#UP SETIAP HARI 2 BAB/ 3 BAB.....
Jhi Chen. Nama yang membuat dewa-dewa gemetar. Ia adalah badai yang menghancurkan surga, pedang yang merobek kegelapan, dan keadilan yang membakar dunia. Persiapkan diri untuk menyaksikan pemberontakan yang akan mengguncang alam semesta hingga ke akar-akarnya!
"Ingat namaku Jhi Chen"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wibuu Sejatii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7 Misteri Gunung Salke
Jantung Jhi Chen berdebar-debar, keringat dingin membasahi dahinya. “Andai aku tak sigap, nyawaku melayang!” desisnya, menatap peti misterius itu dengan mata terbelalak. “Ku kira harta karun berlimpah, ternyata jebakan maut!” Bukan pengecut, tapi ia sadar betul batas kemampuannya. Kekuatannya belum cukup untuk menghadapi apa pun yang tersembunyi di dalam peti itu.
Ia berbalik hendak pergi, namun… dantian! Getaran aneh kembali mengguncang tubuhnya. Keraguan menggerogoti jiwanya, mengunyah-ngunyah kepercayaan dirinya hingga hancur. "Apakah aku benar-benar pengecut?" gumamnya, suara nyaris tak terdengar. "Selama ini tak ada yang berani mengancam, bebas melakukan apa saja. Tapi kenyataannya… mental ku rapuh! Ku gertak yang lemah, takut pada yang kuat. Aku… aku memang pengecut!"
Bayang-bayang kematian menari-nari di hadapannya, padahal jalan bela diri penuh darah dan air mata. “Maut bisa datang kapan saja!” Ia menghela napas panjang, suara berat dan putus asa. “Terima kasih, Petir Ilahi, Tubuh Surgawi, Bulan, Matahari, dan Bintang… Kalian tertarik pada peti itu, baiklah, aku akan memuaskan rasa ingin tahuan kalian. Walau harus… membayarnya dengan nyawaku sendiri!”
Dengan tekad yang bercampur rasa takut, Jhi Chen memberanikan diri membuka peti itu. “Hati-hati, Jhi Chen! Jangan ceroboh!” Ia mengaktifkan Mata Langit, warisan ayahnya, mencoba mengintip isi peti dengan mata batinnya yang tajam. Setelah mengamati dengan saksama, tak ada yang mencurigakan. “Aneh… Tadi aku merasakan hawa kematian yang begitu nyata! Jika Mata Langit pun tak mendeteksi ancamannya, aku hanya bisa… membukanya lagi.”
Ia penasaran. Dari mana datangnya sensasi kematian itu? Kali ini, ia lebih waspada, siap menghadapi apa pun. Namun, saat jari-jarinya menyentuh kayu peti yang dingin, serangan dahsyat menerjangnya! Jiwa Jhi Chen seakan dicabik-cabik, nyeri yang tak tertahankan! Tulang dan tendonnya terasa remuk, seperti digiling-giling hingga hancur berkeping-keping.
Keringat dingin membanjiri tubuhnya, mengalir deras seperti air terjun. “Apakah aku akan mati di sini?” Ia merintih, suara lirih dan putus asa. “Anak yang bangga, jenius yang tak tertandingi… Sejak lahir, kultivasi ku melampaui semua ahli! Leluhur dinasti yang ditakuti pun bagiku hanya semut! Tapi sekarang… aku tak berdaya… Aku harus mati di tempat terkutuk ini?”
Kenangan akan ayahnya membanjiri pikirannya, mengusik luka lama yang belum sembuh. “Ayah… apakah aku harus mati seperti ini? Tidak! Aku tak boleh mati! Aku sudah berjanji menjaga Ibu, pulang dengan selamat! Ayah… aku belum bertemu… belum menjelajahi dunia yang luas ini! Aku hanya tahu dinasti tempat tinggalku, belum tahu dinasti lain, jutaan dunia di galaksiku, miliaran dunia lainnya, penguasa galaksi yang mahakuat… Aku belum membuat nama di dunia bela diri yang luas ini! Jika aku mati… aku akan menjadi sia-sia, anak Jhi Tian, kultivator terkuat di dunia!”
Aaahhhhhhhhh! Jeritan pilu Jhi Chen menggema, mengalun di antara lembah dan tebing. Ia berjuang mati-matian, menahan rasa sakit yang mengoyak tubuhnya hingga hampir tak berbentuk. Ketika semua terasa sia-sia, saat kematian sudah di depan mata… tiba-tiba, serangan itu berhenti.
Ia terbangun, seperti dari mimpi buruk yang mengerikan. Dunia di hadapannya berbeda dari dunia tempat ia menemukan peti itu. Dunia ini… indah luar biasa. Gunung-gunung hijau menjulang, air terjun mempesona jatuh dari ketinggian, burung-burung beterbangan dengan riang, air sungai yang jernih mengalir tenang, dan udara sejuk membelai kulitnya. Suasana damai menyelimuti segalanya.
“Apakah aku sudah mati?” Ia bergumam, suaranya masih gemetar. “Apakah ini alam baka? Meskipun sunyi, terasa lebih… damai…” Tangisnya pecah, air mata mengalir deras membasahi pipinya. “Ibu… maafkan aku… aku tak bisa menepati janjiku untuk menjagamu… Ayah… maafkan aku… aku mati lebih awal… aku tak bisa membanggakanmu…”
Tiba-tiba, suara berat dan berwibawa menggema dari udara, memotong tangisnya. “Bocah ini! Bukan alam kematian! Kenapa kau sangat ingin mati hingga terus meminta maaf? Sungguh bocah konyol!”
Jhi Chen tertegun, tersadar dari kesedihannya. Ia mendongak, melihat sesosok lelaki tua melayang di udara, berjubah kuning emas yang berkilauan, rambut panjang terurai hingga tumit, jenggot putih panjangnya bergoyang seperti air terjun, memancarkan aura agung yang tak tertandingi.
“Senior… apakah yang Anda katakan benar? Bahwa aku belum mati? Apakah orang mati bisa merasakan udara sejuk ini?” Lelaki tua itu balik bertanya, suaranya penuh misteri. “Aku tak tahu, bocah. Karena aku belum pernah mati dan hidup lagi. Aku tak bisa tahu bagaimana rasanya hidup setelah kematian.”
“Bocah,” suara lelaki tua itu bergema, menembus kesunyian. “Kau belum mati. Ini dunia ciptaan ku. Dan masih banyak alam rahasia lain yang ku ciptakan di Gunung Salke ini. Tentu saja, dengan kultivasi selemahmu, kau tak mungkin menjelajahinya. Ini keberuntunganmu, bisa masuk ke tempat warisanku. Setelah jutaan tahun menunggu, akhirnya ada yang masuk… dan ternyata anak nakal yang kabur dari asuhan ibunya.”
Jhi Chen tercengang. Dunia ini… ciptaan senior di hadapannya? Betapa dahsyatnya kekuatannya hingga mampu menciptakan dunia yang begitu nyata!
“Senior… aku benar-benar minta maaf telah mengganggu dan menerobos wilayah Anda,” ucap Jhi Chen, suaranya masih gemetar.
Lelaki tua itu tersenyum, senyum yang penuh misteri dan bijaksana. “Bocah, kenapa minta maaf? Aku sudah terlalu lama menunggu di sini.” Matanya bersinar terang, seperti bintang yang berkelap-kelip di langit malam. Jhi Chen merasakan tatapan itu menusuk jiwanya, membuatnya tak mampu bergerak. Tatapan yang mengerikan, mengancam, dan… mengungkap rahasia.
“Apakah harta warisan ayahku tak mampu lagi menutupi rahasia tubuhku?” gumam Jhi Chen dalam hati.
Setelah beberapa saat, tatapan tajam lelaki tua itu melembut, tersenyum ramah. “Ketika pertama kali kulihat, aku kecewa. Tapi aku salah menilai. Aku tak sia-sia menunggu jutaan tahun. Jika tak menggunakan teknik pengamatan khusus, aku tak akan melihat tubuhmu. Bocah, mungkin ini takdir. Tak kusangka, dalam tubuhmu ada harta ciptaan orang tua ini. Pantas orang tua ini tak bisa langsung melihat tingkat kultivasimu. Ternyata… Bo’er bersamamu. Bo’er… apa kau akan diam dan tak menyapa orang tua ini?”
Tubuh Jhi Chen bergetar hebat. Harta yang disembunyikan dalam tubuhnya oleh Jhi Tian, sebuah rahasia yang selama ini dijaga ketat, muncul dengan sendirinya—sebuah batu merah marun, berkilat lembut di bawah sinar matahari. Dari dalam batu itu, muncul sosok wanita cantik jelita. Tinggi semampai, rambut panjang terurai, mata besar berbinar, bibir merah merekah seperti buah ceri yang ranum. Wanita itu menangis, suaranya lembut dan merdu.
“Kakek…”
“Kenapa kau menangis, Bo’er? Tak berubah sedikit pun dari dulu,” kata lelaki tua itu, suaranya penuh kasih sayang. Bo’er, wanita cantik itu, berlari menghampiri lelaki tua tersebut. “Gadis kecil… lama tak bertemu…”
Jhi Chen terpaku. Tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa harta yang selalu menyertainya sejak lahir itu… hidup!
Lelaki tua itu memandang Jhi Chen dengan mata penuh kasih. “Bocah, ku titipkan Bo’er kepadamu. Jagalah dia dengan baik. Bo’er tak hanya bisa menyembunyikan kultivasimu, tapi juga menciptakan ilusi terhadap lawanmu.” Seberkas cahaya emas melesat dari tangan lelaki tua itu, menembus dahi Jhi Chen. Kepalanya terasa sakit luar biasa, seakan ribuan jarum menusuk otaknya. Namun, setelah rasa sakit itu hilang, informasi tentang cara menggunakan Bo’er terukir jelas dalam pikirannya.
“Aku telah memberimu cara menggunakan Bo’er. Sekarang, aku akan mewariskan teknikku kepadamu. Tapi sebelum itu, kau harus berjanji tak memberitahu orang lain tentang pertemuan kita. Gunung Salke ini adalah tempat kelahiran dan peristirahatan terakhirku. Aku tak ingin ada yang mengganggu istirahatku.”