teringat Khrisna. Harris. Orang-orang dari abad 21 yang seolah selalu menemukan jalannya ke hidupnya. Seolah energi gelap itu mencium sesuatu dalam dirinya.
“Apakah Sari masih hidup, Tuanku?” tanya Aji, suaranya bergetar.
Regar menutup mata lagi. Tangannya bergerak pelan di atas tongkat. Sejenak rumah bolon itu sunyi, hanya suara api yang berderak.
“Dia masih berjalan di antara dunia,” jawab Regar akhirnya. “Belum sepenuhnya ditelan.”
Aji langsung bangkit berdiri. “Kalau begitu, aku harus mencarinya.”
“Tidak semudah itu,” sela Jenari. “Begu ganjang tidak bergerak seperti manusia. Ia berpindah lewat ketakutan, celah batin, dan orang-orang yang rapuh.”
“Dan kau,” tambah Regar sambil membuka mata, “adalah celah terbesar itu."
Kata-kata itu menghantam Aji lebih keras dari tamparan. Selama ini ia sudah cukup membenci dirinya sendiri. Kini, ditegaskan oleh tetua yang bahkan baru ia kenal.
“Tapi justru karena itu pula,” lanjut Regar tanpa emosi, “kau satu-satunya yang bisa menjemput Sari kembali.”
Pandapotan berdiri. “Bah, jadi apa yang harus kita lakukan?”
Regar menoleh padanya. “Hanya menunggu.”
Aji tersentak. “Hanya menunggu? Sementara adikku—”
“Waktu tidak selalu bergerak lurus bagi makhluk sepertimu, Aji,” potong Regar. “Kadang menunggu adalah bentuk pengejaran yang terbaik.”
Ucok mendekat pada Aji, menarik ujung kainnya. “Abang jangan takut. Di Samosir, roh leluhur masih kuat.”
Kata-kata polos itu sedikit menghangatkan dada Aji. Ia mengusap kepala bocah itu. “Terima kasih.”
Malam semakin pekat. Di luar rumah bolon, angin Danau Toba berembus panjang, membawa suara air yang bergesekan dengan batu-batu di tepi pulau. Regar menyuruh Aji beristirahat di sisi dalam rumah, dekat tiang utama.
“Sampai fajar,” kata Regar. “Kalau roh-roh masih mengizinkanmu bertahan di satu tempat sampai matahari terbit, berarti Sari belum terlalu jauh.”
Aji berbaring, namun matanya tidak bisa terpejam. Bayangan Sari kecil, tertawa di belakangnya, lalu menghilang di balik kabut, terus berputar di kepalanya. Tanpa disadari, udara di sekelilingnya berubah berat. Lampu minyak di sudut ruangan bergetar. Api meredup.
“Mas Aji…" Suara itu pelan, nyaris seperti bayangan bisikan.
“Sari?” Aji bangkit setengah duduk.
Udara di depan matanya berkerut, seolah ada tirai air yang ditarik. Di sana, sesosok kecil berdiri. Rambut terurai. Mata yang sama, penuh ketakutan.
“Mas,” suara itu lirih. “Jangan tinggalkan aku sendirian.”
Jantung Aji berdegup kencang. Ia hendak melangkah, tetapi kakinya terasa berat seperti tertanam di lantai.
“Aku berusaha pulang,” lanjut sosok itu. “Tapi ada yang memegang jalanku.”
Tiba-tiba suara Regar menggema, seolah datang dari langit-langit rumah. “Jangan sentuh bayangan itu!”
Sosok Sari memudar seperti asap tertiup angin. Lampu minyak kembali stabil.
Aji terengah-engah.
Regar sudah berdiri di hadapannya. “Itu bukan sepenuhnya Sari. Itu hanya serpihan dari jiwanya. Kadang makhluk tak kasatmata yang jahat, sering memanfaatkannya.”
“Apa itu berarti aku hampir berhasil?” tanya Aji.
Regar mengangguk pelan. “Itu berarti waktu sudah mulai mendekat. Saat kau harus memilih.”
“Memilih apa?”
“Terus menjadi pengembara waktu,” ujar Regar, “atau memutus satu jalur—dengan risiko dunia lain akan menagih konsekuensinya.”
Aji mengepalkan tangan. Di pikirannya terbayang Majapahit, Sumpah Palapa, kerajaan-kerajaan yang belum lahir, dan masa depan yang sudah ia lihat retak-retak bentuknya.
“Aku tidak peduli dunia mana yang menuntut aku,” katanya mantap. “Aku hanya ingin adikku kembali. Itu saja, Tuanku Regar."
Regar menatapnya lama. Lalu, ia tersenyum tipis.
“Jawaban itu,” kata Regar, “yang membuat dunia takut padamu, Aji.”
Di luar, fajar mulai menyingsing tipis di atas Danau Toba. Jauh di balik lapisan dunia, seperti ada yang mulai menyadari bahwa waktunya bersembunyinya hampir habis. Entah yang tak kelihatan, entah pula yang masih memiliki raga.