Hati Nadia pecah berkeping-keping mendengar Asri, sang ibu mertua menyuruh Arkan untuk menikah lagi didepan matanya.
"Kamu kan, juga butuh penerus untuk usahamu. Kalau Bilqis kan, beda. tetap saja bukan darah dagingmu, keponakanmu ya selamanya begitu."
Percakapan di meja makan tiga minggu lalu itu masih jelas terpatri di benak Nadia.
Meski sang suami selalu membela dengan berkata bahwa pernikahan itu bukan tentang ada dan tidaknya keturunan didalamnya, melainkan tentang komitmen dua orang untuk selalu bersama dalam suka dan duka.
Hingga suatu malam Nadia menemukan sesuatu di dalam telepon genggam Arkan. Sesuatu yang membuat dunia Nadia runtuh seketika.
Apa yang Nadia temukan? Lalu bagaimana Nadia menyikapinya?
Lalu bagaimana dengan Dio, yang muncul tiba-tiba dengan segudang rahasia gelap dari masa lalu nya? Mungkinkah mereka saling menabur racun diatas hama? Atau justru saling jatuh cinta?
Ikuti kisah mereka, dalam Kau Berikan Madu, Maka Ku Berikan Racun. 🔥🔥🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jee Ulya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pintu Nomor Tujuh
Dalam pintu nomor tujuh, duduk diatas sofa kulit yang hampir amblas, seorang perempuan muda, mungkin baru sedikit diatas tujuh belas.
Lampu neon ungu dan keemasan menggantung rendah pada plafon, berpendar bergantian antara hidup dan mati.
Riasan tebal di wajahnya seakan menjadi topeng bagi siang hari. Ia adalah Ayu Larasati.
"Laras..." begitulah napas serak bercampur bau alkohol murahan itu memanggilnya, nama yang terkenal pada malam hari.
Ayu mendekat, ini bukan kali pertamanya. Ia duduk di atas pangkuan seorang lelaki paruh baya. Membiarkan dirinya diraba-raba, disentuh di mana saja.
Setelah lelaki itu puas melolong bersama musik sumbang, tangannya bergerak meluncur pada paha Ayu yang terbuka.
"Mau, yang lebih enak?" bisiknya parau, bibir pucatnya hampir mendekat pada telinga Ayu.
"Boleh..." Ayu berkedip manja, "asal, kamu membeli ini," tunjuknya pada lipatan kertas kecil diantara dadanya.
Awalnya Ayu hanya ingin membantu meringankan beban sang ibu, para rentenir yang datang silih berganti, menagih utang orang yang sama sekali tidak mengerti.
Ibunya yang sakit-sakitan menanggung lilitan hutang dari Ayahnya yang menghilang sejak ia masuk SMP.
Penjudi tidak berguna, begitulah Ayu menyebut ayahnya.
Ayu yang sifat dasarnya lembut seperti ibunya, perlahan mengeras, menyesuaikan jalan takdir yang menimpanya.
Dan, malam itu, di ruang remang nomor tujuh. Kadang cinta dan jijik bisa menempati ruang yang sama, di dada manusia.
Beberapa bulan setelah malam-malam di pintu nomor tujuh, nama Laras kian sering disebut. Bukan lagi oleh mereka yang berpakaian ala kadarnya, tetapi oleh kaum perlente berbusana necis.
Lipatan-lipatan kertas kecil berisi benda terlarang, yang dulu hanya sempat laku beberapa, kini menjadi pendapatan pertama bagi pemilik tempat.
Dalam sekejap di tangan Ayu, bisa berubah menjadi nominal yang mengalahkan gaji sebulan seorang pegawai biasa.
Tidak ada lagi pintu nomor tujuh, ruangan bercat biru gelap sudah berganti menjadi tembok yang gemerlap. Ayu cepat naik kelas.
Hingga seseorang yang tak sengaja masuk, hanya berniat untuk menolongnya dari dunia gelap itu, justru dijebak nya dalam sesat.
"Saya akan sebarkan ini, jika Bapak tidak mau menjadi pelanggan tetap saya." Ujarnya mengancam seseorang dengan flashdisk kecil berwarna putih.
...****************...
"Jadi?"
"Ya, aku tahu sedikit tentang, Ayu." Tangan Dio belum lepas dari amplop coklat itu.
"Lalu..." Nadia menuntut penjelasan.
"Ayahku dijebak, dan bunuh diri. Dua tahun lalu," ada kegelapan di sudut matanya.
"Turut berduka cita, Ya." Nadia menanggapi tulus.
"Jadi, aku kesini, bukan cuma untuk Bilqis. Tetapi, Ayu, tokoh utamaku..." ada jeda diantara kalimatnya, "sepertinya semesta mendukungku." Senyumnya penuh dendam.
Nadia terdiam, tidak tahu harus berbuat apa.
"Kamu masih bisa menyelamatkan Arkan," fokus Dio kembali beralih pada lembaran amplop di meja.
"T-tapi..." Nadia tercekat.
"Baca, dan pahami dulu apa isinya. Waktunya hanya tersisa sampai malam ini, lebih tepatnya sebelum akad. Itu babak penentuannya," Dio meyakinkan.
Jari Nadia bergerak lembut, menelusuri huruf-huruf pada amplop rumah sakit, tempatnya dulu berusaha mendapatkan keturunan. Bersama suaminya, Arkan.
Nadia sempat terkejut, jantungnya mencelos tidak percaya dengan isi pada kertas di dalam amplop itu.
"Kamu, yakin?" tanyanya memastikan.
"Kamu pasien dokter Sarah, kan?" Dio balik bertanya.
Nadia mengangguk pelan.
"Dia atasanku, sekarang dokter Sarah pindah ke Australia, bukankah kamu sudah diberi tau jika dokter yang akan menangani kalian diganti?" ucap Dio lembut.
Nadia mengangguk lagi.
Ia buru-buru mengambil handphone yang sempat terjatuh tadi, dengan layarnya yang tidak utuh Nadia sedikit kesulitan memencet logo call, pada nomor bernama 'A1'
Setelah sedikit usaha, teleponnya hanya berdering tak ada jawaban dari pihak seberangnya. Bahkan, berkali-kali teleponnya itu ditolak.
'Jangan cari aku. Maaf Nadia, ini demi kita semua.' justru pesan itulah yang muncul sebagai jawaban.
Karena sebenarnya yang terjadi pada Arkan adalah kekacauan menjelang akad yang sebelumnya tak pernah ia pikirkan.
Wali dari Ayu. Ia sudah berkeliling bersama Ayu, sedari kemarin, mencari-cari keberadaan keluarga Ayu dari pihak ayahnya yang mungkin masih bisa ditemukan.
Namun, nihil. Seluruh keluarganya seakan hilang ditelan bumi, atau mungkin memang sengaja menjauh. Tak ada yang tau pastinya.
Yang jelas, Ayu butuh wali, setidaknya untuk malam ini.
"Lalu bagaimana, Pak?" telepon Ayu cemas pada penghulu yang nanti malam akan menikahkan mereka.
"Kalau mau pakai wali hakim, harus ada surat keterangan dari balai desa atau KUA, Mba," jelas seseorang di seberang sana.
"Baik, Pak. Oh iya, KUA tutupnya jam berapa ya, Pak?" Arkan mengambil alih ponsel Ayu.
"Pukul 14.00, Mas," jawab petugas itu.
"Sekarang, pukul 12.37. Berarti Masih buka ya, Pak?" Arkan menilik arloji pada pergelangan kirinya.
"Maaf, Mas. Harusnya jam segini kami sedang istirahat, tetapi karena Masnya terus menelpon, jadi terpaksa kami angkat," sindirnya dari seberang.
"Oh, iya. Maaf-maaf, Pak. Jadi kami bisa kesana jam berapa, ya?" suara Arkan mendadak sungkan.
"Setelah pukul 13.00 ya, Mas." Suara di seberang mulai agak jengkel.
Tanpa ba-bi-bu lagi, Arkan segera mengemudikan mobilnya ke Balai Kelurahan, meskipun hasilnya tetap sama. Petugas di sana juga sedang beristirahat, hanya ada beberapa orang yang duduk di kursi besi ruang tunggu.
"Ayu, kamu Ayu, kan?..." salah satu perempuan berbadan besar disana menyapa.
"Eh, i-iya, Bu." Ayu tidak menyangka di desa ternyata masih ada yang mengenalnya.
"Waah, makin cantik, ya. Lama nggak pernah lihat," tambah salah satu ibu lain yang banyak memakai gelang emas.
"He he, terimakasih," Ayu tersenyum canggung.
"Jadi, ini calon suaminya. Wah tinggi dan tampan banget, ya?" seloroh perempuan berbadan besar, terang-terangan memuji Arkan.
"Katanya, itu sedesa juga ya, istilahnya sama suaminya Nadia," bisik ibu dengan banyak perhiasan itu pada seseorang di sebelahnya.
"Nadia. Nadia siapa?" balas yang disampingnya tak kalah lirih.
"Nadia, anaknya Umi Zahra, yang ngasih panti asuhan itu, lho..." terang ibu berbadan besar, suaranya tidak berbisik.
Demi mendengar nama istri dan mertuanya disebut, tubuh Arkan semakin menegang. Ia tak tahu rasa marah atau malu yang lebih dulu menguasainya.
"Oalah, yang itu. Kasian ya... yang katanya belum punya anak itu, toh?" lanjut mereka bercakap-cakap.
"Iya, padahal mereka baik banget. Mereka suka menolong siapapun tanpa pandang bulu." Sahut yang lainnya lagi.
"Eh, kamu bukannya dulu juga di tempat Umi Zahra?" Ibu dengan banyak perhiasan itu, menyenggol pundak Ayu, meminta jawaban.
Nadia hanya tersenyum samar, sedangkan Arkan merasa hatinya terbakar.
"Malah, Ayu lebih dulu lagi. Sebelum pak Darto, kepala yayasannya itu meninggal."
Napas Ayu tercekat, matanya terpejam, dadanya hampir melompat keluar saat nama pada kalimat terakhir yang mereka sebutkan.
Sekuat tenaga ia menahan diri untuk terlihat normal. Namun di balik senyumnya, tubuhnya bergetar halus, seolah masa lalu yang ia kubur mulai menggali jalan pulang
Belum selesai Ayu menetralkan dirinya, sosok lelaki tegap berbatik rapi muncul di ambang pintu, dan dunia seakan berhenti. Napasnya tercekat, nyaris hampir membuatnya pingsan.
jangnlah dulu di matiin itu si ayunya Thor..Lom terkuak Lo itu kebusukan dia ..biar tmbh kejang2 itu si asri sama Arkan kalo tau belang ayu..
dengan itu sudah membuktikan..kalo ternyata ayu bukan hamil anak arkah..hahahahahahahaha..sakno Kowe..