Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jingga, si Ceria yang Babak Belur…
Hari itu adalah akhir pekan. Jingga tidak berniat menghabiskan waktunya di rumah besar keluarga Pradipta, rumah suami rahasianya. Dengan senyum ceria, ia menitip pesan pada asisten rumah tangga agar kalau Savero atau mertuanya bertanya, katakan saja ia pulang ke rumah orang tuanya. Selesai. Sesederhana itu, seolah semua baik-baik saja.
Namun, begitu mobil angkutan kota menurunkannya di ujung gang sempit yang kumuh, wajahnya perlahan kehilangan cahaya. Tawa jenaka yang biasa ia tunjukkan di kantor atau di hadapan asisten rumah tangga itu lenyap. Langkahnya terasa lebih berat, senyumnya pudar. Ia menarik napas panjang, lalu memasang headset di telinga, volume musik dinaikkan agar bisa meredam suara-suara yang mungkin akan segera ia dengar.
Ia mengetuk pintu rumah tua itu dengan ritme pelan, lalu masuk. Suara piring pecah langsung menyambut. Suara ibunya yang melengking karena marah, bercampur dengan suara ayahnya yang mabuk, meraung penuh amarah. Hampir setiap hari begini. Jingga sudah hafal.
Tanpa ekspresi, ia melewati keributan itu, masuk ke kamar mungilnya. Kasur tipis dengan sprei lusuh menyambut. Anehnya, justru kasur itulah yang terasa lebih nyaman dibanding sofa empuk di rumah megah suaminya. Ia rebahkan diri, menatap langit-langit yang penuh bercak lembap. Matanya mulai terasa berat. Ia ingin tidur.
BRAK!
Pintunya yang kuncinya sudah jebol itu terbuka dengan tendangan kasar. Ayahnya berdiri di ambang pintu, mata merah, napas berat karena alkohol. “KELUAR KAMU!” teriaknya.
Tangannya langsung meraih pergelangan Jingga, menariknya tanpa peduli tubuh putrinya itu terbentur tembok dan terseok mengikuti langkahnya. Headset yang masih terpasang di telinga Jingga terseret kasar, jatuh begitu saja di lantai.
Di ruang tamu sempit itu, tubuh Jingga dihempas ke lantai. Ibunya terduduk di pojokan, wajah penuh air mata, tak sanggup membela.
“GARA-GARA KAMU!” raung ayahnya. “GARA-GARA ISTRI SAYA NEKAT ADOPSI KAMU, HIDUP SAYA BERANTAKAN! USAHA SAYA HANCUR, ANAK KANDUNG SAYA MATI! SEMUANYA GARA-GARA KAMU!”
Jingga duduk terhuyung di lantai, tanpa ekspresi. Tidak ada bantahan. Tidak ada penjelasan. Matanya kosong, menatap ke depan tanpa benar-benar melihat.
Ayahnya menunduk, menatap dengan benci. “KAMU MENIKAH SAMA ORANG KAYA, KAN? MANA UANGNYA, HAH?! MANA?! KASIH KE SAYA!”
Jingga menggeleng pelan. Gerakannya lambat, seperti boneka.
Bentakan ayahnya semakin keras, “DASAR IBLIS! KAMU PASTI MELACUR SAMA ORANG KAYA ITU! DASAR ANAK TAK TAHU DIUNTUNG!”
BUG! Tinju mendarat di pipi Jingga. Tubuhnya terhuyung, darah segar merembes di sudut bibirnya. Ia tetap diam.
PLAK! Sebuah tamparan keras menyusul.
Rambutnya dijambak, kepala Jingga terhentak ke belakang. Ia tidak melawan. Tubuhnya dibiarkan saja mengikuti tarikan kasar itu.
Terakhir, tendangan keras menghantam perutnya. Jingga terjungkal, tubuh mungilnya meringkuk di lantai. Ia terbatuk pelan, rasa asin darah di mulutnya semakin jelas. Namun tetap… tidak ada suara keluar dari mulutnya.
Ayahnya terengah, puas melampiaskan amarah. Ia melangkah pergi, meninggalkan rumah. Pintu dibanting, kepergiannya menyisakan getar di dinding reyot itu.
Ibunya masih menangis, tubuh bergetar di pojok ruangan. Tidak mendekat, tidak menolong. Tangis itu sudah jadi latar sehari-hari.
Jingga masih tergeletak di lantai, matanya kosong menatap langit-langit. Sunyi. Hanya napasnya yang berat, hanya darah yang menetes dari bibir. Seolah tubuhnya sudah terbiasa. Seolah jiwanya sudah lama mati di rumah itu.
Di luar, gang kecil itu ramai dengan suara motor dan teriakan anak-anak. Tetangga pasti tahu, tapi mereka diam. Semua tahu betapa tempramennya ayah Jingga, dan tak seorang pun berani ikut campur.
Jingga tetap diam.
Selalu diam.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Dua hari sudah Jingga menetap di rumah orang tua angkatnya. Dua hari pula tubuh mungil itu jadi sasaran amarah ayahnya yang selalu menuntut uang. Jingga tak pernah membantah. Nafkah dari Savero? Tak pernah ada. Dan meski sekalipun istri sahnya, Jingga tak berniat meminta, toh pernikahan mereka bukanlah pernikahan sejati, hanya sebuah ikatan dingin untuk menutup kesalahan.
Gajinya sendiri sudah habis terpotong cicilan rumah KPRnya dengan Mahesa, kontrakan rumah, dan kebutuhan makan orang tuanya sehari-hari. Sementara uang pemberian Pak Panca, yang jumlah pastinya pun Jingga tak pernah tahu… sudah lama raib dipakai ayahnya: untuk melunasi hutang, berjudi, dan tentu saja minum.
Pagi itu, Senin yang terik, Jingga bersiap ke kantor. Di depan cermin retak kamarnya, ia memoleskan foundation tebal, menutupi lebam di pelipis dan bawah mata. Bedak putih pekat menempel tak rata, lipstik merah menyala menutup pucat bibirnya. Ia bahkan sempat ragu, apa lebih baik pakai masker saja? Tapi tatapannya jatuh pada lebam biru kehitaman di sudut mata yang tak mungkin tertutup kain tipis itu.
Dengan napas panjang, ia keluar rumah, masuk angkot. Beberapa penumpang menoleh, sebagian berbisik-bisik, bahkan ada yang menahan tawa melihat dandanan menor Jingga. Ia menunduk, seolah tak peduli, seolah memang begitu gaya khasnya.
Begitu sampai kantor, keceriaan palsu langsung ia kenakan.
“Good morning, gengs!” serunya dengan nada ceria.
Nisa dan Lidya yang baru saja menyalakan komputer sontak menoleh. Tatapan mereka sama: kaget bercampur bingung.
“Jingga? Astaga… kamu kenapa dandan gitu?”Lidya menatap dari ujung rambut ke ujung kaki.
“Kamu kesambet apa, hah?” tambah Nisa, menahan tawa tapi juga khawatir.
Jingga terkekeh, pura-pura percaya diri.
“Kenapa? Lagi pengen glowing aja gitu, biar aura-aura Miss Universe keluar.” Ia berpose ala-ala model, membuat beberapa teman lain ikut tertawa.
Namun tawa itu hanya bertahan sebentar. Nisa mengingatkan pelan, “Jingga, jangan aneh-aneh deh. HRD kan udah jelas bilang nggak boleh make up berlebihan.”
“Lagian… ini menor banget, loh. Kamu biasanya natural. Kok sekarang jadi kayak… dangdut koplo gitu?” Lidya menggoda, setengah cemas.
Jingga menjawab dengan canda. “Biar hidupku nggak monoton terus, jadi sesekali aku menor.” Ia tertawa paling keras, menutupi getirnya sendiri.
Tapi benar saja, tak lama staf HRD datang ke mejanya.
“Jingga, diminta ke ruang Manager HRD.”
...----------------...
Di ruangan itu, Jingga ditatap serius.
“Jingga, kamu tahu aturan kita, kan? Make up tidak boleh berlebihan.”
Jingga mengangkat tangan, pura-pura minta maaf dengan gaya lebay. “Maaf, Pak, sekali ini aja. Please deh, kasih aku sehari aja tampil glowing. Besok-besok saya janji jadi natural lagi.”
Manager HRD tetap menatap kaku. “Peraturan tetap peraturan, Jingga. Tolong hapus sekarang juga.”
Jingga pura-pura manyun. “Hadeh… saya tuh cuma pengen jadi barbie sehari doang, Pak. Nggak boleh ya? Ayo dong, sekaliii aja…”
Ia mengedipkan mata, sengaja membuat suasana cair.
Akhirnya pihak HRD angkat tangan. “Ya sudah, kembali ke ruanganmu. Tapi jangan ulangi lagi.”
Dengan langkah riang, Jingga keluar. Dari balik pintu, tawa jenaka itu tetap ia pasang. Tapi Manager HRD yang cemas langsung menuju ke lantai atas, ke ruang Savero.
“Pak Savero,” katanya hati-hati. “Mohon maaf mengganggu. Tadi saya sudah tegur Bu Jingga soal make up-nya, tapi dia menolak hapus. Saya takut kalau ini berimbas ke disiplin karyawan lain.”
Savero menghela napas panjang. Dua hari ini ia memang sudah kesal, Jingga menghilang tanpa pamit langsung padanya, meninggalkan rumah begitu saja. Dan sekarang malah bikin masalah di kantor.
“Baik. Suruh dia ke ruangan saya.”
Tak lama, pintu diketuk. Jingga masuk dengan ceria.
“Morning, Pak Bos!” sapanya riang, seolah tak ada apa-apa.
Beberapa teman yang melihat hanya bisa saling pandang. Mereka yakin Jingga bakal dimarahi habis-habisan.
Di balik meja kerjanya, Savero mendongak, menatap wajah menor Jingga dengan jengkel.
“Kamu ngapain dandan kayak badut begini?”
Jingga terkekeh, pura-pura percaya diri. “Biar semangat kerja, Bos. Warna-warni itu kan bikin happy.”
Savero mendengus. “Jangan cari perhatian. Ini kantor, bukan panggung.”
Ia mengeluarkan tisu basah dari laci, benda wajibnya yang fobia kotor. “Hapus sekarang.”
Jingga menggeleng cepat. “Nggak mau ah. Sekali ini aja, biarin dong.”
“Kalau kamu nggak hapus, kamu saya pecat.” Nada Savero dingin, ancaman itu nyata.
Jingga terdiam sejenak. Ia tahu tak ada pilihan. Dengan tangan pelan, ia mengambil selembar tisu basah, mulai mengusap wajahnya. Foundation tebal perlahan luntur.
Savero semula masih menatap dengan kesal. Tapi saat riasan di bagian pelipis dan mata terhapus, ia tertegun. Memar biru kehitaman jelas terlihat.
“Jingga…” suaranya berubah rendah. “Apa ini? Siapa yang melakukan?”
Jingga tersenyum jenaka, pura-pura cuek. “Eh? Oh ini? Hehe… jatuh, Bos. Waktu naik tangga jembatan penyebrangan, kaki saya keseleo.”
Savero menatap tak percaya. “Jatuh? Jangan bohong. Itu jelas bukan luka jatuh.”
Jingga tetap tertawa kecil, meski bibirnya pecah-pecah dan masih perih. “Beneran, Bos. Saya kan ceroboh. Jatuh aja bisa jadi drama Korea, apalagi tangga tinggi gitu.”
Savero terdiam lama, menahan rasa kesal sekaligus bingung. Akhirnya ia menghela napas panjang. “Lain kali hati-hati. Kalau memang perlu make up untuk nutupin itu, pakai saja. Saya nggak mau kantor ini jadi bahan gosip.”
Jingga tersenyum lebar, menunduk dalam-dalam. “Makasih banyak, Bos. Baik hati sekali.”
Ia segera keluar ruangan, buru-buru merapikan rambutnya untuk menutupi memar di pelipis. Kepalanya ia tundukkan sedalam mungkin, lalu ia bergegas ke kamar mandi membawa pouch make up.
Teman-temannya yang melihat hanya bisa saling berbisik.
“Kasihan banget… pasti dimarahi parah sama Pak Savero,” kata Lidya.
“Iya. Lihat deh, mukanya kayak habis nangis.” tambah Nisa.
Mereka tak tahu, di balik pintu kamar mandi, Jingga bukan menangis karena dimarahi. Ia justru bergegas menutup lagi luka-luka itu.
Sementara di ruangannya, Savero bersandar di kursi. Matanya menatap kosong ke arah jendela.
Itu jelas bukan luka jatuh. Jadi… siapa yang berani menyentuh dia?
(Bersambung)…
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya