Wira Pramana, seorang murid senior di Perguruan Rantai Emas, memulai petualangannya di dunia persilatan. Petualangan yang justru mengantarnya menyingkap sebuah rahasia di balik jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ilham Persyada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanpa Senjata
Latih tanding antarmurid adalah sesi latihan terakhir dalam Perguruan Rantai Emas. Pada latih tanding pertama hari ini, nama Barda dan Wira dipanggil dan keduanya pun memasuki arena.
Seperti biasanya, selain menyerukan dukungan kepada temannya, Mahendra dan Sularsa pun mengolok-olok Wira. Barda dengan sigap melompat menaiki arena dan berkacak pinggang sembari memandang remeh Wira.
Dari sudut lainnya, Wira berjalan tenang menaiki arena. Sebagai guru yang lagi-lagi menjadi wasit dalam sesi latih tanding itu, Alang menangkap adanya perbedaan pada sosok Wira.
Selain sikapnya yang memang selalu terlihat tenang dan tak banyak bicara, Wira kali ini tampak lebih santai. Sorot matanya pun memancarakan rasa percaya diri yang berbeda.
Alang tersenyum tipis sambil berkata dalam hati, “Sepertinya ini akan menarik.” dan memberi aba-aba agar keduanya mulai bertanding.
Merasa mudah menaklukkan Wira, Barda sengaja tak membawa senjata. Ia tak peduli jika Wira pun tak mengambil tongkat atau pedang kayu yang tersedia sebagai senjata untuk latih tanding itu.
Barda langsung menyerang dengan pukulan dan tendangan beruntun, tetapi Wira mampu menghindarinya dengan sangat baik. Berpikir lawannya hanya beruntung, Barda pun mempercepat serangannya.
Setelah puluhan gerakan, Barda baru menyadari Wira tak hanya selalu berhasil menghindarinya, tetapi juga tak tampak kesulitan sama sekali dalam melakukan hal itu. Selain itu, ekspresi Wira pun tak dapat terbaca olehnya.
“Jangan cuma menghindar, kampret! Lawan kalo berani!”
Mengetahui Barda berusaha memprovokasinya, Wira justru tersenyum. Hal ini membuat Barda mulai emosi dan melanjutkan serangannya tanpa berpikir panjang.
Wira menyadari kesempatannya untuk menyerang balik telah tiba. Tak lagi menghindar, ia menangkis setiap gerakan Barda dan balas menyerang dengan pukulan dan tendangan pula.
“Tinju Bayangan ya, hmm …,” gumam Alang yang mengamati pertarungan itu.
Kesulitan membaca serangan Wira, Barda hanya bisa bertahan, dan ketika merasa intensitas serangan Wira berkurang, ia mencoba membalas balik dengan gerakan yang justru terlihat membabi-buta.
Wira tak meladeni hal ini. Napasnya masih teratur, ritme gerakannya pun masih sangat stabil. Melihat sebuah celah, Wira segera mengincar bagian bawah tubuh Barda.
Barda merasa masih cukup sigap sebab bisa menghindarinya, tetapi saat itulah ia terjebak. Wira berhasil menangkap dan mengunci lengan Barda, kemudian melemparnya keluar arena dan mengakhiri pertandingan tersebut.
Di sisi luar Arena, Ratnasari dan Nala bersorak kegirangan menyambut kemenangan Wira. Murid-murid lainnya pun bertepuk tangan melihat bagaimana aksi Wira dalam mengalahkan lawannya.
Tentunya, tak semua yang menonton senang akan hal itu. Mahendra dan Sularsa yang tak terima akan hasil itu langsung mengangkat tangan kepada Alang, mengajukan diri untuk melawan Wira.
Alang mengangkat alisnya sebelum menatap Wira. Pemuda itu menjawab dengan anggukan. Alang pun mengangguk dan mempersilakan Sularsa menaiki Arena untuk menantang Wira.
Meskipun rata-rata kemampuan mereka hampir sama, Wira dapat menumbangkan Sularsa yang pada dasarnya lebih lemah dari Mahendra dalam beberapa gerakan saja.
Tanpa menunggu aba-aba, Mahendra yang tersulut emosi karena kekalahan dua temannya langsung menaiki arena. Alang hendak melarang, tetapi saat melihat Wira lagi-lagi mengangguk dan terlihat baik-baik saja, ia pun mempersilakan keduanya bertarung.
“Ternyata, daya tahannya juga mengalami kemajuan,” batin guru yang berperawakan tinggi dan kekar itu melihat Wira.
Tak ingin kalah seperti kedua temannya, Mahendra mengambil sebilah pedang kayu. Tanpa memberi kesempatan lawannya untuk mengambil senjata, Mahendra mengaliri pedang itu dengan tenaga dalam dan langsung menyerang.
“Apa-apaan itu?”
“Seenaknya saja!”
Mengabaikan berbagai cemoohan dari beberapa menonton, Mahendra maju dengan teknik pedang terbaik miliknya. Wira mengenali teknik yang bernama pedang pemecah ombak tersebut.
Tanpa senjata, Wira memilih posisi bertahan. Ia sadar betul kemampuan Mahendra ini sebenarnya yang paling tinggi di antara kedua temannya yang lain. Ditambah teknik pedang pemecah ombak, Wira merasa pertandingan kali ini akan cukup sulit.
Setelah menghindari beberapa tebasan pedang Mahendra, Wira merasa aneh karena tubuhnya seakan memiliki keluwesan dan kepekaan yang berkali-kali lipat. Wira tak tahu apakah ini karena peningkatan penguasaannya terhadap teknik alas angin atau semata karena nalurinya.
Tubuh Wira seakan memiliki insting alami untuk menghindar tidak hanya saat mengetahui serangan lawannya, tetapi bahkan mampu memprediksi arah datang dan bagaimana serangan selanjutnya.
Wira memang sempat membaca buku tentang jurus yang digunakan oleh Mahendra, yaitu pedang pemecah ombak, yang termasuk dalam kategori teknik tingkat menengah ini di perpustakaan. Teknik ini menekankan pada kekuatan tebasan pedang yang diharapkan dapat melumpuhkan lawan dalam waktu singkat.
“Pantas saja ia langsung menggunakan tenaga dalam,” pikir Wira.
Pemikiran itu membuat Wira sadar kalau Mahendra sejak awal berniat untuk mencederainya. Anehnya, dibandingkan gelisah, hal ini justru membuatnya semakin tertarik dan mulai mempelajari pola serangan Mahendra.
Beberapa kali Wira sengaja menangkis bilah pedang Mahendra dengan tangan kosong untuk mencari celah. Tentunya, Wira pun telah melapisi kedua tangannya dengan tenaga dalam.
Celah itu pun terlihat jelas setelah Barda melakukan sebuah tebasan vertikal. Dengan pemilihan waktu yang tepat, Wira mundur selangkah ke belakang sebelum mendaratkan empat pukulan beruntun ke dada Barda dan sebuah pukulan pamungkas yang membuat Barda terhempas jauh hingga terkapar tak sadarkan diri di luar arena.
“Pertandingan selesai! Wira pemenangnya!”
Sebagian besar murid yang menonton pertandingan itu pun bersorak dan bertepuk tangan. Ratnasari bahkan sampai melompat-lompat. Di sampingnya, Nala memandang Wira dan bertepuk tangan sambil menggelengkan kepalanya karena kagum.
Guru Alang menginstruksikan beberapa murid untuk membawa Mahendra ke ruang pengobatan. Sambil memandang penuh dendam kepada Wira, Barda dan Sularsa mengikuti rombongan tersebut.
Wira sempat bertanya-tanya apakah dirinya baru saja membuat Mahendra cedera parah, tetapi kedatangan Ratnasari dan Nala setelah ia turun dari arena membuat pertanyaan itu seakan berlalu begitu saja.
“Hebat, Wira!” seru Ratnasari dengan mata berbinar
“Jangan-jangan, selama ini kau menyembunyikan kemampuanmu ya, hahaha ….” kata Nala yang langsung memiting Wira, membuat pemuda itu meringis akibat kesulitan bernapas.
“Kurasa tidak.” Alang menimpali keduanya, “Wira hanya memakai teknik dasar Tinju Bayangan dan Alas Angin sejak pertarungan pertamanya.” kemudian ia berbicara lebih kepada kerumunan murid yang masih ada di sekitar arena, “tetapi Wira rupanya telah menguasai dua teknik itu dengan sangat baik dan …, kalian bisa melihat sendiri hasilnya. Baiklah, sesi latih tanding untuk hari ini selesai! Semoga semuanya bisa mendapat pemahaman dengan baik.”
“Murid Mengerti!” Jawab para murid hampir serempak.
Alang menghampiri Wira dan menepuk pundaknya, “Hahaha, tak kusangka Tinju Bayangan bisa digunakan seperti itu. Oh, kemampuan fisik dan tenaga dalammu juga mengalami kemajuan sepertinya. Bagus, Wira! Bagus! Hahaha! Teruslah berlatih.”
Wira menunduk memberi hormat, “Terima kasih Guru, murid mengerti.”
Menyadari tatapan Wira setelah itu tertuju ke ruang pengobatan, “Ah, tak perlu kau khawatirkan anak itu, aku sempat memeriksanya dan tak ada cedera serius. Hanya luka dalam ringan yang akan sembuh cepat dengan obat dan meditasi.” katanya sambil mengikuti arah pandangan Wira, “aku yang akan bertanggung jawab. Lagi pula semua yang menonton tadi menjadi saksi kalau Mahendra sudah berniat mencelakaimu sejak awal. Jadi, kau tenang saja.”
“Murid berterima kasih sekali lagi,” Wira kembali memberi hormat.
“Sudah, sekarang beristirahatlah.”
Seiring dengan bubarnya para murid, latihan hari itu berakhir. Nala dan Ratnasari menggeret Wira meninggalkan arena.
“Hei, aku masih harus membersihkan arena.” kata Wira.
“Ah nanti saja … kita makan-makan dulu, aku lapar …. Lagi pula ini masih belum terlalu kan?” sanggah Ratnasari.
“Benar. Kurasa mereka bertiga tak akan berani macam-macam lagi padamu. Hahahaha.” tanggap Nala yang masih memiting Wira.
Alang Ganendra memandang tiga murid senior yang semakin menjauh itu, “Sepertinya kata-kata Ketua Raksala memang benar. Potensi anak ini sungguh tak terduga. Apa lagi, tenaga dalamnya itu ….”
Ketika menepuk pundak Wira, Alang memeriksa kondisinya dan selain mendapati peningkatan pesat dalam kekuatan fisiknya, Alang pun mendapati peningkatan dalam kapasitas dan kemurnian tenaga dalam pemuda itu. Salah satu pendekar tingkat tinggi di perguruan itu pun berpikir untuk mendiskusikan hal ini dengan rekan-rekan dan ketua perguruannya nanti sebelum pergi meninggalkan arena latih tanding.