NovelToon NovelToon
Pendekar Naga Bintang

Pendekar Naga Bintang

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Misteri / Action / Fantasi / Budidaya dan Peningkatan / Anak Genius
Popularitas:44.9k
Nilai: 5
Nama Author: Boqin Changing

Di barat laut Kekaisaran Zhou berdiri Sekte Bukit Bintang, sekte besar aliran putih yang dikenal karena langit malamnya yang berhiaskan ribuan bintang. Di antara ribuan muridnya, ada seorang anak yatim bernama Gao Rui, murid mendiang Tetua Ciang Mu. Meski lemah dan sering dihina, hatinya jernih dan penuh kebaikan.

Namun kebaikan itu justru menjadi awal penderitaannya. Dikhianati oleh teman sendiri dan dijebak oleh kakak seperguruannya, Gao Rui hampir kehilangan nyawa setelah dilempar ke sungai. Di ambang kematian, ia diselamatkan oleh seorang pendekar misterius yang mengubah arah hidupnya.

Sejak hari itu, perjalanan Gao Rui menuju jalan sejati seorang pendekar pun dimulai. Jalan yang akan menuntunnya menembus batas antara langit dan bintang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Fondasi Awal Seorang Pendekar

Hutan itu begitu sunyi. Hanya suara angin yang melintas di antara dedaunan yang bergetar, sesekali diselingi suara burung yang entah sedang memanggil pasangan atau memperingatkan sesuatu. Aroma tanah lembap menyeruak ke udara, bercampur dengan bau getah pohon dan lumut basah. Di tengah keheningan itu, seorang bocah duduk terengah-engah di atas tanah yang berbatu.

Gao Rui menatap lekat batang kayu raksasa di hadapannya. Urat-urat di lengannya menonjol, napasnya naik turun berat, dan keringat membasahi tubuhnya meski udara hutan tidak terlalu panas. Sudah puluhan kali ia mencoba mengangkat batang kayu itu. Hasilnya tetap sama, tidak bergerak sedikit pun.

Ia menyeka keringat dari dahinya sambil mengumpat pelan.

“Astaga… bahkan menariknya saja sudah begitu berat.” keluhnya sambil terengah.

Dari sudut pandang siapa pun, usahanya memang konyol. Seorang anak seusianya, mencoba mengangkat kayu seberat itu? Mustahil. Tapi ini bukan masalah kayu, ini masalah harga diri.

Ia mengepalkan tangannya. Ia tidak boleh menyerah.

"Guru sudah menungguku… kalau aku pulang dengan tangan kosong, untuk apa aku menjadi muridnya?" gumamnya lirih.

Sejak menjadi murid Boqin Changing, banyak hal dalam hidupnya berubah atau lebih tepatnya dipaksa berubah. Boqin Changing telah membuka matanya terhadap dunia yang jauh lebih besar, jauh lebih kejam, dan jauh lebih berbahaya dari apa yang ia bayangkan. Dunia di mana orang kuat berjalan di atas dan orang lemah diinjak tanpa belas kasihan.

Hari ini, ujian pertama itu menunggunya dalam wujud sepotong kayu. Ia berdiri lagi dan mencoba mendorong batang kayu itu. Otot-ototnya menegang, wajahnya memerah, namun tetap saja tidak bergerak.

“Kenapa susah sekali.” Ia menghela napas panjang, menatap langit di antara sela dedaunan. “Seandainya aku lebih kuat.”

Namun Gao Rui bukan tipe yang mudah menyerah. Ia mungkin bukan yang terbaik dalam ilmu bela diri, tapi pikirannya tajam. Ia tahu satu hal, jika kekuatan tidak cukup, akal harus bekerja.

Matanya menelusuri sekitar. Pepohonan tinggi, akar menjulur, bebatuan besar, dan semak liar. Hingga pandangannya berhenti pada sebuah batu runcing di dekat sungai yang mengalir tidak jauh dari tempat itu. Bentuknya tidak terlalu rata, tapi kokoh, seperti batu yang sudah lama tertanam di sana.

Matanya perlahan menyipit. Ide muncul.

“Kalau tidak bisa diangkat…” ia berbisik, “…berarti harus aku patahkan menjadi bagian yang lebih kecil..”

Tidak membuang waktu, ia bergerak. Ia mencari batu-batu yang tajam, memilih beberapa yang paling runcing. Tangannya bekerja cepat. Ia mencari akar pohon yang kuat, lalu menyerut batang kecil untuk dijadikan pegangan. Dengan kesabaran dan sedikit kecerdikan, ia berhasil membuat kapak primitif, batu tajam yang diikat kuat dengan akar ke sebuah batang pendek.

Ia mengujinya sekali. Tap! Batu itu menancap sedikit di batang pohon. Tidak sempurna, tapi cukup tajam.

“Lumayan.” gumamnya. “Kalau dipukul seribu kali, pasti bisa membelah sesuatu.”

Ia berdiri di depan batang kayu besar itu, menggenggam kapak daruratnya erat-erat.

“Baiklah,” katanya, menarik napas panjang, “kau tidak mau ikut aku… maka aku akan memotongmu menjadi bagian-bagian kecil!”

Ia mulai mengayunkan kapaknya.

Tak! Tak! Tak!

Suara benturan batu pada kayu menggema di hutan. Percikan serpihan kayu beterbangan. Setiap kali ia memukul, serpihan kayu kecil itu melukai lengannya. Pukulan demi pukulan membuat telapak tangannya memerah dan akhirnya lecet. Tapi Gao Rui tidak berhenti.

“Urgh… sial…” ia meringis. Jemarinya mulai perih. Kapak itu semakin berat terasa di tangannya. Tapi menyerah bukan pilihan.

Ia menggertakkan gigi dan terus memukul.

Tak! Tak! Tak! Tak!

Waktu berlalu. Entah sudah berapa lama ia memukul batang itu. Keringat terus menetes, menembus bajunya sampai basah. Tapi akhirnya retakan pertama muncul.

“Ha… ha...ha… berhasil!”

Gao Rui tersenyum lemah melihat hasil kerjanya. Masih sangat kecil, retakan itu bahkan nyaris tidak terlihat dari jauh. Tapi bagi Gao Rui, itu sudah kemajuan.

Namun itu baru permulaan.

“Kurasa… aku butuh lebih dari sekadar membelah.” gumamnya pelan. “Aku butuh… mematahkan ini.”

Ia berhenti memukul. Ia butuh strategi baru.

Mata Gao Rui kembali berkeliling. Lalu pandangannya berhenti pada batu besar di dekat sungai, batu yang tadi sempat ia lihat. Ia bergegas menyeretnya. Tubuhnya hampir terbalik karena beratnya, tapi ia memaksa. Lagipula berat batu itu jauh lebih ringan dan lebih kecil dibandingkan batang pohon yang hendak dibawanya.

Dengan napas memburu dan punggung membungkuk, ia berhasil membawa batu itu mendekati batang pohon.

Dengan susah payah, ia membuat seperti titik tumpu menggunakan batu itu di sebelah batang pohon. Kemudian ia mencari satu batang ranting kayu kokoh, lebih panjang, lebih kuat untuk dijadikan pengungkit.

Ia menanamkan batang panjang itu ke celah retakan. Lalu ia mengambil posisi, menekan pengungkit itu dengan seluruh berat tubuhnya.

“Urghh… ayo… ayo sedikit lagi…”

Diam. Batang itu tidak bergerak.

Gao Rui memindahkan posisinya, meningkatkan tekanannya.

“Ayolah… Ayolah!”

Batang tetap bergeming. Ia mundur cukup jauh, kemudian ia berlari… dan melompat ke atas pengungkit itu!

Brakkkkk!!!!!!

Tidak ada yang terjadi. Batang pohon itu masih belum patah. Ia menggigit bibirnya. Tubuhnya mulai lelah. Tapi ia bukan orang yang bisa dikalahkan begitu saja. Ia berdiri lagi kali ini mundur lebih jauh.

“Aku tidak akan kalah dari kayu.” bisiknya tajam.

Ia berlari. Lompat lagi.

“Patah.”

Krakkkkkk!!!!!

Suara itu melesat di udara keras, tegas, pecah. Burung-burung terbang panik dari pohon-pohon. Batang kayu itu akhirnya benar-benar patah.

Gao Rui jatuh terduduk. Ia menatap potongan kayu itu seperti menatap harta karun. Helaan napasnya panjang, tapi di ujungnya ada tawa kecil.

“Hah… hahaha… berhasil…”

Ia menatap kedua tangannya yang terluka dan memerah, namun ia seakan tidak merasakan sakit. Yang ia rasakan hanyalah, kemenangan.

Dengan penuh ketekunan, ia kembali memotong batang itu menjadi beberapa bagian. Saat semua sudah cukup kecil untuk dibawa, ia mengikatnya dengan akar, lalu memanggulnya.

Langkah kecilnya terasa berat. Tapi hatinya ringan.

"Aku…  adalah murid Boqin Changing." katanya pada dirinya sendiri. "Hal kecil begini… tidak akan menghentikanku."

Di bawah cahaya matahari yang mulai condong ke barat, ia berjalan pulang. Tubuhnya gemetar. Nafasnya melemah. Tapi langkahnya tidak pernah berhenti.

...******...

Langkah kaki Gao Rui menapaki tanah hutan yang lembap dengan berat. Bahunya miring sedikit ke kanan, menunjukkan betapa kayu-kayu yang ia pikul itu bukanlah beban ringan. Meski begitu, matanya menyala oleh semangat. Rasa sakit di bahunya, lecet di telapak tangannya, atau kelelahan yang terus menggerogoti fisiknya seolah tak lagi ia pedulikan.

Perjalanan kembali ke tempat di mana gurunya beristirahat terasa lebih panjang dari perjalanan berangkat. Namun, ketika sampai, perasaan lega langsung menghampirinya.

Di depan mata Gao Rui, seorang pria tampak tertidur di sebuah kursi malas. Angin sore meniup rambut hitamnya yang panjang, sesekali membuat ujung jubah putihnya berayun ringan. Meski sedang tertidur, ada aura tajam dan kuat yang mengelilinginya membuat siapa pun tahu bahwa ia bukanlah manusia biasa.

Gao Rui berdiri terpaku beberapa langkah di depan, menatap sosok itu sambil terdiam. Ia menelan ludah. Sudah beberapa hari ia bersama gurunya, namun entah kenapa rasa segan itu tak pernah hilang, justru semakin besar.

“Gawat… aku harus lapor kalau sudah bawa kayu. Tapi…” Ia menoleh ke beban di pundaknya. “Apa aku harus bangunkan dia? Tapi kalau aku ganggu saat dia istirahat…”

Keringat yang tadinya hanya dari kerja fisik kini bercampur dengan keringat gugup. Ia ragu-ragu. Dua kali melangkah maju, dua kali pula ia mundur lagi.

“Atau taruh saja kayunya diam-diam lalu pergi lagi?” pikirnya.

Tapi baru saja ia hendak bergerak, suara yang dalam muncul begitu saja. Tenang, tapi bergema tajam seperti menembus langsung ke dalam dada. Gao Rui langsung tersentak.

“Mau sampai kapan kau berdiri di situ?” ujar Boqin Changing datar.

“G-Guru! Kau sudah bangun!” serunya panik.

Boqin Changing masih dalam posisi duduk malas sambil memejamkan mata. Seolah ia tidak benar-benar tertidur sejak awal. Perlahan, ia membuka satu matanya dan menatap muridnya itu dengan pandangan yang… entah mengejek atau sekadar malas memproses kebodohan muridnya.

“Jangankan binatang buas,” katanya datar, “bahkan serangga yang hinggap di tumbuhan pun bisa kudengar. Kau juga begitu ribut dari hutan sampai ke sini.”

Gao Rui berkeringat dingin. “M–maaf guru…”

Tatapan Boqin Changing berpindah ke kayu-kayu yang dipikul muridnya. Alisnya sedikit terangkat.

“Kenapa kau membawa tumpukan kayu bakar itu ke sini?” tanyanya.

Gao Rui menggeleng cepat. “Bukan kayu bakar! Ini-ini untuk fondasi rumah! Guru menyuruhku membuat rumah, jadi.....”

“Hmmmmm?”

Boqin Changing menggeser posisi duduknya, menatap kayu-kayu itu lebih seksama. Lalu entah bagaimana sebuah tawa kecil lolos dari bibirnya.

“Hahaha.”

Tawa itu tidak terlalu keras. Namun buat Gao Rui rasanya seperti petir menyambar langit yang cerah. Ia beku di tempat dengan heran dan sedikit takut.

“Kenapa… guru tertawa?” tanyanya ragu.

Boqin Changing menunjuk tumpukan kayu yang dibawa muridnya.

“Kau bilang… ini untuk fondasi rumah?”

“Y-ya. Kenapa?”

Boqin Changing menatapnya dengan kombinasi sabar dan geli.

“Fondasi rumah butuh kayu yang lurus, besar, kuat, tidak rapuh, permukaannya kokoh, dan paling penting ukurannya seragam.”

Ia menunjuk salah satu balok yang bengkok.

“Yang ini… mirip belut gemuk dari rawa barat. Lihat bentuknya.”

Ia menunjuk yang lain.

“Ini? Ini bahkan bukan lurus, tapi melengkung seperti kambing yang lagi sakit punggung.”

Ia menunjuk yang lain lagi.

“Dan yang ini… serpihannya masih tajam. Kalau kau pakai ini begitu saja, suatu hari akan patah dan kau akan terjepit lalu mati dalam keadaan sangat memalukan.”

Gao Rui terdiam. Benar juga… Ia berkeringat lagi, lebih deras dari sebelumnya.

“Jadi… semua kayu ini…”

“Ukurannya bahkan masih terlalu kecil. Sama sekali tidak cocok untuk jadi fondasi.” potong Boqin  Changing tenang sambil menyilangkan tangan. “Tapi setidaknya cocoknya untuk kayu bakar. Atau… bisa juga kau ukir jadi sendok kalau kau bosan hidup sebagai pendekar.”

Gao Rui langsung menundukkan kepala dalam-dalam.

“G–Guru! Aku… aku minta maaf! Aku tidak tahu! Aku kira asal kayunya.....”

“Itu masalahmu.” potong Boqin Changing. “Kau terlalu mengandalkan tenaga dan melupakan akal.”

Gao Rui terdiam. Ia merasa malu begitu keras hingga ingin mengubur kepalanya ke dalam tanah.

Boqin Changing menghela napas, lalu berdiri.

“Dengar baik-baik Bocah. Dalam membangun apa pun baik rumah… ataupun kekuatan. Fondasi awal adalah yang paling penting. Salah memilih fondasi… sisanya akan hancur di kemudian hari.”

Ia menatap Gao Rui dalam.

“Termasuk fondasi jiwamu sebagai pendekar.”

Kata-kata itu menusuk. Dalam, pelan tapi tajam.

Gao Rui mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.

“Aku… mengerti.”

Namun Boqin Changing belum selesai. Ia menepuk kayu itu dengan santai.

“Aku harap kau mengambil pelajaran dari ini. Jangan ulangi kesalahan yang sama. Jangan hanya kuat… tapi belajar cerdas.”

Ia berbalik.

“Ikut aku. Kita cari kayu yang benar.”

“Sekarang?” tanya Gao Rui kaget.

“Sekarang.” Boqin Changing menoleh dengan senyum tipis. “Atau kau pikir rumah bisa tercipta hanya dengan berdoa?”

1
opik
mantap
Dewi Kusuma
bagus
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Tooooooops 🍌🍒🍅🍊🍏🍈🍇
Anonymous
makin seruuuu 😍
John Travolta
jangan kendor updatenya thor
hamdan
thanks updatenya thor
Duroh
josssss 💪
Joko
go go go
Wanfaa Budi
😍😍😍😍
Mulan
josssss
y@y@
🌟💥👍🏼💥🌟
Zainal Arifin
mantaaaaaaaappppp
y@y@
👍🏾⭐👍🏻⭐👍🏾
y@y@
👍🏿👍🏼💥👍🏼👍🏿
Rinaldi Sigar
lanjut
opik
terimakasih author
Xiao Han ୧⍤⃝🍌
berjaga
Xiao Han ୧⍤⃝🍌
Dialog tag kan ini? Diakhiri pake koma ya thor (bukan problem besar sih, pembaca lain juga banyaknya pada gak sadar 🤭)
A 170 RI
mereka binafang suci tapi mereka lemah..yg kuat adalah gurumu
Joko
super thor 🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!