Cinta Setelah Luka

Aliya duduk di lantai ruang tamu apartemen mewah itu sambil melipat kain pel bersih. Senandung lirih keluar dari bibirnya, nada sederhana yang ia hafal sejak kecil, sering ia nyanyikan ketika membantu ibunya membersihkan rumah di desa dulu. Kini, meski tempat yang ia rawat jauh berbeda—lantai marmer mengilap, sofa kulit berwarna krem, lampu kristal yang menggantung megah di atas kepalanya—kebiasaan itu tetap melekat.

Sudah satu bulan Aliya tinggal di Jakarta. Satu bulan pula ia bekerja di apartemen Tania, wanita muda yang tanpa sengaja menyerempetnya di dekat stasiun Gambir hari itu. Waktu berjalan cepat, meski setiap hari penuh dengan pekerjaan, Aliya justru merasa lebih tenang dibandingkan saat masih di desa. Luka hatinya memang belum pulih, tetapi kesibukan membuatnya bisa melupakan rasa sakit itu sedikit demi sedikit.

Ia berhenti sejenak, mengusap peluh di keningnya. Pandangannya menyapu ruangan yang kini berkilau tanpa noda. Hasil kerjanya selalu membuat dirinya puas.

“Kalau Nenek melihatku sekarang, pasti beliau akan bangga,” gumamnya lirih, teringat pada sosok nenek yang dulu sering berkata bahwa Aliya memang terlahir rapi dan telaten.

Di atas meja makan, Aliya sudah menata vas berisi bunga segar, mengganti taplak, dan menyiapkan air putih dalam gelas kristal. Tepat saat itu, pintu apartemen terbuka. Suara hak tinggi terdengar menapak lantai marmer. Aliya segera berdiri tegak.

Tania masuk dengan anggun, gaun biru tua menempel pas di tubuh semampainya. Di belakangnya, seorang pria berpenampilan necis ikut masuk sambil membawa map hitam. Aliya langsung menunduk memberi salam.

“Nyonya,” sapanya lembut.

Tania hanya mengangguk kecil, lalu meletakkan tas bermerek di sofa. Darrel, pria yang ikut masuk, menarik kursi dan duduk tanpa banyak basa-basi. Aliya segera menghampiri Tania.

“Nyonya, apa Anda ingin makan malam di sini? Saya bisa menyiapkan hidangan,” tanyanya sopan.

Tania melirik sekilas, lalu mengibaskan tangan seolah tak penting. “Tidak usah. Aku ada janji makan malam dengan teman di luar. Kau tak perlu menungguku pulang. Setelah pekerjaanmu selesai, pergilah tidur.”

Nada bicara Tania datar, tanpa sedikit pun menoleh ke arah Aliya. Meski begitu, Aliya sudah terbiasa. Ia tidak tersinggung. Justru ia bersyukur karena Tania tidak pernah bersikap kasar padanya, meski sikap dingin itu sering membuatnya merasa tidak dianggap.

“Baik, Nyonya.” Aliya menunduk, lalu pamit mundur ke kamarnya yang kecil di sudut apartemen. Ia tahu, kehadirannya tak dibutuhkan dalam percakapan Tania dan tamunya.

Begitu pintu kamar Aliya tertutup, Darrel membuka percakapan. Ia adalah manajer sekaligus sepupu Tania, orang yang paling tahu segala rencana licik yang sedang disusun Tania.

“Bagaimana rencanamu?” tanya Darrel pelan, sambil menyalakan sebatang rokok elektronik. Asap tipis mengepul di udara dingin ruangan.

Tania bersandar santai di sofa, melepas hak tingginya, lalu meraih segelas air. “Hmm, aku masih memikirkannya.”

“Sampai kapan?” Darrel menaikkan satu alisnya. “Waktu tidak menunggu. Angkasa bisa saja mengambil langkah sendiri, apalagi tekanan dari keluarga semakin besar soal keturunan.”

Tania mendengus kecil, menegakkan tubuhnya. “Tenang saja. Aku tahu cara membuat Angkasa mendengarkan. Yang pasti, aku harus membuatnya menerima dulu rencanaku. Setelah itu, aku baru menekan gadis itu.”

Darrel menatap Tania tajam. “Aliya, maksudmu?”

“Ya,” jawab Tania cepat, seolah nama itu sudah menempel di kepalanya. “Dia polos, lugu, bahkan terlihat seperti anak ayam hilang ketika pertama kali kutemui. Dia mudah diarahkan. Tidak akan sulit menjadikannya pion dalam permainan ini.”

Darrel mengetukkan jarinya di meja. “Tapi, apa kamu tidak takut Kasa tergoda olehnya? Kau tahu sendiri, gadis itu memang cantik dengan caranya sendiri. Cantik khas desa yang segar dan alami. Itu bisa jadi jebakan untukmu sendiri.”

Tania langsung tertawa pendek, suara tawanya bercampur sinis. “Oh, Darrel… kau pikir aku tidak mengenal suamiku? Angkasa tidak akan tertarik pada gadis seperti itu. Selera Kasa berbeda. Dia hanya menginginkan wanita elegan, berkelas, seperti aku.”

Nada suaranya penuh percaya diri. Namun, di balik itu ada sedikit getaran halus yang bahkan dirinya sendiri tidak sadari.

Darrel mengangkat bahu, masih ragu. “Aku hanya mengingatkan. Kadang yang sederhana justru bisa memikat tanpa kita sadari.”

Tania melirik sepupunya tajam. “Jangan konyol. Aku tahu apa yang kulakukan. Lagipula, ini bukan soal cinta atau ketertarikan. Ini soal strategi. Setelah gadis itu melahirkan, aku akan mengirimnya jauh, mungkin ke luar negeri. Dia akan bekerja di keluarga jauh kita, menjadi pelayan seumur hidup. Tidak akan ada yang tahu dia pernah melahirkan anak Angkasa.”

Darrel bersandar, mencoba membaca wajah Tania. “Dan kamu? Kamu tidak akan sakit hati membayangkan Angkasa berbagi ranjang dengan wanita itu?”

Pertanyaan itu menusuk tepat di hati Tania. Ia terdiam sesaat. Ada bayangan tak menyenangkan di kepalanya, membayangkan tubuh Angkasa menyatu dengan tubuh wanita lain. Perasaan itu membuat dadanya sesak. Tapi ia buru-buru menepisnya dengan senyum dingin.

“Aku lebih sakit jika kehilangan nama besar Albirru,” jawabnya tegas. “Status sebagai istri Angkasa adalah tiket emas untuk karierku. Dunia model penuh persaingan, Darrel. Jika aku tidak punya nama keluarga itu, aku akan hancur dalam sekejap. Jadi, dibandingkan cemburu, aku lebih memilih mempertahankan posisiku. Gadis itu hanya alat. Tidak lebih.”

Darrel terdiam, namun sorot matanya penuh tanda tanya. Ia mengenal Tania sejak kecil. Ia tahu Tania ambisius, tapi ia juga tahu betapa keras kepala wanita itu jika sudah menyangkut harga diri.

Sementara itu, di kamar kecilnya, Aliya merebahkan tubuh di kasur tipis. Suara samar pembicaraan Tania dan Darrel terdengar sayup, meski ia tidak berusaha menguping. Ia menutup matanya, mencoba tidur. Tapi entah mengapa, hatinya berdebar aneh.

Ia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan majikannya di luar sana. Ia tidak tahu bahwa hidupnya sebentar lagi akan digiring menuju jalan yang sama sekali tak pernah ia bayangkan.

Bagi Aliya, bekerja di apartemen itu adalah anugerah. Ia bisa hidup layak, bahkan gaji yang Tania berikan—sepuluh juta sebulan—terlalu besar untuk pekerjaannya yang sederhana. Ia berniat menyisihkan sebagian untuk tabungan, berharap suatu saat bisa punya tempat tinggal sendiri dan pekerjaan yang lebih baik.

Namun, bagi Tania, keberadaan Aliya adalah jawaban atas masalah rumah tangganya. Sebuah rencana besar sedang disusun, dan Aliya tanpa sadar akan menjadi tokoh utama di dalamnya.

Malam semakin larut. Tania bersiap keluar bersama Darrel, sementara Aliya akhirnya terlelap. Dua dunia berbeda tinggal di satu atap: dunia seorang wanita ambisius yang bermain dengan api, dan dunia seorang gadis polos yang hanya ingin bertahan hidup.

Keduanya tidak tahu, garis takdir sudah mulai menautkan mereka pada Angkasa Sky Albirru.

Dan ketika takdir itu benar-benar mempertemukan mereka bertiga, tidak ada seorang pun yang bisa menebak siapa yang akan menang, siapa yang akan terluka, dan siapa yang akan kehilangan segalanya.