NovelToon NovelToon
Bukan Salah Takdir

Bukan Salah Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Psikopat / Anak Lelaki/Pria Miskin / Mengubah Takdir
Popularitas:420
Nilai: 5
Nama Author: MagerNulisCerita

Dua keluarga yang terlibat permusuhan karena kesalahpahaman mengungkap misteri dan rahasia besar didalamnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagerNulisCerita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tragedi Jogging

Pagi hari sebelum keluarga besar Wijaya pulang kembali ke Yogya, mereka menyempatkan diri berjalan santai di sekitar vila. Udara pagi yang sejuk, semilir angin pegunungan, dan suasana pedesaan yang ramah membuat pagi itu terasa damai. Sesekali mereka melambaikan tangan kepada warga lokal yang sedang beraktivitas.

“Dek, ikut Papa dan Mama jogging tidak?” tanya Pak Hendra sambil masuk ke ruang keluarga, melihat Tiara yang masih sibuk dengan tasnya.

Sementara itu, istrinya, Anin, baru saja selesai membereskan perlengkapan di dapur bersama Tiara dan Mbok Dharmi yang sejak tadi membantu menyiapkan sarapan ringan sebelum mereka pergi.

“Nanti aja, Yah. Tia nyusul. Tia mau packing dulu, takut nggak sempat nanti. Kak Micha udah duluan, kan?” jawab Tiara tanpa menoleh dari koper yang terbuka.

“Iya, tadi Kakek dan Pak Yusuf juga ikut.” balas Hendra.

“Yah, nggak asik betul. Tia ditinggal. Ya sudah deh, nanti Tia nyusul bareng Mbok Dharmi sambil keliling desa… hehe.” Tiara menggaruk lehernya yang sebenarnya tidak gatal—kebiasaan kalau ia sedang gugup atau berusaha menutupi kecewa.

“Ya sudah, Papa dan Mama duluan ya, Dek. Yuk, Mah. Hitung-hitung flashback awal kita jadian.” Ujar Hendra sambil tertawa kecil.

Anin ikut tertawa dan menimpali, “Yaudah ya, Dek. Mama Papa duluan. Nanti kalau keluar jangan lupa pintu sama gerbangnya dikunci. Bye! Mama mau pacaran dulu sama Papa.”

“Oke, Mah!” Tiara menjawab sambil melambaikan tangan.

Sesaat setelah kedua orang tuanya pergi, Tiara bersiap sambil memanggil Mbok Dharmi untuk menyusul keluarga yang lain.

Rumah Keluarga Hutomo

Pagi itu seperti biasa keluarga besar Hutomo berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Aroma teh hangat dan roti panggang memenuhi ruangan.

“Tumben sudah bangun duluan, Dek.” suara Marvin terdengar dari arah tangga. Ia turun sambil merapikan kausnya, lalu duduk di kursi dekat Naura yang sedang menata menu sarapan bersama para pelayan.

“Iya dong, Kak. Mumpung liburan. Hitung-hitung belajar masak sama Bi Narsih.” jawab Naura ceria.

“Oh, baguslah kalau begitu.” Marvin tersenyum tipis. Ia bangga adiknya mau belajar hal baru.

“Ayah sama Kakek kok belum turun, Kak?” tanya Naura sambil menuang susu ke gelas.

“Mungkin lagi lihat Bunda, Dek. Tadi pagi Kakak dengar Bunda sempat histeris. Kalau Kakek, tadi jogging sama Pak Mamat keliling perumahan.” jelas Marvin.

Naura mengangguk pelan, seolah memahami apa yang Marvin maksud.

“Ya sudah, kita tunggu Ayah sebentar lagi.” ujar Marvin sambil menyeruput kopi.

Naura melirik kanan-kiri sejenak sebelum berbisik, “Kak, gimana perkembangan investigasi orang-orang yang Kakak suruh? Sudah ada hasilnya?”

Marvin belum sempat menjawab ketika tiba-tiba suara Angga, ayah mereka, terdengar dari arah tangga.

“Loh, kok belum mulai sarapan? Lagi bahas penting, ya?” tanya Angga sambil berjalan mendekat.

Keduanya terkejut. Untung saja sang ayah tidak mendengar pembicaraan mereka.

“E-eeeh, Papa. Nggak kok. Ini Naura lagi tanya Kak Marvin… tanya Kak Marvin apa sudah punya calon. Ya kan, Kak?” bohong Naura cepat-cepat sambil mencubit pinggang Marvin di bawah meja.

Marvin spontan melotot dan menahan rasa sakit.

“I… iya, Pah.” jawabnya terbata.

Angga tertawa kecil. “Oalah, sudah ada calon belum Vin? Kalau sudah ada bawa sini ke keluarga. Atau mau Ayah jodohkan sama anak Pak Mulya? Dulu pas kalian kecil, si Gladys itu suka banget sama kamu, Vin.”

“Huk! Huk!” Marvin tersedak mendengar usulan tersebut.

“Minum, Kak. Ini.” Naura menyodorkan gelas.

“Ihh Kak! Kak Gladys itu? Yang centil? Boleh tuh Kak.” Naura malah menambahi dengan sengaja menggoda.

“Enak aja! Cewek centil kayak dia tuh bikin merinding.” Marvin memprotes.

Untuk mengalihkan topik, Marvin bertanya, “Dek, nanti mau ikut Kakak nonton nggak? Mumpung lagi banyak film bagus di bioskop.”

Naura langsung menghela napas. “Tapi Bunda nggak ada yang jaga, Kak.”

“Aman kok, Sayang. Ada Papa. Nanti Ayah yang jaga Bunda.” potong pak Angga sambil tersenyum meyakinkan.

Itu semua memang rencana antara Angga dan Marvin, agar Naura bisa menikmati liburannya. Sang Ayah kasihan melihat putrinya yang jarang berbaur dan tumbuh di lingkungan yang keras.

“Serius, Yah? Nggak apa-apa?” tanya Naura memastikan.

“Iya, Sayang. Pergi aja.”

Naura langsung bersorak kecil. “Oke! Oke, Kak! Naura ikut!”

Marvin hanya terkekeh sambil mengangguk. Melihat kedua anaknya bahagia, Angga ikut tersenyum hangat.

Suasana pagi itu terasa lebih hidup dari biasanya.

Di Jalan Dekat Villa Bogor

Seorang pemuda melintas mengendarai motor sambil bersenandung lagu lawas. Jalannya pelan, menikmati udara pagi.

Di arah berlawanan, Tiara dan Mbok Dharmi berjalan santai sambil menyusuri pinggir jalan. Namun tiba-tiba sebuah mobil dari belakang membunyikan klakson sangat keras. Tiara terkejut, kehilangan keseimbangan, lalu terpeleset. Kakinya membentur bahu jalan, dan kepalanya terbentur pembatas sampai mengeluarkan darah tipis di bagian jidat.

Tubuhnya limbung sebelum akhirnya jatuh tak sadarkan diri. Mobil iseng itu langsung melarikan diri.

“Non! Non! Bangun, Non!” teriak Mbok Dharmi panik.

“Ya Allah, Gusti… Non jangan buat Simbok takut…” suaranya bergetar.

“Tolong! Tolooong! Ada yang bisa bantu?!” Mbok Dharmi menangis histeris sambil memeluk tubuh Tiara.

Warga sekitar berdatangan mendengar teriakan itu.

“Lho, kenapa Bu? Anaknya kenapa?”

“Tolong, Pak… Bu… Anak majikan saya terpeleset… jatuh…” Mbok Dharmi menjelaskan dengan suara bergetar.

“Ayo Bu, kita bawa ke dokter Fahri aja!” ujar salah satu warga.

Saat mereka bersiap mengangkat tubuh Tiara, seorang pemuda datang berlari kecil. Napasnya sedikit terengah.

“Kenapa ini, Pak, Bu?”

“Ini, Mas Dokter—anaknya majikan Bu ini pingsan, kecelakaan barusan.”

Pemuda itu—yang ternyata seorang dokter—langsung bergerak cepat.

“Permisi… saya periksa dulu.”

Ia memeriksa nadi, pernapasan, dan kondisi luka Tiara.

“Lukanya tidak serius, tapi harus segera dirawat supaya tidak infeksi. Tolong bantu bawa ke klinik saya.”

“Siap, Mas dokter.” Warga langsung mengangkut Tiara dengan hati-hati.

Di Klinik Dokter Fahri

Sesampainya di klinik, luka Tiara segera dibersihkan dan diperban. Ia masih belum sadar, tapi kondisinya stabil. Sementara itu, Mbok Dharmi dengan tangan gemetar menelepon majikannya.

“Halo, Tuan… Simbok mau ngabarin… Non Tiara kecelakaan waktu jogging, dan sekarang dirawat di klinik Dokter Fahri… dekat vila kita, Tuan.”

Hendra yang menerima telepon langsung tegang.

“Apa?! Baik, Mbok. Kami segera ke sana.”

Anin yang melihat raut wajah suaminya langsung bertanya, “Kenapa, Pah?”

“Tiara kecelakaan. Kita harus ke klinik sekarang.”

“Ya Allah… kok bisa? Ayo, Pah, cepat!”

Mereka langsung berbalik arah, meninggalkan jogging mereka.

Tiara perlahan membuka mata. Pandangannya buram, tubuhnya terasa sakit di beberapa bagian.

“Non… Ya Allah, Non sudah bangun. Simbok lega banget.” Mbok Dharmi memeluknya pelan.

“Kita di mana, Mbok?” Tiara berbisik.

“Di klinik, Non. Jangan banyak gerak dulu ya. Simbok panggil dokternya dulu.”

Tak lama kemudian, Dokter Fahri masuk.

“Loh, Mbak Tia sudah bangun? Syukurlah. Izin saya periksa dulu ya.”

“I-iya, Dok…” Tiara mengangguk, meski pikirannya sedang memutar hal lain: Wajah dokter ini… seperti tidak asing.

“Keadaannya sudah membaik. Kalau tidak pusing lagi, nanti sudah bisa pulang.”

Namun Tiara tidak mendengar jelas. Ia masih sibuk mencoba mengingat wajah seseorang yang samar-samar mirip dengan sang dokter.

“Halo, Mbak?” Dokter Fahri melambaikan tangan kecil.

“Eh—maaf, Dok… iya, saya dengar. Terima kasih. Saya tunggu keluarga saya dulu.”

“Baik. Ini obatnya ya, jangan lupa diminum. Saya keluar sebentar. Kalau butuh apa-apa, panggil perawat di depan.”

“Iya, Dok. Terima kasih.”

Beberapa saat kemudian, keluarga Tiara tiba. Anin langsung memeluk putrinya.

“Duh Sayang… kok bisa begini? Mana yang sakit, Nak?”

“Nggak apa-apa, Ma. Kata Dokter Fahri, Tia sudah boleh pulang.”

Sementara Hendra bertanya pada Mbok Dharmi,

“Apa yang terjadi, Mbok?”

Mbok Dharmi menjelaskan semuanya dengan rinci. Hendra mengangguk, meskipun wajahnya tampak menahan marah sekaligus cemas.

Karena Tiara sudah diizinkan pulang, mereka kembali ke vila. Namun sepanjang perjalanan, Tiara masih memikirkan satu hal:

Kemiripan wajah Dokter Fahri dengan seseorang yang pernah ia temui… namun lupa siapa.

1
bebekkecap
😍
bebekkecap
next kak, gasabar pas semuanya kebongkar🤣
AuthorMager: Sabar kak, masih lama...hhehhe
total 1 replies
AuthorMager
Bismillah, semoga banyak pembaca yang berminat. Aamiin
AuthorMager
Selamat menikmati alur cerita yang penuh plotwist
bebekkecap
seru banget kak, lanjut kak
AuthorMager: siap kak, bantu like and share ya kak🤭
total 1 replies
bebekkecap
makin seru aja ini kak ceritanya, sayang kok bisa cerita sebagus ini penikmatnya kurang👍💪
AuthorMager: Aduh makasih kak, bantu share ya kak🙏
total 1 replies
bebekkecap
Bahasa rapi dan terstruktur secara jelas
AuthorMager: duh, jadi terharu. makasih kak
total 1 replies
bebekkecap
Bahasa rapi dan terstruktur secara jelas
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!