Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terror Pocong Sungsang
“Gue ngerasa kita diikutin,” gumam Ningsih dari bangku belakang.
Ucapan itu keluar bersamaan dengan bunyi aneh dari bawah mobil—suara logam yang tergesek, lalu... brak. Mesin mendadak mati.
Avanza yang mereka tumpangi perlahan merapat ke pinggir jalan yang sepi, hanya diterangi lampu jalan yang temaram dan redup seperti nyawa yang sedang sekarat.
Jam digital di dashboard menunjukkan 23:04.
“Tentu saja,” Sasmita mendecak, “kalau gak mogok di tengah malam, bukan horor lokal namanya.”
Aditya memutar kunci starter. Mesin menggeram, lalu senyap. Sekali lagi. Tetap mati. Ia menunduk, menekan tombol hazard dengan gusar. “Mesinnya dingin, bukan karena overheat...”
Tri keluar duluan dari pintu belakang, memicingkan mata ke arah jalanan. “Kita udah deket ya?”
Maya ikut menatap GPS yang sudah kehilangan sinyal. “Tinggal dua kilometer dari Yayasan Santa Ursula... tapi gak ada rumah sama sekali di sekitar sini. Semua cuma kebun teh dan kabut.”
Kenan diam saja. Dari tadi dia seperti orang linglung. Tapi wajahnya tegang, penuh firasat buruk.
Sasmita turun. Kakinya langsung menginjak tanah basah yang dingin seperti daging mayat. Ia membuka bagasi, mencari jimat perlindungan yang sempat ia siapkan dalam kotak kayu kecil.
Lalu... udara berubah.
Hening. Dingin. Tidak ada suara jangkrik. Tidak ada angin. Bahkan suara dedaunan pun berhenti berdesir.
Hening yang tidak wajar.
Ningsih mendongak.
“Ada yang salah,” katanya cepat. “Langitnya... gelap banget. Bulannya ngilang.”
Tri mencabut kerisnya dari dalam tas punggung. Maya menarik Kenan mendekat ke mobil. Aditya masih mencoba memperbaiki mesin, kini sambil berdoa dalam hati.
Lalu muncul bau busuk. Tajam. Seperti bangkai direndam air selokan selama seminggu.
Dari kejauhan... suara kain yang diseret.
Ceklek... ceklek... ceclek...
Mereka semua menoleh bersamaan.
Satu sosok muncul dari antara pohon teh.
Tinggi. Bungkus putih. Kepala di bawah, kaki di atas. Pocong Sungsang.
“Bangsat,” desis Sasmita.
Pocong itu bukan hanya terbalik—dia juga lebih besar dari pocong biasa. Bungkus kafannya hitam di beberapa bagian, seperti hangus terbakar. Dan yang paling mengerikan: wajahnya. Wajah itu terbalik, mulut menganga lebar-lebar di atas kepala, mengeluarkan suara seperti air mendidih.
“UuuuUUUuuUUUuuuuuUUuhhhhhh—!”
Teriakan itu menghantam dada, membuat Maya langsung menutup telinga dan terduduk. Kenan gemetar.
“Formasi!” teriak Sasmita.
Tri melompat ke depan, menyerang lebih dulu dengan keris di tangan. Tapi pocong itu menangkis dengan kepala! Dentuman keras terdengar, keris mental, dan Tri terlempar ke semak-semak.
“TRI!!” Ningsih langsung melempar jimat api ke arah makhluk itu. Tapi pocong sungsang justru menyerap api itu ke tubuhnya, dan... tertawa.
Tawa itu... bukan suara manusia. Tapi suara dari mulut yang patah, suara daging yang dikoyak dari dalam.
“UUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUAAAAAKKKK—!!”
Sasmita menarik keris Larang dari sabuknya.
“Lo pikir gue takut, makhluk sungsang? Gue pernah mandi darah siluman yang lebih bau dari lo!”
Dia menyerang. Tapi bahkan keris Larang hanya bisa menahan makhluk itu sebentar. Pocong itu menggila, lompat ke arah Sasmita dan menyerangnya dengan kecepatan yang tidak masuk akal.
Satu pukulan menghantam dada Sasmita, membuatnya mental dan terbanting ke kap mobil.
Darah mengalir dari mulutnya.
“Jangan bikin gue marah, setan kampungan,” desis Sasmita.
Kenan menatapnya dengan mata melebar. Untuk pertama kali, dia melihat Sasmita terluka serius.
“Ayo, bangsat,” kata Sasmita, berdiri goyah. “Ayo gue ajarin cara mati yang bener.”
Pocong itu maju lagi. Tapi sebelum bisa menyerang, tiba-tiba Ningsih membacakan mantra dari balik punggungnya.
"Tanah dari darah, api dari arwah... pengikat sungsang, patahkan sumpah!"
Jimatnya menyala terang, lalu menyebar jadi lingkaran api kecil di bawah pocong itu. Sosok makhluk itu menjerit, tubuhnya tersedot ke tanah sedikit demi sedikit.
Namun, pocong itu berontak. Tubuhnya memanjang, menjerit lebih keras, memaksa keluar dari lingkaran.
Aditya akhirnya keluar dari mobil. Wajahnya panik. “Mobilnya gak bisa nyala! Apa pun yang kita lakukan, kita gak bisa kabur!”
Maya menangis. “Kita terjebak... kita bakal mati di sini...”
Kenan menggertakkan gigi.
“Cukup!”
Semua menoleh.
Kenan maju.
Matanya... bersinar.
“Gue gak tahu siapa gue. Tapi gue tahu satu hal—gue gak akan biarin siapa pun mati karena gue.”
Tangannya bergetar. Tapi di dalam dirinya, darah mulai bergerak.
Seolah sesuatu yang lama tertidur... mulai bangun.
Kenan berdiri di depan pocong sungsang yang sedang meraung, setengah masuk segel, setengah lagi masih mencoba lepas.
“Apa yang lo mau dari gue, ha?!”
Makhluk itu menatapnya.
Lalu... tiba-tiba... berhenti.
Diam.
Lalu menunduk. Membungkuk.
Tri yang sudah bangkit terhuyung kaget. “Dia... tunduk?!”
Sasmita melotot. “Dia mengenali Kenan...”
Kenan terpaku. Tiba-tiba pocong itu membuka mulutnya—lebar, hingga robek ke pipi—dan berbisik.
“Pewaris... darah lama... penjaga segel... telah bangkit.”
Lalu tubuhnya terbakar sendiri.
Menjadi abu dalam hitungan detik.
Diam. Sepi. Dan udara kembali normal.
Mesin mobil tiba-tiba menyala sendiri.
Tri, Ningsih, dan Sasmita saling pandang. Tidak ada yang berkata-kata.
Maya memeluk Kenan dari belakang. “Kamu... itu tadi... kamu yang...”
Kenan hanya berdiri diam.
Lalu perlahan berkata: “Dia bilang... aku pewaris.”
Bersambung....